Satu """"""""""""""""""

1804 Words
Aku menunggu. Masih menunggu. Akan menunggu. Selalu menunggu. Di sisi tulisan itu ada beberapa tetes air mata yang tidak berhasil dicegahnya jatuh. Bukan sama sekali dirinya cengeng, tapi ia perlu air mata untuk bercerita. Jika tidak ada telinga yang bisa mendengar kalimat dari bibirnya, tulisan itu bisa membuat reda murka di dadanya. Air mata itu bisa mewakili u*****n yang hatinya teriakan. Bagaimana mereka dikatakan menikah, tanpa hidup satu rumah?! Bagaimana dikatakan sebagai pasangan kalau tidak berada di satu tempat bersama?! Bagaimana, bagaimana bisa disebut cinta, kalau semuanya bukan karena kasih sayang?! Neli lelah. Hidupnya membosankan. Perasaannya terpenjara dan raganya menua tanpa jiwa. Ia jatuh tertidur di samping tulisannya, di sisi kue pernikahan yang disiapkan percuma. """"""" Neli mengusap mata. Buram penglihatannya sesaat, lalu jelas kue itu terlihat dan bekas air matanya yang mengering. Tulisan itu menjadi bukti abadi, hari-hari hatinya berteriak untuk lari dari kebodohan menunggu yang tak berguna. Ia bergegas meluruskan punggungnya di tempat tidur. Tidak ada yang bisa diperbuat, selain meredam marah dan tidur dengan damai. Neli tidak peduli waktu menjelang siang, perutnya yang lapar apalagi rumahnya yang sepi tanpa penghuni. Ia hanya akan melakukan keinginannya, namun hal yang benar-benar Neli inginkan sebenarnya sudah ia miliki, tapi ia sendiri bingung dengan semua kenyataan hidup yang dijalaninya. Neli ingin hati suaminya. Keinginan yang aneh. Tiba-tiba ponselnya berdering. Neli tersenyum, senyum pertamanya setelah mendapatkan kekecewaan dari setiap harapannya yang pupus berantakan. "Ada apa?" "Kamu tidak ke pasar?" "Aku sudah membeli banyak bahan makanan kemarin." "Apa rencanamu hari ini?" Neli tidak ingin merencanakan apapun, percuma, semua ide romantis dalam kepalanya tidak akan pernah terwujud. "Tidur panjang." "Farhan?" Neli ingin mendengus, tapi ia pikir itu tidak tepat. "Seperti biasa. Sibuk." "Kupikir semalam dia pulang," gumam suara di ujung sambungan. "Ah, mungkin besok dia pulang." Neli mengangguk. Mungkin benar. Besok, malam minggu. Suaminya akan pulang dan membuat rumah sepi mereka jadi semakin terasa aneh. "Tunggulah, dia mungkin membawa hadiah untuk ulang tahun pernikahan kalian." Neli ragu. Sungguh, kalau benar dia ingat, tentu Farhan akan menghubunginya dan mengucapkan permintaan maaf karena belum bisa pulang. Tapi tadi malam ponselnya tidak berdering satu kali pun. "Kamu belum berencana menikah?" "Aku? Mungkin kalau kalian punya anak." Neli merinding. "Kamu tidak mungkin menunggu putri kami sebagai calon pengantin, bukan?" Tawa Raihan terdengar. "Aku akan menikah, kalau perempuan itu menarik sepertimu. Aku punya pekerjaan, sampai nanti." Sambungan putus. Ada sesuatu, Neli pikir mungkin sebenarnya Raihan tadi salah bicara, makanya dia segera memutuskan panggilan. Harusnya Neli dulu berpikir lebih panjang sebelum menerima pinangan Farhan. Tapi seperti yang pernah Salwa katakan, penyesalan itu suatu tanda bahwa kita tidak mempercayai Allah. Neli masih mengakui Allah itu Esa dan Rasulullah itu utusan yang membawa kebenaran. Neli juga mengimani Al Quran dengan baik, sesungguhnya setelah kesulitan akan ada kemudahan. Entahlah, apa setelah lima tahun akan ada cinta di dalam pernikahannya, sementara Farhan makin terasa asing baginya. """""""""""" Bisakah kamu mempercayainya? Farhan menggeleng cepat. "Ada apa Pak?" Farhan tersentak melihat wajah khawatir perempuan di depannya. Gurat menunggu dan mata yang perhatian itu gelisah, tepat seperti ekspresi yang Farhan rindukan. Ia menggeleng, "Tidak ada. Kamu pulang dengan siapa?" "Eh?" Farhan melihat gerik malu yang mungkin pertanda tidak nyaman. "Maaf. Hanya menawarkan tumpangan, rumah kamu satu arah dengan bandara, bukan?" Dia mengangguk pelan. "Apa tidak merepotkan Bapak?" "Tentu tidak, mungkin sedikit mengurangi ongkos pulangmu." "Terimakasih, Pak." Farhan mengangguk saja. Ia kembali ke pekerjaannya, dengan tolak ukur kalau belum selesai mengerjakan semuanya sampai pesawat berangkat, maka ia akan menunda pulang dan bertemu istrinya. Farhan selalu merindukan Neli, tapi ia juga selalu merasa tidak nyaman saat di sisi istrinya. Kadang ia lebih suka enam hari merindukan Neli daripada satu hari bersamanya tanpa saling bersapa. Ketukan pintu terdengar. Seorang perempuan berjilbab lebar menjulurkan kepala ragu, "Em, Pak..." "Ada apa, Syifa?" Farhan sebenarnya tidak cukup nyaman memanggil nama itu, karena juga nama istrinya meskipun lebih sering dipanggil Neli. Farhan kadang melihat Syifa seperti melihat kekasihnya dulu, Neli. Mereka sama-sama pemalu, manis dan sedikit ceroboh, tapi bagi Farhan sebenarnya perempuan seperti itu malah menggemaskan, membuatnya merasa ingin jadi pahlawan yang selalu siap melindungi. Farhan ingin dirinya dibutuhkan, tapi sejak menikah Neli seperti tidak membutuhkan kehadirannya. "Pak?" Farhan tersadar, "Ah, ya. Kamu tunggu sebentar." "Apa Bapak masih sempat?" tanya Syifa ragu. Farhan melihat jam tangannya. Secepat detik bergerak Farhan langsung bergegas. "Harus sempat." Sekejap dengan langkah lebar ia melewati pintu, "Ayo." Di belakangnya terdengar suara sepatu dengan langkah lari kecil mengejar, lalu suara jatuh terdengar. Saat berbalik Farhan melihat Syifa terjerembab. Farhan hendak membantunya berdiri, tapi perempuan itu lebih dulu menjauh. "Syifa baik-baik saja," katanya memungut beberapa buku yang terlempar keluar dari tasnya. "Ayo," kata Farhan kembali mengambil langkah. Ia tahu karena melihat Neli dalam diri Syifa yang membuatnya kadang bersikap berlebihan, namun kadang ia pun sadar, bahwa kedua perempuan itu berbeda. Satu istrinya, yang satu hanya pegawai ceroboh yang manis. """"""""" Farhan tepat waktu sampai di bandara. Ia selalu merasa pusing oleh perjalanan pulangnya. Bukan ia mabuk darat, tapi kepalanya serasa akan pecah memikirkan sambutan yang akan Neli tunjukkan. Ia sungguh berharap Neli akan bersikap manis dengan beberapa kecerobohannya, tapi ia juga bisa menebak kalau Neli akan bersikap canggung dan risih akan kehadirannya di rumah itu. Farhan melihat gumpalan awan yang jauh, tiba-tiba ia tersenyum. Bagaimana pun langit yang sama di atas kepala mereka. Neli suka memandang langit cerah tanpa awan, dan langit malam yang ditaburi bintang. Farhan juga tahu kalau istrinya sangat menyukai film dan novel romantis. Padahal ia ingin melakukan sesuatu yang romantis dengan Neli, tapi Farhan ragu bisa melakukannya. Saat taksi berhenti di pagar rumah, Neli sudah berdiri di teras dengan gamis serba hitam. Tidak ada suasana duka, langit pun cerah tapi Neli seolah menunjukkan kehadiran Farhan adalah petaka baginya. "Assalamu'alaikum." "Waalaikumussalam." Farhan merasa ada udara berat yang menyapa tubuhnya saat melewati Neli. "Kamu..." Neli tersenyum, "Aku memasak makanan kesukaanmu." Farhan tahu itu bukan senyuman. Neli tersenyum bukan seperti itu. Senyuman paling manis yang pernah Farhan lihat itu masih di simpan Neli erat dalam hati. "Terimakasih." """""""''"""""" Tidak ada alasan lain, Neli punya banyak baju gamis dan gaun berwarna hitam. Suaminya sangat suka warna berlambang duka dan misterius tersebut. Meski Neli lebih suka yang cerah seperti hijau, tapi segala kain yang dimiliki lemarinya adalah hitam. Hanya beberapa yang benar-benar kesayangan Neli tanpa unsur hitam. Neli mencoba menarik perhatian suaminya. Kalau Farhan tidak cukup tertarik pada tubuhnya, setidaknya Neli sudah menyenangkan mata suaminya dengan warna kesayangan lelaki itu. Juga makanan untuk mengenyangkan perutnya. "Bagaimana pekerjaanmu?" "Baik, aku sudah menyelesaikannya." Neli melihat Farhan duduk di atas tempat tidur sedang melepaskan pakaiannya. "Em..." Farhan menghentikan kegiatannya dan menatap Neli tanpa suara. Neli menggeleng. "Aku siapakan meja makan untukmu," katanya lalu segera keluar kamar. Tadinya ia ingin menawarkan untuk membantu melepas pakaian suaminya, tapi Neli malu dan takut kalau Farhan menolaknya. Neli menikahi lelaki yang lebih muda dua tahun darinya. Alasan yang sangat tepat kalau Mama Papa menentang pernikahan mereka. Neli saat lima tahun lalu begitu lugu. Ia jatuh cinta oleh rekan kerjanya yang baru. Lelaki muda yang begitu terampil dan bergerak cepat dalam pekerjaan. Postur Farhan yang tinggi, rupawan dan misterius membuatnya selalu tidak bisa menebak jalan pikiran Farhan. Apalagi isi hati dari lelaki yang jarang tersenyum kepadanya tersebut. "Kamu selalu memasak ini, tapi rasanya selalu berbeda." Neli tersentak. Ia tadi melamun, dan sekarang Farhan duduk di seberang mejanya, dengan nasi mengepul asap dan datang tanpa suara. "Baru saja, kamu mengatakan sesuatu?" "Bukan apa-apa." Neli diam. Farhan tidak pernah mengulang pembicaraan kecuali pertanyaan yang mendesak, juga sangat jarang memberi suatu alasan. Tidak pernah membicarakan banyak hal pekerjaan, dan tidak ada pembicaraan pribadi yang bisa mereka bahas setelah enam hari berpisah. Bahkan permintaan maaf karena melupakan hari pernikahan mereka. "Kamu tidak ikut makan?" Neli kenyang. Ia sudah lebih dulu makan, supaya bisa memandang wajah suaminya selama waktu yang ada. "Aku sudah." Farhan melihat jam tangannya, "Kamu pasti kelaparan kalau menungguku." Neli percaya, tapi bukan perutnya yang kelaparan melainkan hatinya. Mereka sangat dekat, tapi lelaki itu tidak bisa Neli jangkau. """"""""" Neli membersihkan dapur dan mencuci piring sementara Farhan, bisa dipastikan sedang bekerja dengan laptopnya. Kadang Neli pikir kalau suaminya menjadikan pekerjaan sebagai istri pertama, dan Neli hanya orang ke tiga yang mengganggu. Suara bel pintu terdengar. Neli segera mengeringkan tangannya dan bergerak ke pintu depan, tapi di sana Farhan sedang membukanya. "Aku datang, untuk menumpang makan," kata Raihan tersenyum lebar. Suara tersenyum Farhan terdengar, "Masuklah." Neli sedikit terpesona dari wajah tersenyum suaminya yang memukau. Tapi ia jadi salah tingkah saat tertangkap basah. "Aku akan menghidangkan kue." "Kamu tunggu di sini sebentar," kata Farhan dingin kepada Raihan. Dengan langkah lebar, konstan dan pasti, kini dia berdiri di depan Neli. "Pakai jilbabmu." Neli menciut segera berbalik tapi kepalanya menabrak kusen pintu. Ia malu setengah mati. Namun diluar prediksi Farhan menarik tubuhnya berbalik lalu memberi perhatian lebih kepada kening Neli yang memerah dan nyeri. "Hati-hati," kata Farhan pelan, lalu meniup luka kecil itu. "Apa sakit?" Neli tertegun. Sakit fisik kecil yang terlihat seperti itu bisa menarik perhatian Farhan daripada kerinduan bodohnya yang tiada akhir. Farhan menangkup wajahnya, "Neli, apa itu sakit?" Mata penuh kasih, wajah peduli dan sikap ingin tahu itu membuat Neli tersenyum. "Aku tidak apa-apa." "Apa kue untukku belum akan datang? Aku sudah lapar," ucap Raihan sedikit berteriak. Farhan canggung seketika. "Pakai jilbabmu." Neli mengangguk manis, "Terimakasih." """"""""""" Farhan tidak ingin Neli terluka. Tapi perempuan itu memang pemalu dan ceroboh. Dan sekarang Raihan membuat suasana canggung. "Jangan bilang kalian akan b******a setelah aku pergi?" Farhan memerah. "Kamu benar-benar merencanakannya," goda Raihan sambil tersenyum geli. "Sepertinya kamu ingin diusir." Raihan tiba-tiba berwajah serius. "Kamu membawakan untuknya sesuatu?" Farhan tidak membawa apapun untuk Neli, tapi ia selalu membawa hati, rindu dan segenap cintanya untuk Neli selalu. Tiba-tiba Raihan mengacungkan tinju. Farhan merasakan hantaman nyata di bahunya. "Ada apa?!" Raihan melotot, "Kamu melupakan ulang tahun pernikahan kalian?!" Farhan tertegun. Benar. Ia sungguh lupa. Mungkin itu sebab Neli mengenakan gamis hitam untuk menyambut kedatangannya. "Kamu punya perempuan lain?" Farhan langsung bereaksi. Itu tuduhan tidak masuk akal. "Bodoh!" "Kamu memang bodoh. Untuk apa memupuk banyak harta tanpa menikmatinya." Raihan berdiri, "Neli butuh kasih sayang, bukan hanya uang." "Kamu mau pulang?" Raihan tersenyum lebar, "Mungkin kamu perlu membujuknya sebelum kalian bercinta." Farhan sedikit kesal, "Pergi sana!" Farhan mengunci semua pintu setelah tamu pengganggu itu pergi. Pelan-pelan ia membuka pintu kamar, biasanya Neli sudah tidur, tapi sekarang dia sedang membaca sambil bersandar di kepala tempat tidurnya. "Sudah malam," sapa Farhan pelan. Neli langsung menutup buku di tangannya. "Raihan sudah pulang?" "Sudah sholat?" Neli mengangguk, "Kamu belum." Farhan ingin mengucapkan kalimat permintaan maaf, tapi ia menundanya saat melihat Neli kembali fokus dengan buku. Farhan sholat isya dan segera berbaring di sisi istrinya. Napas Neli teratur, sudah tidur. Farhan menyeka pelan rambut Neli, lalu tampak kulit putih Neli memerah dan sedikit berdarah. Ia bergerak dan mengambilkan salep lalu mengoleskan tipis supaya bengkaknya berkurang. Farhan lalu meniup pelan salep tersebut dan mencium kening istrinya sebagai permintaan maaf. """"""""""
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD