Seorang Paman

1018 Words
    Sepulang sekolah, Theo tidak ikut dengan mobil Yas. Ia bersama Chico akan langsung menuju studio Oom Chandra untuk sesi pemotretan. Dan itulah yang disesalkan Theo sekarang.     "Kenapa lo nggak bilang, sih, kalo ...." Theo berhenti bicara untuk mengambil napas, berusaha terus menggenjot pedal sepeda ini. Ia pikir tadi Chico bawa motor, bukan sepeda onthel seperti ini. Iya kalau yang dibonceng adalah Bu Alila, Theo akan melakukannya dengan senang hati. Nah ini, malah peranakan dugong.     Napas Theo terasa berjarak Senin-Kamis. "Buset, berat banget! Pasti kebanyakan dosa lo. Pokoknya nyampek gang depan harus gantian! Titik!"     "Kan lo yang nebeng, jadi lo harus boncengin gue terus sampai lokasi!" jawab Chico santai, ia mengeratkan pelukannya pada pinggang Theo, tak mau jatuh karena Theo tidak stabil mengendarai sepedanya.     "Nggak bisa! Pokoknya gantian! Lo mau bunuh gue, hah?"     "Alah, lo nggak bakal mati cuman gara-gara boncengin gue. Ayok, genjot teroooos! Semangat!" ***     Sampai di studio, Theo basah kuyup karena mandi keringat. Chico benar-benar tega, ia benar-benar tidak mau gantian.     "Kamu dari mana aja kok baru nyampek? Aduh, Tante sama Chandra udah nungguin dari ta- ...." Tante Keke berhenti mengomel begitu melihat keponakannya. "Astaghfirulloh, kamu kenapa jadi mirip ikan cupang begini?"     "Jangan bilang kamu lari dari sekolah ke sini!" Oom Chandra ikutan nimbrung.     "Yang bener tuh, aku barusan nyicil siksa kubur, Oom," jawab Theo sekenanya.     "Hai, Tante!" Chico melambai-lambai agar di-notice oleh Tante Keke.     "Kamu yang namanya Chico?" Tante Keke menelisik penampilan Chico dari kepala hingga kaki. Tante Keke menyentuh dagu Chico, kemudian menegakkan kepalanya, wanita itu mengangguk-angguk.     "Oke, yuk ikut Tante! Theo, mandi dulu sana! Kecut banget baunya!" Tante Keke menutup hidungnya, berlalu membawa Chico pergi, meninggalkan Theo yang rasa-rasanya sudah mau mati.   ***       Selesai mandi Theo kembali ke studio dengan memakai bathrobe warna putih. Tante Keke segera menarik tangannya, kejadiannya terlalu cepat hingga Theo tak sempat menghindar.     "Nggak salah kamu milih dia, Yo. Nggak salah!" Tante Keke girang sekali. Lama-lama namanya bisa berubah menjadi Tante Girang.     Tante Keke berhenti menariknya saat mereka sudah sampai di depan ruang ganti. Sosok tinggi menjulang yang sangat dikenal oleh Theo, sedang berdiri memagut dirinya di depan cermin besar. Ia terlihat bangga dengan penampilan barunya.     Menyadari bahwa Theo sudah datang, Chico segera berbalik. Ia ingin menunjukkan pesonanya pada Theo.     "Gimana, Bro?" sombongnya.     Mata Theo membulat. Tidak bisa dipercaya. Ini benar Chico yang culun, katrok dan udik itu, kan?     "Gila!" Theo tidak terima. "Gue nggak mau tahu. Pokoknya di sekolah lo nggak boleh kayak gini, lo harus tetep culun. Apapun yang terjadi, lo harus tetep cupu!"     "Njiiiiir! Ada yang takut kalah pamor, nih! Seandainya aja gue bisa tetep begini pas di sekolah. Tapi nggak deh. Mending gue tetep culun, dari pada mempesona tapi mati muda."     "Maksud lo?"     "Gue nggak kelihatan apa-apa, Bego! Mata gue minus empat dua-duanya. Kan udah gue bilang, nanti duitnya buat beli kipas angin, bukan buat beli soft lense."     "Wah, bener juga. Lo emang the best deh, Bro." Theo berhambur memeluk Chico, tapi segera melepaskannya lagi. "Sial, lupa. Kan gue masih marah sama lo."     Chico tertawa terpingkal-pingkal, begitu pula Tante Keke dan Oom Chandra. Tante Keke segera mengambil wardrobe yang akan dipakai oleh Theo untuk pemotretan sesi pertama.     Sesi demi sesi berlalu dengan menyenangkan. Tiga jam berlalu sangat cepat, hingga akhirnya proses pemotretan selesai. Dari keempat orang yang ada, Tante Keke yang terlihat paling senang.     "Alhamdulillah, barokah! Tante bisa cepet kaya berkat kalian!" Tante Keke tak berhenti tersenyum melihat semua hasil foto di komputer Oom Chandra.     Tante Keke mendadak berhenti men-scroll album foto karena handphone-nya berbunyi. "Halo, Daddy?"     "Mom, kamu sama Theo, kan?"     "Iya, Dad."     "Nanti pulang bawa Theo sekalian ya. Daddy mau ngumpulin semua keluarga, ada sesuatu yang mau Daddy omongin."     Tante Keke melihat arlojinya. "Tapi ini udah malem lho, Dad. Udah jam sembilan."     "Iya, tapi apa yang mau Daddy omongin itu penting banget."     "Yaudah, deh!"     Tante Keke menutup teleponnya secara sepihak. Dari nada bicara suaminya, sepertinya memang ada sesuatu yang penting. Tapi ia tidak bisa pasrah juga, padahal tadi ia sudah membayagkan ranjang empuk saat sampai rumah. Ternyata masih ada hal lagi yang harus dilakukan.     "Tante, aku barusan ditelepon Yas, katanya ...."     "Iya, Tante udah tahu! Barusan Aa Junot nelepon." Tante Keke beralih pada Chico. "Co, kamu pulangnya bareng sekalian aja, udah malem lho ini."     "Nggak apa-apa, Tante, Chico naik sepeda aja."     "Sendirian nggak apa-apa? Berani?"     "Berani, lah, Tante. Udah biasa. Aku malem-malem naik sepeda dari kampung ke kota aja berani kok."     "Beneran?"     "Beneran."     "Yaudah, kamu hati-hati di jalan ya. Terima kasih atas kerja samanya. Semoga kita sama-sama membawa keberuntungan, biar bisa sukses bareng-bareng semuanya"     "Sama-sama. Alhamdulillah. Aamiin, ya Allah."   ***       Rumah Oom Junot terlihat ramai di waktu semalam ini. Di halaman ada mobil Yas, mobil Jodi, dan mobil Oom Junot sendiri. Sekarang bertambah satu mobil lagi, milik Tante Keke ini.     "Tuh, beneran dikumpulin semua sama Aa Junot. Ada apa, ya, kira-kira?"     "Mana aku tahu, Tan."     "Duh, Tante jadi tegang, deh. Jangan-jangan ada apa-apa lagi."     "Jangan ngomong gitu, dong, Tan. Aku juga jadi ikut deg-degan, nih."     Mereka segera turun dan masuk ke rumah. Suasana terasa hening meskipun banyak orang. Semuanya ada kecuali Bjorka yang pasti sudah tidur, dan Namira yang belum waktunya dijemput dari daycare.     Oom Junot meminta sang istri dan Theo untuk segera bergabung dengan mereka.     "Ada apa sih, Dad?" Tante Keke segera memberondong sang suami.     Mewakili pertanyaan semua orang yang menunggu di sana.     Oom Junot menarik napasnya. Cukup lama sebelum akhirnya lelaki itu membuka pembicaraan. Seperti yang akan dibicarakannya ada sebuah hal yang benar-benar menyulitkan.     "Oom sudah memikirkan hal ini semenjak kemarin, dan Oom rasa, inilah keputusan yang terbaik. Tentang hal, yang kita semua harus tahu. Oom sengaja meminta Jodi hadir di tengah-tengah kita, untuk berjaga-jaga, siapa tahu fakta ini bisa dijadikan sebuah senjata untuk sidang selanjutnya."     Tak ada yang menyela ataupun bertanya, mereka semua membiarkan Oom Junot menjelaskan dengan nyaman.     "Zidan ... dia bukanlah orang baru. Atau bisa dibilang, dia bukan orang lain bagi kita semua, khususnya untuk Yas. Waktu lihat dia pertama kali di ruang sidang kemarin, Oom kaget banget. Sampai merinding rasanya. Setelah bertahun-tahun menghilang, dia tiba-tiba muncul seperti ini. Dia ...." Oom Junot menatap Yas.     "Zidan adalah adiknya Mbak Araya. Dia ... adalah paman kamu, Yas."   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD