Firasat Buruk

2080 Words
    Februari 2007.     Dua orang bocah berseragam warna hijau putih, berlari antusias memasuki pintu kayu megah berukir. Mereka membawa selembar kertas putih—hasil ujian akhir semester. Senyuman menghiasi wajah mereka. Keduanya menyerukan sebuah nama yang sama.     "Math Yath! Math Yath!"     Suara mereka terdengar lucu karena lidah mereka yang masih cadel. Terutama Theo.     Beberapa orang asisten menyambut kedatangan mereka. Mengambil alih tas ransel yang tadinya mereka pakai.     "Math Yath!" seru mereka lagi.     Seseorang yang mereka panggil dengan cepat keluar dari kamar. Dua bocah itu semakin gencar menyerukan namanya kala ia berjalan menuruni tangga. Yas saat ini memang sedang rajin meliburkan diri dari sekolah.     Tidak, Yas bukannya membolos. Hanya saja saat ini ia sudah selesai ujian akhir semester. Jadi, masuk sekolah juga tak ada gunanya. Ia lebih memilih untuk leha-leha di rumah saja, sambil menunggu keluarnya nilai.     "Apa itu, Dek?" Yas berlutut di hadapan dua krucil.     Mereka berjingkrak senang, seperti sedang bertemu artis idola. Perumpamaan itu sama sekali tak berlebihan. Karena Theo dan Elang memang sangat mengidolakan Yas. Menurut mereka, Yas adalah orang paling keren di dunia.     "Nih, tadi lapot kita udah dibagiin thama Bu Gulu." Elang menyerahkan rapornya terlebih dahulu.     "Bagus nggak hasilnya?"     "Baguth dong!"     Yas memeriksa rapor Elang dengan teliti. Yas puas dengan hasilnya. Nilai Elang berada di atas KKM semua, bahkan mendekati sempurna. Rata-ratanya saja 9,8. Elang berhasil mendapat bintang lima pada semua pelajaran, bintang sempurna.     "Ya ampun, pinter banget, sih, adeknya Mas!" Yas mengacak rambut Elang. Anak itu tersipu-sipu malu.     Giliran Theo yang memberikan rapornya pada Yas. "Nih, lihat lapotnya Theo, Math Yath! Lapotnya Theo jauh lebih baguth dalipada lapotnya Elang!"     Tak ubahnya saat menerima rapor Elang tadi, Yas juga menerima rapor milik Theo dengan antusias. Remaja laki-laki itu mengernyit begitu melihat hasilnya. Yas bahkan susah membedakan, apakah ini rapor atau lipstik Mama, karena warnanya yang merah merona.     Jika hasilnya begini, lalu kenapa Theo bersikap seolah-olah bahwa nilainya sama bagusnya dengan Elang? Bahkan sampai sekarang Theo masih tersenyum bahagia.     "Kenapa thih, Math Yath? Bukannya lapot Theo jauh lebih baguth dali lapotnya Elang?" Theo kebingungan melihat reaksi Yas.     Theo saja bingung, apalagi Yas! Lebih bagus dari mananya? Jelas-jelas rapornya Theo kebakaran seperti ini. Tapi Yas tidak mungkin mengungkapkan uneg-unegnya  secara gamblang. Karena nanti Theo pasti akan sakit hati.     "Tuh kan, udah Elang bilangin kalo lapotnya Theo itu jelek. Ngeyel, thih!" Elang kembali membuka topik perdebatan mereka sepanjang perjalanan pulang tadi.     "Kenapa, thih, Elang thilik teluth thama Theo? Elang nggak boleh gitu! Kalo mau lapot Elang thama baguthnya kayak lapot Theo, Elang haluth lebih giat belajal!" sanggah Theo panjang lebar.     Yas terkikik karena kelakuan kedua adiknya. Heran sebenarnya. Dari dulu mereka tak pernah akur. Entah itu karena urusan mereka sendiri, ataupun perkara berebut perhatian Yas.     "Udah jelath-jelath kalo lapot Theo lebih baguth dali punya Elang. Elang malah ngeyel teluth. Theo jadi kethel, Math Yath." Theo mengadu pada Yas.     "Telthelah Theo, deh, telthelah!" Elang pasrah.     Malas juga lama-lama menghadapi lawan bicara yang pengetahuannya tak lebih dalam dari kolam air mancur di alun-alun kota.     "Emang apa alasan Theo mengatakan, jika rapor ini lebih bagus dari punyanya Elang, hm?" tanya Elang akhirnya.     "Math Yath jangan ikut-ikutan Elang, deh!" Theo melipat kedua tangan di d**a. "Udah jelath, kan, themuanya? Lapot Elang jelek, walnanya item thama putih. Jelek, deh, pokoknya! Kalau lapot Theo, kan, belwalna melah putih. Indah! Thepelti walna bendela Indonethia. Meldeka!" Theo mengepalkan tangan kanannya. Pancaran kebahagiaan belum hilang dari wajahnya.     Yas susah payah menahan tawa. Elang bahkan sudah terbahak-bahak. Begitu juga para asisten yang ada di sana.     "Ya sudah, nggak apa-apa." Yas menumpuk kedua rapor adiknya, bersiap untuk menyimpannya.     Jika Papa atau Mama pulang dalam kurun waktu dua minggu ini, Yas akan memperlihatkan hasil belajar kedua adiknya ini.     Yas cukup puas dengan hasil yang mereka dapatkan. Untuk nilai Theo yang kurang memuaskan, itu bukan masalah besar. Toh, rapor sudah terlanjur keluar.  Yas tak mungkin memarahi Theo hanya karena nilainya jelek.     Meskipun secara akademis nilai anak ini selalu kalah dengan Elang, tapi Yas yakin kalau Theo punya bakat lain yang akan kelihatan seiring dengan berjalannya waktu.     Karena setiap orang terlahir spesial dengan membawa kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak ada manusia yang sempurna, karena manusia bukan Tuhan. Maka itu, manusia tak pantas sombong.     "Besok kalian udah mulai libur, kan?" tanya Yas.     Theo dan Elang mengangguk.     "Mau jalan-jalan sama Mas atau nggak?"     “MAUUUUUU!” sahut mereka bersamaan.     "Tapi janji dulu, semester depan kalian harus belajar lebih giat. Oke!"     "OKE!"     "Sip. Sekarang ganti baju dulu, terus makan siang sama Mas."     "YETHHH!"     Yas tertawa keras. Padahal seharusnya ia sudah kebal dengan lidah cadel Theo dan Elang, tapi sampai sekarang ia masih selalu kesulitan menahan tawa.     Mungkin kapan-kapan ia harus merekam cara bicara keduanya, dan akan ia tunjukkan kalau mereka sudah dewasa nanti.     Keluarga ini bisa dibilang sempurna. Kepala keluarga yang terpandang, Ibu yang gemilang, dan anak-anak yang cemerlang. Meskipun sosok orangtua jarang terlihat di sana—karena keduanya selalu sibuk dengan pekerjaan—tapi mereka cukup beruntung memiliki anak seperti Yas yang begitu mengerti dengan kesibukan kedua orangtuanya.     Ia tak pernah protes dan selalu menjadi anak baik. Ia selalu membanggakan, sangat pintar, dan sangat bertanggung jawab. Dan yang paling penting, ia sangat menyayangi kedua adiknya.     Entah bagaimana nasib Theo dan Elang kalau Yas tidak ada. Karena keberadaan Yas, mereka seperti tak pernah kekurangan kasih sayang, meskipun tanpa kehadiran orangtua.   ***       April 2008.     Hari ini adalah ulang tahun Yas. Dan besok adalah ulang tahun Theo dan Elang. Tanggal ulang tahun mereka memang hanya berjarak satu hari. Itu pula salah satu alasan kenapa Yas sangat menyayangi adik-adiknya lebih dari apa pun.     Lebih dari kasih sayang seorang kakak ke adik pada umumnya. Karena Yas menganggap bahwa Theo dan Elang adalah kado terindah yang dikirimkan oleh Tuhan.     Yas tersenyum mengingat semua itu. Setiap kali ulang tahunnya tiba, pikiran Yas selalu kembali pada saat itu. Saat di mana kado-kado terindahnya datang.   ***       Tujuh tahun lalu.     Sehari sebelum kelahiran Theo dan Elang, Yas tengah dilanda kesedihan yang mendalam. Dikarenakan, Papa dan Mama melupakan hari ulangtahunnya yang ke-10. Padahal tahun-tahun sebelumnya, mereka tidak pernah lupa.     Bahkan mereka pergi entah ke mana, dan tidak pulang sama sekali sampai tengah malam begini. Padahal hari ini jadwal libur kantor. Keesokan harinya saat Yas bangun tidur, Papa sudah ada di kamarnya. Papa tidak membawa kue ulang tahun atau apapun yang menunjukkan bahwa Papa mengingat ulang tahunnya.     Sebenarnya tak apa terlambat—asal Papa tidak lupa—Yas sudah sangat senang dan bersyukur. Tapi kali ini sepertinya Papa benar-benar lupa.     Lelaki itu berlutut di hadapan Yas. Ia kemudian tersenyum. Senyuman indah Papa yang selalu Yas suka. Meskipun hatinya sedang sedih, tak menghalangi Yas untuk ikut tersenyum bersama ayahnya.     "Sekarang Yas mandi, ya, pakek baju yang bagus, Yas harus ikut Papa!"     Yas segera mengangguk antusias. Ia menganggap hal ini sebagai pertanda bahwa Papa akan memberi sebuah kejutan setelah ini. Yas bergegas mandi, memilih pakaian terbaik, kemudian sarapan roti panggang yang sudah dibuatkan oleh asisten.     Mobil melaju dengan kecepatan normal. Entah Papa mau mengajak Yas ke mana. Yang jelas rona Papa terlihat berseri-seri. Jadi, kemungkinan besar, ia akan membawa Yas ke tempat yang bagus. Yas semakin menyimpan harapan besar atas ajakan Papa ini.     Mobil akhirnya berhenti di parkiran sebuah gedung yang sangat besar. Yas tahu ini rumah sakit. Ia menjadi agak kecewa tanpa alasan yang jelas. Tapi ... siapa yang sakit?     Tapi lagi ... jika benar ada yang sakit, lalu kenapa Papa justru terlihat bahagia? Yas memutar otak. Dalam sekejap, muncul sebuah lampu tepat di sebelah kepala. Tanda bahwa otaknya sudah melaksanakan tugas dengan begitu baik. Jangan-jangan ....     "Ayo cepet, Yas! Adek-adek kamu udah nggak sabar pengen ketemu kakaknya!" seru Papa.     Benar, kan?     Seketika senyuman Yas mengembang. Rasa kecewa yang sempat muncul, kini telah menghilang sama sekali. Berubah menjadi rasa bahagia tak terkira. Yas sudah tahu bahwa adiknya kembar.     Mungkin itu juga yang membuat mereka berada dalam perut Mama dalam waktu yang cukup lama. Hampir 10 bulan. Padahal wanita hamil umumnya hanya sembilan bulan. Makanya, Yas sangat senang ketika akhirnya si kembar lahir juga.     Yas segera memeluk Mama di kamar rawatnya. "Mana adeknya Yas, Ma?" tanyanya kemudian.     Mama tak bisa menahan tawa. Sang sulung yang akhirnya menjadi seorang kakak, terlihat tak sabaran melihat dua versi kecil dari dirinya.     "Di situ!" Wanita itu menunjuk box  bayi yang berada tak jauh darinya.     Yas bergegas menghadap pada box  bayi yang bersangkutan. Senyuman Yas semakin merekah lebar, menatap dua bayi kecil yang masih sangat merah. Yas tidak ragu memasukkan jemarinya ke sana, menyentuh pipi kedua adiknya satu per satu.     "Selamat ulang tahun, ya, Sayang!" seru Mama.     "Selamat ulang tahun, Yas." Papa kali ini, dengan membawa sebuah kue ulang tahun dengan lilin berbentuk angka 10 di atasnya.     Entah kapan Papa keluar untuk mengambil kue itu, padahal tadi mereka masuk ke kamar ini bersama-sama. Yas berjalan mendekat pada Papa. Ia memejamkan matanya, berdoa. Selesai, ia meniup lilin perlahan.     "Terima kasih, Pa, Ma," ucapnya tulus. Senyuman seakan tak ingin lekang dari parasnya yang rupawan.     "Maaf terlambat, ya, Sayang."     Yas menggeleng. "Kenapa harus minta maaf? Nggak ada yang perlu dimaafin."     Papa dan Mama saling bertatapan, merasa terharu. Nyatanya mereka memang sangat beruntung memiliki anak seperti Yas. Ia selalu mengerti dan dewasa.     "Kamu mau kado apa, Sayang?"     Yas menggeleng lagi. "Mau minta kado apa lagi? Kadonya udah ada di sini." Yas menunjuk kedua adiknya di dalam box. "Adek-adek Yas ini udah lebih dari cukup. Terima kasih, Pa, Ma, udah ngasih Yas kado ulang tahun terbaik sepanjang masa."   ***       Yas mengenang tujuh tahun silam. Ia selalu ingat akan senyuman indah kedua orang tuanya kala itu. Tak terasa sudah tujuh tahun berlalu. Dan hari ini, usia Yas telah menginjak 17 tahun. Setahun lagi, ia akan lulus SMA. Ia sudah membayangkan masa depannya nanti.     Yas memiliki beberapa rencana; kuliah di universitas ternama, lulus dengan predikat cumlaude, kemudian membantu Papa mengurus perusahaan. Selain itu, Yas bahkan sudah bermimpi ingin menikah dengan wanita yang secantik Mama. Dan memiliki banyak anak yang lucu-lucu.     Semenjak Theo dan Elang lahir, Yas telah membiasakan diri dengan kenyataan bahwa ulangtahunnya tak akan pernah bisa dirayakan secara tepat waktu seperti dulu. Karena ulang tahunnya akan dirayakan keesokan harinya, bersamaan dengan ulangtahun si Kembar. Hal itu bukan masalah besar bagi Yas.     Yang penting bukan perayaannya, namun apa makna yang tersirat di baliknya. Menurut Yas, merayakan ulang tahun bersama adalah sebuah momen yang langka dan berharga. Tak masalah ia harus selalu mengalah. Hal itu wajar, karena ia adalah seorang kakak.     "Mas Yas, Papa sama Mama nggak lupa, kan, kalau besok waktunya rayain ulang tahun kita?" tanya Elang yang terbaring di sebelah kanan Yas.     "Iya, Mas Yas. Kok sampek semalem ini, mereka belum pada pulang." Theo yang terbaring di sebelah kiri Yas menimpali.     Mereka berdua tumbuh sangat pesat dalam kurun waktu setahun ini. Tinggi badan mereka bertambah dengan cepat, bahkan lidah keduanya juga sudah tidak cadel lagi.     Yas mengacak rambut mereka bersamaan. Dua bocah ini memang hobi menyelinap ke kamar Yas, dan memaksa ingin tidur bersama seperti sekarang ini.     Alhasil, Yas-lah yang harus rela tidak bisa tidur. Mengingat kelakuan Theo dan Elang saat tidur, sudah mirip cacing kepanasan. Bergerak-gerak terus, tidak bisa diam.     "Papa sama Mama, tuh, sibuk, Dek. Besok mereka pasti pulang, kok. Karena mereka nggak mungkin lupa untuk rayain ulang tahun kita," jelas Yas dengan nada penuh keyakinan.     Seperti biasa, Yas selalu berhasil membuat kedua adiknya merasa tenang dan nyaman.     Meskipun pada kenyataannya, ada yang berbeda dalam hati Yas kali ini. Keyakinan itu ... sedikit memudar. Entah apa alasannya. Yas hanya merasa ... bahwa kedua orang tuanya tak akan pulang untuk merayakan ulang tahun mereka tahun ini.   ***       Firasat Yas menjadi kenyataan. Pagi-pagi sekali rumah ini terlihat begitu ramai. Bukan karena perayaan ulang tahun anak-anaknya. Melainkan karena banyak saudara jauh yang datang. Mereka datang setelah mendengar berita bahwa Papa dan Mama mengalami kecelakaan lalu lintas semalam.     Papa melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi karena tak ingin terlambat memberi kejutan pesta ulang tahun untuk anak-anaknya.     Nyatanya, kebut-kebutan di jalan memang tak pernah benar. Mobil yang dikendarai Papa, bertabrakan dengan truk yang memuat pasir. Mobil mereka ringsek seketika. Untungnya, keadaan Papa tak terlalu parah. Saat tabrakan terjadi, air bag  mobil itu segera menolongnya dari segala benturan fatal.     Sayangnya, tidak demikian dengan Mama. Wanita itu lupa tidak memakai sabuk pengaman. Air bag  yang seharusnya menyelamatkan dirinya, tak berfungsi lagi karena tubuhnya terlempar duluan keluar dari mobil, melalui jendela pintu yang pecah saat tabrakan terjadi. Jika saja ia memakai sabuk pengaman, akibatnya tak akan sefatal sekarang.     Para saudara jauh itu sibuk menenangkan Theo dan Elang yang terus menangis. Mereka terus-menerus menyerukan nama Yas. Mereka tak mengerti apa yang terjadi, tapi keberadaan orang-orang itu membuat mereka takut. Sementara biasanya saat mereka ketakutan seperti ini, hanya Yas yang bisa menenangkan mereka.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD