Cemburu Buta

1660 Words
    Theo mencari kemejanya. Ia tadi melempar ke sembarang arah, entah ke mana. Theo segera mengambilnya ketika menemukan kemeja itu. Ternyata teronggok di atas karpet. Theo meletakkannya ke dalam wastafel, merendamnya dengan sabun mandi, karena terlalu malas mengambil sabun cuci di belakang.     "Ini kalo nggak buruan dikucek, bisa susah ilangnya. Duh, baunya. Hoek. Gimana sama cewek yang sebulan sekali harus nyuci darah menstruasi. Iyuh!"     Selesai membereskan semuanya, Theo kembali menghempaskan dirinya ke ranjang. Ia menengok jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tiga sore. Sebentar lagi Yas dan Elang pulang.     Gagal mencoba tidur lagi, Theo memutuskan untuk mencari kegiatan lain.     Theo memasuki area dapur. Hal pertama yang ditujunya adalah kulkas. Wajar kalau ia lapar dan lemas. Kan habis pendarahan.     Tak ada makanan matang yang bisa dihangatkan. Bubur juga tak ada, karena semua sudah Theo habiskan saat makan siang tadi. Roti pun tak ada. Gila! Apa iya Theo harus makan sawi, wortel dan buncis mentah itu?     Untung akhirnya mata jeli Theo menangkap beberapa buah pisang di barisan paling bawah. Tanpa ragu ia mengambil semua dan memakannya saat itu juga.     Theo melangkahkan kaki menuju pintu depan. Cerahnya cuaca di luar, membuatnya mengernyit silau. Seharian ia tak terkena cahaya matahari sama sekali. Jadi, tak ada salahnya melihat-lihat suasana di luar sebentar.     Fokus Theo teralih saat melihat kayu-kayu material bangunan yang berserakan. Jika saja orang-orang biadab itu tak muncul tiba-tiba, pasti sekarang pembangunan LUAlounge tak akan terbengkalai seperti ini.     Theo mengambil satu per satu potongan kayu, mengumpulkannya di sudut halaman. Setiap hari cuaca tak menentu. Sekarang panas begini, tiba-tiba lima menit yang akan datang hujan, tak ada yang tahu. Jadi sayang sekali jika kayu-kayu ini harus lapuk sebelum bisa digunakan. Padahal belinya mahal.     Semenjak masalah itu terjadi, mereka bertiga memang belum merapikan apapun. Bukannya tidak mau, hanya saja mereka masih dalam tahap denial. Lagipula Yas yang biasanya rajin selalu sibuk bekerja siang dan malam, meninggalkan Theo dan Elang yang tak bisa diandalkan. Mengingat hal itu Theo jadi tertawa sendiri.     Theo mengambil sebuah terpal untuk menutup semua balok kayu yang sudah ia kumpulkan, supaya aman dari panas dan hujan.     Fokusnya kembali teralih, kini pada sisa-sisa tanaman yang tak terawat. Jika saja Nenek Widya tahu bahwa Theo mengabaikan tanaman-tanaman ini, niscaya wanita itu tak akan mau memberinya lidah buaya lagi. Sehingga akan mengancam masa depan Namira nanti.     Bisa jadi keponakannya itu tetap belum tumbuh rambut sampai dewasa. Kan kasihan kalau ia jadi jomblo hanya karena tidak punya rambut. Sebagai Oom yang baik, Theo memikirkan nasib si Tahu Bulat sampai sedetail itu.     Theo mengambil selang dan mulai menyiram tanaman-tanaman. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup karena bantuan air hujan. Mungkin mulai hari ini Theo akan rajin menyiram mereka setiap hari.     Terlihat mobil merah perlahan memasuki pekarangan rumah. Theo segera menyingkir, membiarkan mobil Yas memasuki garasi.     "Wah-wah, tumben kamu. Alhamdulillah, deh, kalo udah sadar!" Yas memuji sekaligus menyindir. Tapi jujur ia senang, karena sudah tak ada balok kayu berserakan di mana-mana lagi. "Tapi ngomong-ngomong, emang kamu udah baikan?"     "Udahlah. Seharian gue tidur kayak kebo, rugi kalo nggak baikan, mah," jawab Theo sekenanya.     "Yaudah, habis ini buruan mandi! Mas mau nyiapin makan malem dulu."     Theo membiarkan Yas berlalu masuk rumah. Elang baru saja keluar dari mobil. Pandangannya tak bisa beralih dari Theo. Memastikan apakah anak itu baik-baik saja. Elang segera mengalihkan pandangannya saat Theo tiba-tiba juga menatapnya.     "Kenapa lo?" tanya Theo segera.     "Emang gue kenapa?" Elang sok tak peduli.     Theo malah tertawa. "Gue kasih tahu sebuah rahasia, ya!" Theo memberi jeda sejenak. "Gue, tuh, bisa baca pikiran."     Mendengar informasi dari Theo--yang hanya hoax semata--dan Elang tahu itu, namun di lain sisi juga takut jika sang Adik benar-benar bisa membaca kekhawatiran berlebih yang ia rasakan tentang keadaannya sekarang.     Tawa Theo semakin keras melihat wajah Elang yang kebingungan serta ketakutan. Tak hanya itu, ia juga salah tingkah.     "Gue tahu lo seharian nggak konsen di sekolah gara-gara mikirin gue, kan? Tenang, Kakak. Adek nggak apa-apa kok." Theo berkedip-kedip sok imut, menirukan gaya Elang saat meminta ditemani ke pesta ulang tahun Luna waktu itu.     "Hoek, NAJIS! Ngapain juga gue mikirin lo? Kayak nggak ada yang lebih penting aja!" elak Elang.     "Tapi kenyataannya gitu, kan?"     Elang kembali salah tingkah. Daripada semakin tertangkap basah, ia segera meninggalkan Theo. Lebih baik membantu Yas menyiapkan makan malam, daripada di sini makan hati. Menyebalkan sekali si Theo itu. Elang jadi menyesal sudah khawatir padanya seharian. Nyatanya anak itu baik-baik saja, sehat wal afiat. Tak kurang suatu apapun.     Theo melanjutkan aktifitas menyiramnya. Untung ia sudah mencuci kemejanya yang berlumuran darah. Entah bagaimana reaksi Elang jika ia tahu. Semoga tak akan pernah tahu.   ***       Theo hampir lupa memasang mode diam pada handphone-nya. Hampir saja ia ketahuan main game di tengah-tengah pelajaran yang berlangsung. Untung tangannya cekatan menekan volume down sampai maksimal.     Teman-teman di kanan kirinya terlihat acuh tak acuh, karena memang Theo begitu adanya. Mereka sudah terbiasa. Padahal saat ini adalah pelajaran Matematika. Di mana gurunya adalah Yas, yang notabene adalah kakaknya sendiri.     "Yang mau coba ngerjain persamaan ini, nanti Bapak kasih voucher Cokelat Klasik." Yas mengetuk persamaan matriks yang baru saja ditulisnya di papan.     Sejak awal kedatangannya dulu, ia memang sengaja memakai metode belajar seperti ini. Memberikan imbalan sederhana pada murid-murid yang rajin dan aktif, dengan tujuan menambah semangat belajar mereka.     Seketika hampir semua anak IPS-4 mengangkat tangan. Toh persamaan itu tak begitu sulit. Murid-murid sudah mengerti karena Yas menjelaskan materinya dengan sangat baik.     Yas bingung memilih salah satu, namun ada satu murid yang menarik perhatiannya. Di saat semua teman-temannya mengangkat tangan, anak itu malah fokus menatap sesuatu yang berada di bawah meja. Wajahnya terlihat serius dan konsentrasi.     "Theo!"     Beberapa murid terkikik. Hal ini sudah menjadi hiburan tersendiri, semenjak semua orang tahu bahwa Yas dan si Kembar Setan adalah kakak beradik. Elang, sih, tidak bikin malu, malah bikin bangga dalam hal akademis. Nah, Theo?     "Theo!" Yas memanggilnya lagi karena Theo belum menyahut.     Beberapa anak membantu Yas menyadarkan Theo. "Ssst ... ssst ...."     Akhirnya perhatian Theo berhasil teralih. "Apaan?"     Si Murid yang berdesis tadi segera menunjuk ke depan. Tepatnya menunjuk pada Yas yang tengah menatap tajam pada Theo.     "Kenapa, Pak?" tanya Theo dengan wajah tanpa dosa.     Murid-murid terkikik lagi. Yas menarik napasnya, mencoba bersabar, sekaligus menahan malu.     "Coba kamu sebutkan nilai a + b + c + d dari persamaan ini!"     "Yang mana sih, Pak?"     Kali ini tak hanya terkikik, murid-murid tertawa terbahak-bahak. Yas hanya bisa mengelus d**a.     "Yang ini, Theo! Yang ini!" Yas melingkari persamaannya dengan spidol.     "Oh, yang itu." Theo menatap persamaan itu dengan serius. Mencoba menelaah, menghitung dan menyimpulkan jawabannya. Ia kemudian mengangguk-angguk penuh keyakinan.     "Ayo cepat tuliskan hasilnya!" Yas menodong-nodongkan spidolnya dari depan.     "Setelah saya telaah, saya hitung, dan saya simpulkan, dengan sangat menyesal, harus saya katakan bahwa saya tidak sanggup, Pak."     "PUHAHAHAHAHAHA!" Suara tertawa murid-murid menggelegar sampai di sepanjang lorong. Mengganggu kelas-kelas lain yang juga sedang pelajaran.     "Diva, kamu aja yang ngerjain!" Yas akhirnya pasrah dan memberikan spidolnya pada siswi yang duduk di bangku paling depan. Diva pun dengan senang hati mengerjakan soal itu.     Bel istirahat akhirnya berbunyi. Yas segera memberikan voucher hadiahnya pada Diva.     "Sekian dulu pelajaran hari ini, sampai ketemu di pertemuan berikutnya. Selamat siang!"     "SIANG, PAK YAS!" jawab mereka semua keras dan serentak, mirip anak TK.     Tepat saat Yas melangkahkan kakinya keluar kelas, kebetulan Bu Alila sedang melintas. Jangan ditanya bagaimana reaksi wanita itu. Senyum bahagianya segera mengembang. Dan jangan lupakan bagaimana reaksi murid-murid yang melihat. Para siswa sibuk menyerukan ciye-ciye sedangnya para siswi sibuk mengutuk Bu Alila.     "Jalan bareng ke kantor ya, Pak?"     "Iya, mari!"     Theo menatap mereka berjalan melewati deretan jendela kelas yang transparan. Seperti biasa Bu Alila begitu banyak bicara.     Namun ada yang berbeda hari ini. Jika biasanya Yas jarang menanggapi kata-kata Bu Alila, bahkan saat tersenyum pun terpaksa karena rasa tak enak dan sungkan. Tapi hari ini tidak begitu. Yas tersenyum tulus pada wanita itu.   ***       Theo mem-posting sebuah selfie yang ia ambil beberapa waktu lalu, ia juga menambahkan caption sebuah puisi karangannya.     Adanya pusat tekanan rendah di Samudra Hindia,     Meningkatkan kecepatan angin ekstrim,     Mendung di langit bergerak-gerak gusar,     Hujan perlahan turun,     Orang-orang itu pasti takut,     Namun adakah yang lebih mengerikan daripada hati yang murka?     Tidakkah kalian mendengar bunyi retakannya?     Puisi dadakan yang terbawa suasana sekitar saat ini, ditambah suasana hati yang mendukung, sekaligus jiwa alay yang sudah mendarah daging.     Maka jangan salahkan Elang yang selalu menganggap Theo sebagai korban sinetron.     "Kamu kenapa lagi, sih, Dek? Sakit lagi?" tanya Yas. Ia heran dengan sikap adik bungsunya. Mukanya galau sekali semenjak masuk mobil.     "Nggak apa-apa gue."     "Perasaan beberapa hari ini lo galau terus." Giliran Elang yang angkat bicara. "Jangan-jangan lo buntingin anak orang!?"     "Enak aja! Pacar aja nggak punya, gimana mau buntingin?" Theo yang selalu kebagian tempat duduk di jok belakang hanya bisa kesal.     Sementara kedua saudaranya di depan sibuk tertawa nista--menertawai dirinya.     Ngomong-ngomong soal puisinya tadi, sebenarnya itu curhat. Tapi Theo tenang karena curhat tipis-tipisnya tak akan ketahuan oleh kedua saudaranya. Ia jamin seratus persen. Bagaimana mau ketahuan?     Si Yas terlalu sibuk mencari uang dan mengurus anaknya, tak ada waktu untuk main sosial media. Sementara Elang, ia sama sekali tak tertarik bermain-main di dunia maya. Ia, kan, agak-agak anti-sosial.     Theo benar-benar sakit hati melihat cara Yas tersenyum pada Bu Alila saat di sekolah tadi. Makanya ia sampai curhat di ** seperti ini. Cara tersenyum Yas pada Bu Alila ... aishhh! Apa mungkin Yas mulai menaruh hati pada wanitanya itu?     "Ntar gue turun di perempatan gang," celetuknya.     "Mau ngapain kamu?"     "Lidah buaya di kulkas udah habis, kan? Waktunya minta lagi."     "Kamu kok minta terus-terusan, sih, Dek? Nggak enak lho!" tutur Yas. "Udah ajalah, cukup! Dibilangin nanti rambutnya Nami pasti tumbuh sendiri."     "Pokoknya ntar gue turun di perempatan gang!" seru Theo lagi. Tanda bahwa kata-katanya sudah tak bisa diganggu gugat.     "Tapi nanti kamu pulangnya gimana? Naik apa?"     "Jalan."     "Tapi sekarang hujan, lho!"     Theo segera mengeluarkan sebuah payung kecil dari tas dan menunjukkanya pada Yas.     Jadi sekarang tak ada pilihan lain kecuali menuruti permintaan Theo yang sedang galau hatinya. Biarkan saja, atau nanti tambah parah galaunya. Yas melirik wajah Theo dari kaca spion. Ia jadi penasaran apa yang membuat Theo galau?   *** TBC     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD