Desa Saya

2484 Words
            Nama saya Ndalu Subuh. Dulu simbok memberikan nama ini semata-mata karena saya lahir di malam hari, pada pertengahan antara malam dan subuh. Lebih tepatnya dini hari. Hari kamis legi. Neptu telulas. Hitungan tiga belas, kamis delapan, legi lima. Pasarannya lintang alias bintang. Dalam penanggalan Jawa, anak yang lahir hari kamis legi biasanya memiliki sifat welas asih. Baik hati. Sabar. Senang membantu orang lain. Saya ngikut saja ucapan orang tua. Ndak boleh ya saya meragukan ucapan orang tua. Dosa. Masuk neraka nanti. Begini-begini saya ini juga takut dengan neraka. Di buku cerita dulu gambarnya fenomenal sekali. Saya tinggal di salah satu lereng gunung Merapi. Simbok saya masih ada kerabat dengan Mak Lampir, tahu ndak? Ah, maaf! Dulu saya sering nonton film yang itu. Saya ini penggemar berat Misteri Gunung Merapi. Pokoknya misteri-misteri begitu sangat menyenangkan. Saya fans akut Sembara. Mas Sembara itu ganteng, setia pada istrinya, lalu sakti mandraguna. Ah, soal saya tinggal dan punya kerabat dengan Mak Lampir, itu bohong! Maaf... Maaf.... Saya bukannya tinggal di lereng gunung Merapi, tapi saya ini tinggal di pesisir pantai selatan. Saya ndak berani, lah tinggal di lereng Merapi. Nanti kalau gunungnya meletus bagaimana? Simbok sudah ngungsi jauh sebelum saya lahir, takut kena letusan. Dan akhirnya di sinilah kami tinggal sekarang. Pesisir pantai selatan pulau Jawa. Saya dan simbok tinggal berdua. Simbok jualan ikan di pasar, saya jadi asisten nelayan. Saya ndak ikut melaut, tapi saya ikut jual ikan-ikan itu di pelelangan. Begitu... Di desa ini ada sebuah mitos dan juga bisa disebut legenda. Saya ndak berani menyebutnya sebagai takhayul. Takut dikira menistakan simbol-simbol Jawa nanti. Meski saya ini lelaki yang taat beragama, tapi saya ndak mau mencampuradukkan hal yang memang ndak bisa diaduk. "Kalian tahu, dulu ada sebuah cerita menyakitkan di desa kita?" Pak Kampung mulai bercerita. Kami sudah berkumpul sehabis sholat maghrib. Setelah mengaji, kami mulai berkumpul melingkar di sekitar Pak Kampung. Pak Kampung ini pinter cerita. Kalau dibukukan mungkin ceritanya bisa sampai lima season, ndak tamat-tamat karena ada saja yang baru. Beliau juga gemar mengajari kami ngaji selepas maghrib. Ngaji-nya macam-macam. Mulai ngaji iqro' sampai kitab kuning. Pak Kampung ini pengalamannya banyak sekali. "Menyakitkan seperti apa, Pak?" Kami bertanya penasaran. Lah, namanya saja anak-anak, ya wajar toh kalau sukanya tanya-tanya. Kepo. Penasaran kalau ada hal-hal baru. "Kalian dengarkan, yo? Pak Kampung akan cerita menyakitkan dan mencekam sekarang." "Serem ndak, Pak?" "Ya namanya mencekam yo pasti serem, lah!" "Bisa buat mimpi buruk?" "Ya tergantung." "Bisa ngintilin kita ndak, Pak setan-setan itu?" Anak-anak lain berkasak-kusuk heboh. "Kan kalian sudah diajari berdoa untuk mengusir setan." "Pak... Pak..." "Ya?" "Kapan ceritanya?" Pak Kampung juga harus sabar. Keren, toh? Pak Kampung ini salah satu tokoh yang diberkati beberapa kemampuan sekaligus. Pinter ngaji, pinter ndongeng, sabar, pinter nawar dagangan, tapi sayangnya Pak Kampung ini masih jomblo sampai tua. "Kalian dengarkan!" Pak Kampung berdehem. Kami ingat, hari itu Pak Kampung menceritakan sebuah kisah yang membuat pemikiran saya berubah. Dari tarikan napas Pak Kampung, kisah itu sampai di telinga kami. "Kalian pernah dengar cerita soal siluman anjing?" Kami semua kompak menggeleng. "Konon katanya, siluman ini adalah siluman yang patah hati. Ceritanya berawal dari sebuah kisah di ujung desa kita. Suatu hari, ada seorang lelaki yang patah hati karena cintanya ndak direstui." Saya dan teman-teman lain sibuk mendengarkan. Saya pernah nonton TV soal kisah cinta ndak direstui begitu. Ini ceritanya pasti jadi mirip sinetron yang itu. "Lelaki itu nekad melamar seseorang yang sangat dia cintai. Tetapi lelaki itu terlalu miskin untuk melamar anak seorang saudagar kaya." "Seberapa kaya, Pak?" Anak-anak lain penasaran. "Dia punya perahu banyak. Lalu punya gudang penyimpanan ikan. Belum lagi beliau adalah ketua Forum Pelelangan Ikan alias FPI." Kami semua melongo takjub. Berarti saudagar itu kaya sekali sampai jadi ketua FPI begitu. Kami saling menatap, lalu manggut-manggut mengerti. Cerita dilanjutkan kembali. "Lelaki itu nekad melamar sang pujaan hati, namun tetap saja ditolak. 'Kamu punya apa?' tanya si Saudagar kaya. Lelaki itu ya ndak punya apa-apa. Dia hanya tertunduk. Dibandingkan calon mertuanya, dia bukan apa-apa." Saya mendengarkan cerita itu dengan penuh takzim. "Jadi dia jomblo sampai mati, Pak?" Bibir saya spontan mengeluarkan pertanyaan. Oh, oh! Pasti sebentar lagi Pak Kampung akan mengomeli saya! "Mau dilanjut, ndak ini ceritanya?" Saya tahu kalau Pak Kampung sangat sensitif dengan pertanyaan itu. Saya diam saja dan melirik Pak Kampung takut-takut. Saya keceplosan tadi. Ah, harusnya saya ndak boleh bicara begitu! Jomblo itu sebuah pilihan hidup. Ndak boleh saya membahas hal-hal itu dengan Pak Kampung! "Mau, Pak!" Saya berucap penuh penyesalan. Pak Kampung menarik napas, lalu mulai melanjutkan ceritanya yang sempat tertunda gara-gara saya. "Kalian tahu alasan kenapa lelaki itu ditolak oleh saudagar ketika melamar?" Kami semua sepakat menjawab, "Karena dia miskiiiiiinnnn!" Pak Kampung menggeleng pelan. "Kalau masalah kekayaan, saudagar itu bisa cari lebih banyak. Tapi kalau soal cinta anaknya, saudagar itu ndak mau macam-macam. Lamaran lelaki itu ditolak karena..." Ucapan Pak Kampung menggantung. "Karena apa, Pak?" Pak Kampung siap membuka mulut, kami semua deg-degan akut. "Karena anak saudagar itu lelaki juga...." Kami semua melongo. Ternyata itu hanya pembodohan publik. Ya jelas, lah! Namanya saja lelaki melamar lelaki, ya ditolak! Memangnya mereka mau berlayar? Nanti kalau ndak punya anak bagaimana? Ah, dulu saya naif sekali pemikirannya! Seingat saya, dulu cerita itu jadi cerita turun-temurun di desa kami. Ceritanya belum selesai, lho! "Lalu..." Pak Kampung melanjutkan. Kami semua masih deg-degan. Itu masih bagian awal ceritanya. Kalau orang Jawa bilang itu namanya bab pambuka. Bab pembukaan. Pokoknya bagian yang awal-awal begitu. Kronologinya begini... Tunggu, saya mau jelasin dengan alur saya sendiri. Seorang lelaki ditolak ketika melamar seorang lelaki. Begitu. Iya, begitu saja, toh intinya? "Lalu apa yang terjadi, Pak?" Ah, saya lupa dengan lanjutannya. Kalau cerita Pak Kampung ini anti bersambung. Pokoknya pantang pulang sebelum kelar. "Putra saudagar itu akhirnya jatuh sakit dan meninggal dunia." "Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun..." Kami kompak mengucapkan kalimat itu. Pak Kampung manggut-manggut bangga dengan respon kami. "Lalu apa yang dilakukan oleh si lelaki jomblo itu, Pak?" Saya ini punya kemampuan untuk silat. Bersilat lidah. Mulut berbisa. Pak Kampung menatap kami dengan ekspresi sedih, lalu kembali melanjutkan cerita beliau. "Dia datang ke rumah kekasihnya yang meninggal itu dan menangis kencang." "Ndak diusir, Pak?" tanya saya lagi. "Ndalu, sekali lagi kamu memotong cerita ini, Pak Kampung akan mengikatmu di perahu!" Pak Kampung mengancam saya. Salah saya apa, lho? Saya kan hanya penasaran, jadi saya nanya. "Lanjut, Pak! Lanjut!" Anak-anak lain berteriak minta lanjutan. Mata Pak Kampung terlihat sedih dan putus asa. "Setelah Pak Kampung cerita banyak hal, apa hanya begitu respon kalian? Hanya berteriak lanjut-lanjut begitu?" Kami saling menatap. Saya ndak tahu, lho kalau Pak Kampung ini juga mudah baper. Bawa perasaan. "Maaf, Pak. Kami akan berkomentar dengan baik mulai sekarang." Saya menengahi. Kami semua duduk manis dan mulai menunggu lanjutannya. "Saudagar itu menyesal karena sudah merusak jalinan cinta anak tercintanya. Akhirnya saudagar itu mengizinkan si lelaki untuk menemui putranya. Lelaki itu menangis ketika melihat sang kekasih terbujur kaku dan ndak bernyawa lagi. Lalu..." Kami diam. Menunggu. Saya ndak mau merusak suasana lagi. Sudah cukup saya memotong di tengah-tengah cerita. Sekarang saya akan jadi pendengar yang baik saja. "Lelaki itu tiba-tiba berubah jadi anjing. Dia selalu menunggu dan menjaga kuburan kekasihnya sampai ajalnya menjemput. Penduduk menguburkan jasad anjing itu di sebelah kuburan anak saudagar tersebut." Kami melongo. Sudah? Begitu saja? Jadi siluman anjing itu adalah lelaki miskin yang sedang patah hati karena kekasihnya meninggal? "Sudah, Pak?" Saya masih kepo. "Ya sudah! Kalau terus-terusan nanti nabrak!" "Trus lanjutannya bagaimana, Pak?" "Ya ndak ada." "Kok bisa ndak ada?" "Kamu ini kok tanya terus-terusan?" "Anjing itu kok cuma begitu saja, Pak? Ndak ada apa bagian dia menghantui saudagar kaya itu dan menggigit lehernya?" Teman-teman yang lain memukul punggung saya. Lah, saya kan bertanya sungguhan! Saya benar-benar kepo. Kan bisa saja namanya dendam kesumat seorang anjing karena cintanya ndak direstui. "Sebenarnya dulu ada cerita seremnya juga, kok!" Pak Kampung menghela napas. Nah, kan? Apa saya bilang? Pak Kampung itu memang punya bagian paling mendebarkan, tapi beliau malah melompati bagian itu. "Apa, Pak? Apa?" Saya menggebu, mendengarkan cerita Pak Kampung dengan penuh kesungguhan. "Konon katanya, barangsiapa yang menyakiti menantunya... maka dia akan dihantui oleh siluman anjing." "Sudah?" Saya kecewa. "Iya, sudah." "Kok hanya begitu saja, Pak?" Pak Kampung ini agaknya sudah ndak bisa sabar lagi. Saya bungkam. Pak Kampung ndak pernah marah, kecuali pada saya. Saya punya kemampuan untuk membuat orang lain kesal sepertinya. Entahlah, simbok bilang saya ini seperti lintang. Kalau di primbon Jawa, saya ini anaknya pendiam dan juga menerangi. Sebenarnya cerita yang sudah disampaikan oleh Pak Kampung itu pernah diceritakan oleh simbok saya. Simbok itu orangnya ekspresif. Kalau ndongengi, selalu saja meyakinkan dan seru. Saya awalnya percaya-percaya saja dengan cerita itu. Lagi pula Pak Kampung juga ikut kena efeknya. Simbok saya itu kalau cerita memang top markotop. Ekspresinya oke, suaranya naik turun penuh intonasi, bahkan ada gestur-gestur tertentu yang membuat ceritanya makin masuk. Hanya saja... Simbok saya belum punya nama di desa ini. Beda dengan Pak Kampung. Cih! Meskipun cara bercerita beliau biasa saja, tapi orang-orang bilang kalau beliau itu pencerita ulung. Padahal kalau dibandingkan simbok, Pak Kampung itu ndak ada apa-apanya. Kalah jauh! Masa kecil saya berlalu begitu saja setelah itu. Mitos dan legenda di desa kami itu akhirnya bertahan hingga saya sudah sebesar ini. Saya lulus dari SMP, lalu bekerja. Simbok ndak punya uang untuk menyekolahkan saya hingga SMA. Jadi saya juga ndak mau neko-neko. Saya pasrah. Saya bekerja saja, cari duit yang banyak. Siapa tahu saya bisa kaya. Sebenarnya mitos itu ndak terjamin kebenarannya. Hanya saja di desa saya ada sebuah kuburan yang dikeramatkan. Bukan dikeramatkan dan disembah begitu, tapi semacam dianggap angker. Di sebelah kuburan itu ada kuburan aneh. Kuburannya memiliki tiga nisan. Katanya itu kuburan anjing. Jadi orang-orang sepakat mengatakan kalau cerita yang disampaikan Pak Kampung dan simbok saya adalah nyata. Aktual, tajam, terpercaya! Lah, bukti sejarahnya saja ada, kok! Eh? Saya bekerja sebagai asisten perikanan. Itu nama gaul yang saya berikan untuk profesi saya. Tugas saya adalah mencatat dan menghitung jumlah kotak yang masuk. Kotak itu berisi ikan-ikan yang baru ditangkap. Setiap kotak beratnya sekitar sepuluh hingga dua puluh lima kilo. "Mas Ndalu mau kerja?" Saya mengangguk. Ibu-ibu di desa ini senang sekali menyapa saya. Mungkin karena saya sering nebeng sarapan, numpang makan siang, atau nyicipin makan malam. Simbok selalu ndak punya waktu untuk masak. Beliau berangkat pagi buta, lalu pulang malam. Saya ya ndak tega, toh kalau harus memaksa simbok untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. "Mas Ndalu, ndak mau mampir dulu? Ibuk buat nasi jagung sayur asem sambel teri." Saya ngiler spontan. Ibu-ibu di sini baik sekali pada kami. Simbok juga sering membantu mereka ketika dibutuhkan. Biasanya ketika anak mereka nikahan, atau ada keluarga yang meninggal. Simbok akan bantu memasak dan juga memandikan mayat. Simbok saya itu berpengalaman sekali sejak dulu. Simbok saya pernah belajar soal syariat agama di salah satu pondok pesantren, hingga akhirnya simbok dibawa kabur orang. Saya lahir karena peristiwa itu. "Saya kok ndak tega makan sendiri sementara simbok di sana kelaparan, ya?" Saya punya motif minta lagi, lho itu! Biarkan saja! Saya ndak mau isin-isin. Nanti ndak kisenan. Saya ndak mau malu-malu. Nanti ndak kemasukan. Kemasukan makanan maksudnya. "Ya sudah, bawa saja lagi buat simboknya." "Alhamdulillah. Terima kasih, Buk'e." Saya sarapan lagi di rumah orang. Kali ini saya juga harus berterima kasih, jadi saya membantu mereka mencuci piring. Sudah diajari simbok begitu. Kalau diberi apa-apa, balas dengan hal yang kamu bisa. Saya bisanya mencuci piring, jadi ya saya lakukan. Hidup saya juga ndak neko-neko. Saya bekerja, simbok bekerja. Kami pekerja. Kami fokus dengan cari uang untuk makan, memperbaiki genteng rumah yang sudah mulai bocor, lalu menambal lantai yang mengelupas karena panas. Hingga akhirnya desa kami heboh. Suatu hari mitos soal siluman anjing itu terjadi lagi di desa kami. Kejadian berawal dari suara lolongan anjing di malam hari. Semua penduduk ngeri. Aslinya ndak apa, toh? Kan hanya anjing kok ribut! Tapi masalahnya kejadian-kejadian aneh akhirnya juga menyertai suara-suara itu. Tiap kali ada lolongan anjing, selalu saja ada ayam penduduk yang hilang atau mati. Anjing itu mungkin yang memangsa ayam-ayam tetangga. Tapi kok ya ndak etis banget itu gimana? Anjing itu ndak tahu diri! Tapi masa iya sukanya makan ayam? Tetua desa beserta Pak Kampung akhirnya memutuskan untuk mengumpulkan para warga. Siskamling akan diadakan lagi setelah sekian lama dilupakan dan diabaikan. Saya juga ikut berpartisipasi sebagai perwakilan dari keluarga simbok. Kan kami hanya tinggal berdua. "Mas Ndalu ini jadwalnya tiap kamis malam, ya!" Kok ya saya kena malam jumat, sih Pak? Saya ini bukan penakut. Dulu sih saya percaya dengan setan-setan dan hal-hal mistis lainnya, tapi sekarang ndak lagi. Saya tahu kalau saya ditipu. Dilarang dengan alasan ndak ilok. Alias pamali. Begitu! "Jangan makan sambil ngomong, nanti nasinya dimakan setan." Setan perut iya! Saya terpaksa mengangguk dengan keputusan itu. Saya kebagian Siskamling dengan beberapa bapak yang terlihat kuat. Mereka semua nelayan yang ndak kebagian piket melaut. Biasanya nelayan berangkat malam dengan jadwal masing-masing. Hal itu dimaksudkan agar ndak ada pertengkaran dan perebutan lapak. Biar ikan-ikannya ndak bingung mau ikut jala siapa. Di malam pertama saya piket, saya bertemu dengan beberapa orang yang juga pernah jadi korban cerita Pak Kampung. "Mas Ndalu ini percaya sama mitos, toh?" "Saya kan juga pernah jadi murid Pak Kampung, toh Pak." Saya tergelak kencang. Para bapak itu tertawa juga. "Sebenarnya anjing itu ndak salah." Saya mengangguk membenarkan. "Kalau memang anjing itu yang mencuri, mana mungkin dia bisa membuka pintu kandang." Akhirnya ada juga orang waras yang sepakat dengan pemikiran saya. "Sebenarnya itu ulah pencuri," tebak saya yakin. "Tapi Tetua kita ndak mau pusing-pusing menuduh, jadi mencari kambing hitam untuk kejadian ini." "Iya, anjing itu jadi korban." Kami semua manggut-manggut sepakat. Saya ndak tahu kalau saya dikumpulkan dengan orang-orang yang lebih memikirkan kebenaran daripada duga-duga sementara seperti itu. "Kalau mau mengaitkan mitos desa dengan anjing-anjing, mungkin banyak cerita serupa, ya Mas?" Pak Yu bertanya pada saya. Saya mengangguk membenarkan. Kami berdua adalah salah satu bekas pendengar Pak Kampung. Pak Kampung selalu jadi ikon penting ketika anak-anak mereka butuh referensi cerita alias dongeng. Untung saja saya juga hobi meminjam buku di perpus desa, jadi saya masih ada referensi lain selain cerita Pak Kampung yang kelam-kelam unyu itu. "Saya pernah baca soal Bahutai." "Apa itu, Mas?" "Itu siluman anjing menurut kepercayaan orang dayak, Pak." "Oh, Kalimantan." "Kalau dulu saya pernah baca soal anjing-anjingan juga." Saya mengingat buku-buku yang pernah saya baca lagi. "Tunggu! Kok ini jadi ndongeng, ya?" Saya tersentak. "Lanjutkan saja, Mas! Lagi pula sekarang hari pertama kita melaksanakan Siskamling." Saya mengangguk. "Pernah dengar kisah soal gunung Tangkuban Perahu, Pak?" Para bapak mengangguk. "Sisir Dayang Sumbi pernah terjatuh di kolong rumah. Wanita itu berjanji, siapapun yang mengambil sisir itu bila wanita akan dia jadikan saudara, bila lelaki akan dijadikan suami." "Dan yang mengambil sisir itu adalah si Tumang, anjing peliharaannya." Saya mengangguk. Saya ndak ingin fokus dengan bagaimana mereka nikah, melakukan hubungan haha-hihi hingga Sangkuriang lahir. Yang jadi fokus utama saya adalah anjing. Lagi-lagi saya fokus di satu hewan itu. Kenapa banyak sekali kisah soal anjing-anjing di cerita dan mitos? Lagi-lagi anjing. Sudahlah, selamat Siskamling! TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD