Tercetus Konspirasi

1455 Words
    Sidang sudah berjalan selama hampir dua jam. Perdebatan panjang antara Jodi dan Pras—pengacara Zidan—seakan tak ada habisnya. Mereka sama-sama memperkuat argumen di balik bukti-bukti dokumen yang ada, yang sama-sama valid dan berbadan hukum.     Yas yang berdiri di podium penggungat, beberapa kali menyeka keringat. Berbeda dengan Zidan yang berdiri di podium tergugat. Ia sama sekali tak ada beban. Di mana hal itu semakin membuat perasaan Yas berkecamuk.     Oom Junot melihat semuanya. Ia menahan napas berkali-kali sepanjang sidang, mengingat betapa berbahayanya orang itu. Pada kenyataannya, Zidan memang tidak waras. Ironinya, orang-orang yang membelanya di sini, tak tahu apapun tentang itu.     "Yang Mulia, saya ingin memberi kesaksian mengenai Tuan Zidan." Seorang lelaki tua bertubuh kurus berdiri di antara pembela Zidan yang lain. "Tuan Zidan adalah orang baik. Ia adalah satu-satunya orang yang membantu buruh tani rendahan seperti kami. Entah bagaimana nasib kami kalau tidak ada Tuan Zidan."     "Saya juga ingin memberi kesaksian, Yang Mulia." Kali ini seorang wanita paruh baya berhijab. "Tentang kebaikan Tuan Zidan, sudah tak perlu diragukan lagi. Sebagian besar orang di daerah ini pernah dibantu oleh beliau. Dua tahun lalu, saat tak ada yang peduli dengan nasib keluarga saya.     "Anak saya butuh dana untuk operasi bibir sumbing. Saya dan suami sudah bekerja siang malam. Tapi semua yang kami dapat hanya cukup untuk hidup sehari-hari." Wanita itu menjelaskan dengan terisak-isak.     "Kami sudah mengajukan bantuan ke desa, namun hanya diberi janji. Tapi Tuan Zidan dengan sukarela menolong kami. Bahkan sampai tiga kali tahap operasi sekarang. Tuan Zidan juga menjamin akan terus membantu kami, sampai operasi benar-benar selesai, dan anak saya menjadi normal."     "Saya juga ingin memberi kesaksian!"     "Saya juga!"     "Saya juga!"     Mereka semua sibuk mengacungkan tangan, berebut ingin memberikan kesaksian tentang kebaikan Zidan--yang sebenarnya busuk.     "Harap tenang!" seru Hakim. Dalam sekejap mereka semua menghentikan aksinya. "Dari pihak Penggugat, adakah yang ingin memberikan kesaksian juga?"     Oom Junot segera berdiri, semua pasang mata tertuju padanya. "Saya adalah adik dari Riefan Athabarrack. Di sini saya tidak akan bicara banyak mengenai Almarhum. Saya hanya akan bersaksi mengenai kehidupan keponakan-keponakan saya sekarang.     "Yas ... maksud saya Penggugat. Ia adalah anak pertama. Usianya baru 27 tahun, bekerja sebagai seorang guru dari pagi hingga sore, dan malamnya bekerja di pabrik. Dengan gaji yang tidak seberapa, ia harus menghidupi empat orang setiap harinya. Dirinya sendiri, dua adiknya yang masih sekolah, dan juga putrinya yang masih bayi.     "Selama ini, hidup mereka sudah kesulitan. Dengan penghasilan yang pas-pasan itu, mereka masih harus mencicil hutang sang Ayah setiap bulan. Dan tiba-tiba mereka harus melunasi semua hutangnya dalam waktu satu bulan?     "Dengan jumlah hutang yang sama sekali tidak sedikit. Adik-adiknya bahkan sampai menjual barang-barang pribadi, mereka bekerja untuk membantu Penggugat. Jika seandainya, Tuan Tergugat adalah orang yang sebaik kesaksian para pembela, apakah ia akan tega melakukan hal ini pada anak-anak almarhum klien-nya?"     Pertanyaan Oom Junot itu mengundang amarah dari para pihak Zidan. Mereka segera menyerangnya bersama-sama. Hakim kembali menegur mereka untuk diam.     Oom Junot kini tengah menatap tajam Zidan di podium tergugat. Lagi-lagi lelaki itu tersenyum licik padanya.     "Mohon dilanjutkan kesaksian Anda!" pinta Hakim.     "Saya rasa sudah cukup, Yang Mulia."     "Baik, Pengacara Penggugat, silakan dilanjutkan!"     "Baik. Sesuai dengan kesaksian pihak kami, bahwa anak-anak dari Tuan Riefan Athabarrack, mereka tidak tahu apa-apa. Dalam bukti perjanjian hutang yang kami miliki, sudah tertulis dengan jelas, bahwa hutang hanya harus dicicil satu bulan sekali dalam kurun waktu yang sudah ditentukan. Mereka sudah baik mau berusaha mencicil hutang almarhum sang Ayah, dan tidak seharusnya mereka diperlakukan seperti ini.     "Namun ternyata, Tergugat memiliki satu bukti dokumen lain yang isinya berbeda. Entah mana yang benar dari kedua bukti dokumen yang sama-sama sah. Tapi jika dilihat dari sisi kemanusiaan, semua juga tahu mana yang harus dibenarkan. Apalagi kata para pihak pembelanya, Tuan Zidan adalah orang yang baik bukan?" Jodi sengaja memberikan penekanan khusus dalam pertanyaannya.     "Keberatan, Yang Mulia!" Pras segera menyangkal.     "Silakan ajukan keberatan Anda!"     "Memang belum diketahui mana dokumen yang sebenarnya, namun seandainya milik Tergugat adalah yang benar, maka hal ini akan sangat merugikan Tuan Zidan, jika keputusan diambil sesuai dengan pernyataan saudara Jodi.     "Dan apa tadi katanya? Sisi kemanusiaan? Ini adalah negara hukum. Kalau kita memikirkan segala hal dari sisi kemanusiaan, maka apa gunanya ada hukum? Misal ada seseorang yang membobol Bank demi menghidupi keluarganya, apa dia akan bebas dari hukum begitu saja, hanya karena alasan kemanusiaan?"     Gemuruh pendapat orang-orang di sana segera merajai suasana. Mereka memiliki spekulasi dari sudut pandang masing-masing.     Bagaimana ini? Yas dan Oom Junot bahkan tak bisa berpikir lagi. Bagaimana Jodi akan menjawab argumen dari Pras? Karena argumen itu cukup kuat dan masuk akal.     "Pengacara Penggugat, silakan!" Hakim memberikan Jodi kesempatan untuk berargumen lagi.     "Baik, Yang Mulia!" Jodi kembali mengalihkan pandangannya pada Pras. "Kasus hutang piutang dan kasus pembobolan Bank, bagaimana hal itu bisa disamakan, Saudara Pras?"     Beberapa orang tertawa karena pertanyaan Jodi itu     Kini semua tahu, kenapa Jodi disebut-sebut sebagai produk unggul. Tak salah memang jika ia adalah pengacara paling dicari, paling komersil, dan paling mahal. Ia juga merupakan pengacara yang paling ditakuti oleh lawannya saat sidang seperti ini, dengan kemampuannya memutar balik argumen dalam waktu singkat.     "Pencurian tentu salah dan tidak bisa dibenarkan dari sisi manapun, tapi itu sama sekali tak ada hubungannya dengan kasus ini. Kasus ini adalah tentang sebuah keluarga yang diperas, oleh seseorang yang katanya baik bak malaikat. Apakah Anda sudah jelas sekarang, Saudara Pras?"     Pras tak memberi jawaban apapun, ia hanya diam menatap Jodi dengan penuh amarah. Jodi seakan tak peduli, kebiasaan cengengesan yang biasanya mengesalkan, kini menjelma menjadi sebuah karisma tersendiri dari seorang Jodi sebagai seorang pengacara.     "Sidang hari ini berakhir di sini. Sidang selanjutnya akan dilaksanakan minggu depan!" Hakim mengetukkan palunya tiga kali, dengan itu sidang hari ini benar-benar berakhir.   ***       Oom Junot melirik Yas yang terdiam sendirian di jok belakang. Ia pasti masih memikirkan semua yang terjadi pada sidang tadi. Di sisi lain, saat ini Oom Junot juga tengah menghadapi dilema besar. Ia bingung, haruskah fakta itu ia ungkap, atau lebih baik disimpan sendiri saja?     Mobil ini melaju pelan saat mulai memasuki gang menuju rumah Yas. Hingga akhirnya benar-benar berhenti saat memasuki pekarangan rumah. Namun, bukannya segera turun, Yas masih diam di tempatnya.     Oom Junot dan Jodi bersamaan menatap ke belakang.     "Yas!" seru Oom Junot akhirnya.     Barulah Yas tersadar dari lamunannya. "Oh, udah nyampek!"     "Mikirin apa kamu?" tanya Oom Junot, tentu saja hanya sebuah basa-basi, karena nyatanya mereka semua tahu apa yang dipikirkan oleh Yas.     Yas membuka pintu dan segera turun. "Mampir dulu, Oom, Jod!" tawarnya.     "Kita langsung balik aja, Yas," jawab Oom Junot.     "Tuh, denger sendiri, kan? Padahal sebenernya gue pengen. Kapan-kapan deh gue mampir." Jodi kali ini.     "Yas, inget nanti nggak usah ke pabrik dulu, istirahat aja di rumah!"     "Iya, Oom. Terima kasih." Yas mengalihkan pandangannya pada Jodi. "Makasih banget ya, Jod."     Jodi segera mengangkat jempolnya. Ia kemudian memutar balik mobilnya. Yas menunggu hingga mobil itu perlahan melaju pergi.     Langkah kaki Yas mengayun memasuki rumah. Ia segera menuju ruang makan. Theo dan Elang lebih tenang kali ini. Tak ada protes apapun. Mungkin karena mereka sudah terlalu lapar. Mereka juga hanya diam saat Yas memberikan nasi kotak yang dibawanya.     "Kok cuman dua?" tanya Theo.     "Iya cuman dua, lo nggak makan?" Eang kalli ini.     "Mas udah makan tadi sama Oom Junot, sama Jodi."     "Beneran?"     "Iya."     "Sidangnya tadi gimana?"     Mendengar pertanyaan itu, Yas langsung diam. Terlalu banyak yang terjadi hingga Yas bingung mana yang harus diceritakan. Tapi bukannya memang seperti itu jalannya sebuah persidangan? Ia hanya terkejut karena ini baru pertama kalinya ia mengalami situasi demikian.     "Sidangnya ... lancar kok."     "Terus hasilnya?"     "Belum ada hasil. Masih ada sidang selanjutnya nanti." Yas berusaha mengatakannya setenang mungkin     "Oh, gitu. Yaudah deh, asal sidangnya jangan sampek berlanjut puluhan episode, kayak kasus Jessica, si tukang kopi sianida." Mereka bertiga tertawa mendengar ocehan Theo.     "Ada-ada aja kamu, Dek. Ngomong-ngomong Mas langsung naik aja ya, mau istirahat."     "Lhoh, nggak ke pabrik?"     "Nggak, dikasih cuti sama Oom Junot. Yaudah, cepetan dimakan! Keburu nggak enak ntar kalo kelamaan."     Theo dan Elang langsung menurut, membiarkan kakak mereka itu berlalu pergi ke kamarnya. Saat Yas sudah benar-benar pergi, barulah Theo dan Elang memulai pembicaraan lagi.     "Padahal gue pengennya dia ceritain semua yang terjadi pas sidang tadi," ucap Elang sembari memotong chicken wing-nya menjadi dua bagian. "Pasti ngeri, panas, bikin deg-degan. Lo lihat mukanya Yas sampek kayak zombie begitu?"     "Kayaknya kapan-kapan kita harus bolos, terus nyamar, biar bisa jadi peserta sidang. Jadi, kita bakal tahu apa aja yang terjadi di sana, dan yang paling penting, bisa lihat kayak apa mukanya si Jidan itu." Theo menggigit paha ayam-nya yang super gemuk.     "Lo, tuh, ya." Elang tampak tak setuju dengan pernyataan Theo.     "Gue kenapa? Elah, salah lagi."     "Kalo ngomong suka bener." Elang cengengesan karena berhasil mengerjai adik kembarnya. "Gue setuju!"     Theo hanya tersenyum sombong, rupanya mengunyah ayam jauh lebih menyenangkan dari pada menanggapi omongan kakaknya. Sebuah konspirasi antara kembar setan pun tercetus.   ***   TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD