Anak Siapa

1307 Words
    Yas dan Papa berdiri dalam diam di lorong rumah sakit. Para dokter tengah menangani Mama di dalam sana. Sudah empat jam berlalu dan mereka belum juga keluar.     "Papa balik dulu aja ke kamar, nanti kalau dokter udah keluar Yas kasih tahu." Yas kembali meminta Papa untuk kembali ke ruang perawatannya.     Meskipun lukanya tak terlalu parah, tapi Papa tetap butuh istirahat untuk memulihkan kondisinya.     "Maafin Papa, Yas. Maafin Papa." Lelaki itu benar-benar masih terpuruk dalam sesal yang begitu besar.     "Udah Yas bilang, kan ... ini bukan salah Papa. Ini semua kecelakaan."     "Tapi ...."     Bicara Papa dihentikan oleh suara pintu yang terbuka. Seorang Dokter keluar dari sana.     "Gimana keadaan istri saya, Dok?"     "Saat ini pasien membutuhkan donor darah golongan B. Kita sudah mentransfusi lima kantong darah sepanjang perawatan berlangsung, tapi semuanya masih belum cukup. Dan kami sudah kehabisan stok sekarang."     "Bagaimana ini? Golongan darah saya O, beda sama istri saya, Dok." Papa terlihat panik.     "Biar Yas aja, Pa." Yas segera mengajukan dirinya.     Toh, ia sudah cukup umur sekarang. Dan ia juga sehat, tak kurang suatu apapun. Jadi, tak ada pantangan untuk melaksanakan donor darah. Terlebih untuk ibunya sendiri.     "Saya belum tahu apa golongan darah saya. Tapi kalau nggak sama dengan Papa, pasti sama dengan Mama, kan, Dok? Jadi, nggak ada salahnya dicoba dulu."     "T-tapi, Yas!" Papa berusaha menghentikannya.     "Papa tunggu di sini, ya." Yas berpamitan tanpa menghiraukan keraguan Papa. Ia mengikuti dokter yang lebih dulu melangkah mendahuluinya.   ***       Raut wajah dokter itu dipenuhi rasa penyesalan yang mendalam. Ia sama sekali tak tahu jika akhirnya jadi seperti ini.     Ia baru saja menyampaikan sebuah fakta yang mengejutkan pada seorang remaja yang bahkan sampai saat ini masih terdiam dalam duduknya.     "T-tapi gimana mungkin, Dok? Papa saya O, dan Mama saya B. Sejauh yang saya pelajari di sekolah, orang tua dengan golongan darah O dan B, tidak mungkin mempunyai anak dengan golongan darah A. Jadi, pasti hasil tesnya salah. Kita harus tes ulang, Dok."     "Maafkan saya, Dek. Tapi tes darah itu tidak mungkin salah."     "T-tapi ...."     "Sekali lagi maafkan saya. Staf kami sudah menelepon rumah sakit pusat, untungnya stok darah B di sana masih ada. Mereka sedang mengirimnya ke sini sekarang." Dokter itu berusaha membesarkan hati Yas. Meskipun itu sama sekali tak berhasil.     Yas berjalan gontai kembali pada lorong tempat Papa berada saat ini. Yas melihat lelaki berpostur menjulang itu dari posisi berdirinya sekarang. Papa juga tengah manatapnya lekat.     "Yas, Papa bisa jelaskan semuanya, Nak."     "Kenapa baru sekarang, Pa? Kenapa? Yas berhak tahu siapa orang tua Yas. Kenapa Papa baru akan menjelaskan sekarang? Kenapa nggak dari dulu aja?"     "Papa sungguh-sungguh minta maaf, Nak." Papa lagi-lagi mengucap kata maaf. "Kamu anak Papa. Anak kandung Papa. Mama juga adalah Mama kamu. Orang yang sudah membesarkan kamu dengan sepenuh hatinya, meskipun dia bukan ibu kandung kamu."     Yas menggigit bibir bawahnya, berusaha meredam luapan emosi. Yas baru sadar. Jadi, ini adalah sebab mengapa Papa dan Mama selalu berusaha mencegahnya untuk memeriksakan golongan darah selama ini.     "L-lalu siapa ibu kandung Yas, Pa?"     Papa mulai terisak hebat. Ia menyesal tak memberitahukan hal ini semenjak awal. Bukannya tak mau. Ia hanya tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada Yas.     Melihat Yas tumbuh dengan baik dan bahagia bersama istrinya, semua itu sudah cukup. Maka ia menganggap Yas tak perlu tahu tentang fakta ini.     Mana ia menyangka bahwa kelak akan ada kejadian tak terduga seperti ini? Yang justru mengungkapkan fakta yang sebenarnya, dengan cara dan di waktu yang sama sekali tidak tepat. Tuhan sudah menghukumnya karena menyembunyikan fakta sebesar ini dari anaknya sendiri.     "Ibu kandung kamu—istri pertama Papa—dia sudah meninggal, Nak. Dia meninggal dua hari setelah melahirkan kamu."     Yas tak bisa menahan tangisnya lagi. Wanita yang selama ini ia kenal sebagai figur seorang ibu, ternyata bukanlah ibu kandungnya. Tak apa. Sungguh!     Tapi bagaimana bisa Papa merasahasian fakta itu? Bahkan sampai usia Yas sudah dewasa seperti sekarang ini.     "Maafkan Papa, Yas. Keputusan kami untuk menyembunyikan semuanya memang salah. Tapi kamu sudah besar saat kami menyadari itu. Kami takut kalau kamu akan sulit menerima semuanya. Makanya kami memutuskan untuk tetap diam."     "Apa pun alasannya, Yas berhak tahu, Pa. Yas berhak tahu!" Selama hidupnya Yas tak pernah bicara dengan nada tinggi seperti itu pada orang tuanya. Baru kali ini. Rasa kecewanya telah mengalahkan segalanya.     Yas berlari pergi dari sana. Tak menghiraukan seruan Papa yang memanggil namanya.   ***     Hujan tak berhenti turun semenjak pagi. Namun semua itu tak mengurangi jumlah orang yang ikut menemani keluarga ini, memberikan dukungan moril, mengantarkan Mama pada peristirahatan terakhirnya.     Yas merangkul kedua adiknya yang masih terisak di samping gundukan tanah yang dipenuhi dengan taburan bunga. Sebuah foto wanita cantik dengan senyumnya yang menawan, disandarkan pada batu nisan.     Di sekelilingnya terdapat beberapa karangan bunga yang indah. Kini wanita dalam foto itu sudah tiada. Ia sudah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.     Sesekali Yas melirik Papa di sisi lain makam. Papa terlihat sangat hancur dan kehilangan. Sedangkan Yas sendiri ... ia tidak menangis. Entahlah. Hatinya terasa kosong.     Begitu banyak hal terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Berita orang tuanya mengalami kecelakaan, fakta bahwa ia bukan akan kandung Mama, dan kabar duka semalam dari rumah sakit—bahwa Mama tak lagi bisa bertahan.     Kiriman darah dari rumah sakit pusat, tak mampu menyelamatkan nyawa wanita itu. Lebih tepatnya, bukan masalah kekurangan darah, namun Mama mengalami serangan jantung di tengah-tengah proses operasi. Itulah yang menyebabkannya meninggal dunia.     Hujan tak kunjung berhenti juga, hari semakin petang, dan rumah itu mulai sepi dari orang-orang yang datang melayat. Theo dan Elang akhirnya tertidur. Yas masih bertahan pada posisinya, berlutut di samping ranjang mereka, memperhatikan kedua adiknya itu. Wajah mereka terlihat begitu damai.     Berbeda sekali dengan saat mereka masih menangis tadi. Kini giliran Yas yang menangis. Ternyata baru sekarang rasa sakit itu terasa.     Theo dan Elang harus merasakan kehilangan seorang ibu di usia mereka yang baru menginjak tujuh tahun. Yas sendiri juga sudah kehilangan ibu kandungnya. Bahkan semenjak usianya baru dua hari.     Namun Yas tak kekurangan kasih sayang seorang ibu sama sekali. Karena nyatanya, ibu dari Theo dan Elang sudah merawatnya dengan begitu baik, layaknya seorang ibu kandung.     Yas terisak hebat, ia berusaha meredam suara tangisnya karena tak ingin membangunkan si Kembar. Ia begitu sedih sekaligus marah, entah pada siapa.     Pada Papa dan Mama yang sudah merahasiakan fakta besar itu, atau pada ibu kandungnya yang pergi begitu saja--bahkan sebelum Yas mengenal dirinya, atau justru ... Yas marah pada takdir?     Entahlah. Semua ini begitu sulit untuk diterima. Barusaja, Yas justru berpikir bahwa ia tak patut marah pada mereka semua. Entah itu Papa dan Mama, pada ibu kandungnya, ataupun pada takdir. Yas tak berhak menyalahkan mereka semua, karena mungkin di sini yang salah adalah dirinya sendiri.     Ibu kandungnya meninggal karena melahirkan dirinya. Dan kini Mama juga meninggal karena dirinya. Kecelakaan itu terjadi karena Papa dan Mama terburu-buru pulang demi untuk merayakan ulang tahunnya.     Secara tak langsung, Yas-lah yang menjadi penyebab mereka—Mama dan ibu kandungnya—pergi dari dunia ini, bukan?     Bagaimana bila nanti harus ada lagi yang pergi karenanya? Bagaimana jika Papa? Bagaimana jika kedua adiknya?     Yas tak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Tangisan Yas kini hanya menyisakan isakkan kecil. Wajahnya terlihat sembab dan pucat.     Sudah cukup ia memikirkan semuanya, terhitung semenjak ia mengetahui fakta bahwa ia bukanlah anak kandung Mama. Yas sudah memutuskan. Dan keputusannya tak akan bisa diganggu gugat.     Yas mengecup kening Theo dan Elang secara bergantian. Saat melakukan itu tangis Yas kembali pecah.     "Maafin Mas ya, Dek," ucapnya di tengah-tengah isak tangis yang terdengar memilukan.   ***       Lelaki tinggi itu menatap semuanya dari balik jendela kamar. Yas putra sulungnya barusaja keluar dari rumah, dengan membawa tas ransel besar. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Ia pun tak berusaha mencegahnya.     Bukan karena maksud apapun. Ia tentu menyayangi anaknya. Sangat menyayanginya. Yang ia tahu sekarang adalah, bahwa Yas pasti perlu waktu.     Ini semua salahnya. Ia sudah gagal menjadi pemimpin sebuah keluarga.     Ini adalah konsekuensi dari keputusannya yang tidak bijaksana. Jadi, mungkin memang inilah hukuman yang harus ia terima.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD