Ikatan Batin

1802 Words
    Theo masih tidur saat Yas dan Elang berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Yas terpaksa membangunkannya, karena ia harus meninggalkan serentetan pesan yang harus dilaksanakan oleh Theo selama mereka tidak ada.     "Apaan, sih? Udah berangkat aja sono!" Theo protes karena tidurnya terganggu.     "Nanti makan siangnya tinggal manasin. Ini obatnya yang biru nanti diminum jam sembilan, yang ijo ini diminum sebelum makan, kalo yang tiga ini diminum habis makan." Yas memperlihatkan obat-obat itu.     "Hooh," jawab Theo singkat, kemudian tidur lagi.     "Ngerti beneran, ya?"     Tidak ada jawaban, hanya sebuah anggukan samar.     "Yaudah, Mas berangkat!" Yas mulai mengayunkan langkahnya pergi.     Elang mengikuti di belakangnya. Sebelum Elang menutup pintu kamar, ia kembali menatap Theo. Seandainya hari ini tidak ada ulangan Kimia, ia akan memilih bolos saja. Entahlah, perasaannya benar-benar tidak enak.   ***       Ia duduk diam di atas bangku panjang. Pandangan dan pikirannya tidak sinkron. Selama pelajaran tadi, ia sama sekali tak konsentrasi. Ia ingin semua pelajaran hari ini segera selesai, dan ia bisa segera pulang. Entah bagaimana jadinya ulangan kimianya nanti siang.     Rasa bersalah itu masih membebaninya sedemikian rupa. Theo memang terlihat baik-baik saja. Tapi perasaannya tidak mengatakan demikian.     "Lang!" Luna datang dengan senyuman cerianya. Seperti biasa ia juga membawa bento untuk Elang.     Elang berusaha tersenyum pada gadis itu. Luna mengeryit heran, karena Elang tak seperti biasanya.     "Kamu kenapa?" Luna segera duduk di sebelahnya.     "Nggak kenapa-kenapa, kok." Elang mengambil bento di atas pangkuan Luna. "Kamu bikin apa hari ini?"     "Lihat aja!"     Elang membuka bento itu. Senyumannya kembali mengembang kala melihat isi bento yang sangat lucu. Ia jadi tidak tega untuk memakannya.     "Kenapa harus Hello Kitty, sih? Fanatik banget kayaknya." Elang mengambil satu potong wortel dan mulai memakannya.     "Nggak tahu, ya. Lucu aja gitu. Dari aku masih kecil, semua pernak-pernik dan barang-barangku, semuanya selalu berkaitan sama Hello Kitty." Luna menjelaskannya dengan semangat empat lima.     Jarang-jarang ada orang yang menanyakan tentang obsesinya pada Hello Kitty. Makanya setiap kali ada yang bertanya seperti ini, ia akan dengan semangat menjawab. Tapi Luna harus kecewa saat ia menoleh pada Elang.     Tadi ia sendiri yang bertanya. Tapi kenapa setelah Luna menjawab--dengan amat sangat panjang sekali--Elang justru tidak mendengarkan? Malah melamun dengan pandangan kosong seperti sekarang ini!     "Lang!" Luna melambaikan telapak tangannya di hadapan Elang.     "Eh!" kaget Elang. "S-sorry, sampai mana tadi?"     Luna ingin marah. Tapi untungnya ia adalah orang yang pengertian. Ia tahu pasti Elang sedang ada masalah. Entah apa yang membuatnya enggan berbagi. Mungkin Elang belum nyaman dengannya. Kemungkinan besar begitu, sih. Karena mereka belum lama menjadi akrab seperti sekarang.     'Gimana pun caranya, aku bakal paksa kamu buat berbagi sama aku,'  batin Luna.     "Aku tuh suka kesel kalo Ayah sama Bunda banding-bandingin aku sama adek." Luna mengawalli usahanya. "Adek aku, kan, pinter gitu anaknya, selalu rangking satu di kelas. Makanya aku punya keinginan terpendam, yang selama ini selalu aku simpan sendiri."     Luna menatap Elang. Anak itu tak melihat padanya, tapi Luna tahu ia mendengarkan. Ia pun lanjut menjelaskan.     "Habis lulus nanti, aku mau merantau yang jauh. Biar Ayah sama Bunda tahu, kalau mereka bakalan kangen sama aku, mereka bakal sadar aku berharga, saat aku nggak ada di dekat mereka. Semoga aja, sih. Asal kamu tahu aja. Untung waktu itu kamu mukul aku. Kalau aja yang kamu pukul adalah adek aku, bisa jadi sekarang kamu udah nggak ada di dunia, gara-gara digebukin papaku." Luna tertawa mengakhiri kata-katanya.     Elang menatap Luna akhirnya. Gadis itu tertawa, tapi Elang bisa melihat kesakitan yang tersirat. Memang pada kenyataannya dibanding-bandingkan itu tidak enak. Siapapun tidak akan senang saat ia dibanding-bandingkan. Apalagi si Tersangka pembanding adalah orangtua sendiri.     Tapi tak biasanya Luna bercerita masalah pribadi seperti ini. Tidak. Bukannya Elang keberatan. Ia hanya heran, itu saja.     "To the point aja, mau kamu apa?" tanya Elang akhirnya.     Luna lega karena Elang langsung menangkap maksudnya. Ia bersyukur karena Elang ini cukup pintar.     "Karena aku udah cerita masalah pribadi aku ke kamu ... itu rahasia besar aku lho, maka sekarang giliran kamu. Aku mau kamu juga ceritain masalah itu ke aku."     Pandangan mereka bertemu untuk beberapa saat lamanya. Mungkin tidak ada salahnya jika Elang menceritakan semua beban di hatinya pada gadis ini. Mungkin mulai sekarang ia memang harus lebih terbuka pada orang lain.     Terlebih Luna sekarang bukanlah orang lain, melainkan salah satu orang yang berharga baginya.   ***       Yas melihat arlojinya sekali lagi. Ia sedang berada di dalam salah satu café di dekat sekolah. Di mejanya terdapat dua cangkir kopi yang masih utuh.     Kemana orang itu? Kenapa belum datang juga? Padahal Yas tidak bisa keluar lama-lama dari sekolah. Ia harus segera kembali tepat saat bel istirahat kedua berakhir.     Tapi untuk sekarang memang tak ada yang bisa Yas lakukan kecuali menunggu.     "Yas?" Seseorang datang, kemudian ikut bergabung di mejanya.     "Oh, Pak Jodi?!" Yas mengulurkan tangannya dan orang itu segera menjabatnya.     "Nggak usah terlalu formal, lah! Toh kita seumuran. Panggil gue Jodi aja!"     "O-oke," canggung Yas.     "Sebelumnya maaf karena gue terlambat. Tapi untungnya gue langsung ngenalin lo pas masuk tadi. Bersyukur karena muka lo mirip sama adek lo."     Yas tersenyum menanggapinya. Sejauh ini sudah tak terhitung berapa banyak orang yang mengatakan bahwa ia mirip dengan salah satu adiknya, si Theo. Tak hanya wajah, postur tubuh dan tinggi badan merekapun sama.     Mereka terlihat identik, meskipun jarak umur mereka terpisah cukup jauh, yaitu 10 tahun. Mungkin orang yang belum mengenal mereka akan menganggap bahwa yang kembar itu adalah Yas dan Theo. Bukan Theo dan Elang.     "Gimana? Berkasnya udah lo bawa semua?"     "Oh, iya." Yas membuka tasnya untuk mengambil berkas-berkas yang sudah ia siapkan. "Ini."     Jodi segera memeriksa berkas itu satu per satu. "Oke. Gini, kasus ini lumayan pelik, karena lawan kalian adalah seorang pebisnis kelas kakap. Meskipun ia jelas salah, namun ia mempunyai banyak bukti otentik dan juga koneksi. Bisa jadi salah satu dari koneksinya adalah aparat. Lo ngerti maksud gue, kan?"     "Ya. Dan itu juga yang bikin gue nggak bisa tenang."     "Tapi gue pastiin bahwa gue bakal bantuin lo semaksimal mungkin. Lo pasti udah denger dari Junot tentang kehebatan gue, kan?"     Yas menaikkan sebelah alisnya, orang ini narsis juga ternyata. Tapi orangnya ramah, sih. Jauh dari bayangan Yas sebenarnya. Ia kira Jodi ini orangnya sangat serius dan jarang tersenyum. Tapi nyatanya orangnya ya ... begitulah.     "Awalnya gue dateng karena ini adalah permintaan dari Junot dan Kejora, tapi setelah gue pelajari kasusnya, gue jadi bener-bener pengen bantu. Karena di sini posisi kalian seperti diperas. Kasus kayak gini bukan hal baru, tapi gue masih selalu heran kenapa orang-orang atas itu tega? Keterlaluan kalo menurut gue." Sejenak wajah Jodi terlihat serius. Namun ia segera tertawa lagi.     "Lagian gue juga mau unjuk gigi sama si Junot. Selama ini dia cuman denger kehebatan gue dari orang-orang dan media. Dia belum pernah lihat langsung. Asyik, lho, ngerjain oom lo, tuh! Biar dia tambah jengkel sama gue."     Mendengar hal itu, Yas jadi semakin heran dan penasaran. Ia segera teringat perbincangannya dengan Oom Junot kemarin malam di pabrik. Tepatnya saat Oom Junot mengatakan bahwa Jodi adalah pengacara yang akan membantu keluarganya menghadapi kasus ini.     Awalnya Yas yakin bahwa Oom Junot, Tante Keke, dan Jodi diikat oleh hubungan baik di masa lalu. Sehingga Jodi si Pengacara hebat, mau-maunya diminta datang untuk menyelesaikan kasus keluarganya.     Tapi Yas berubah pikiran saat melihat wajah murung Oom Junot tiap kali menyebut nama Jodi.     Dan setelah Jodi mengutarakan kata-katanya tadi ... Yas jadi semakin yakin bahwa bukan hubungan baiklah yang mengikat mereka bertiga.     Ya, Yas memang semakin penasaran. Tapi ia sadar bahwa itu bukan urusannya. Jika ia menggali lebih lanjut, ia takut dianggap terlalu kepo dengan urusan orang lain.     "Yaudah, kalo gitu gue pamit, ya." Yas segera beranjak.     "Lhoh, nggak makan dulu?"     "Makasih, gue harus segera balik, udah mepet jam masuk."     "Yah, pasti gara-gara gue telat tadi, ya?"     Yas tersenyum maklum. "Nggak apa-apa, santai aja! Dan sebelumnya gue juga mau bilang makasih banget, untuk semuanya."     "Oke."     Mereka berjabat tangan sekali lagi, dan setelahnya Yas benar-benar pergi.     Jodi masih tersenyum sembari membuka buku menu di hadapannya. Namun senyumnya kali ini terlihat berbeda.   ***       "Antara ion NA+ terjadi gaya tarik-menarik elektrostatis sehingga terbentuk senyawa ion NaCl."     Pak Darius menjelaskan materi baru tentang Ikatan Kimia di depan. Inilah yang paling tak disukai murid-murid.     Biasanya setelah ulangan harian berakhir, waktu yang tersisa digunakan untuk istirahat para siswa. Hitung-hitung mendinginkan otak yang baru saja mendidih. Apalagi yang dikerjakan adalah soal-soal kimia yang njelimet.     Sayangnya aturan tak tertulis itu, tak berlaku bagi Pak Darius. Katanya, waktu yang ada harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Karena UN sudah di depan mata. Kalau materi tidak selesai, akan menjadi gawat.     Padahal lebih gawat lagi bila sampai ada siswa yang stroke karena terlalu expert memikirkan pelajaran yang saat ini benar-benar berat.     Bahkan orang-orang di negara maju, seperti Amerika Serikat, dengan jujur mengatakan bahwa kurikulum di Indonesia memang terlalu berat.     Ngomong-ngomong soal berat, hari Elang yang awalnya sudah berat, menjadi semakin berat. Ia sama sekali belum bisa konsentrasi karena terus-terusan memikirkan saudara kembarnya.     Tadi semua soal ulangan harian ia kerjakan dengan asal-asalan. Dan sekarang tak ada satupun penjelasan Pak Darius yang masuk ke otaknya.     "Elang!" gertak Pak Darius.     Elang segera tersadar dari lamunannya. Semua pasang mata melihat padanya. Mereka heran, karena tak biasanya Elang seperti ini. Elang adalah tipe siswa teladan yang selalu happy dan menikmati pelajaran apapun itu. Meskipun ia sedikit anti-sosial dan raja tega, tapi nilai akademisnya selalu bagus. Makanya ia menjadi salah satu siswa kebanggaan kelas ini.     "Coba kamu jelaskan lagi reaksi kimia yang Bapak tuliskan di papan!"     Mampus!     Elang seketika menelan ludahnya. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, tak ada satu pun materi Pak Darius yang masuk ke otak Elang.     "Tunggu apa lagi? Ayo cepat maju!" Suara Pak Darius meninggi.     Elang segera beranjak dari duduknya. Ia meraih spidol yang diberikan oleh guru Kimia itu. Elang menarik napas melihat reaksi kimia ruwet di hadapannya. Elang menggeleng pelan.     "Mohon maaf, Pak. Saya tadi tidak mendengarkan pelajaran." Elang memilih untuk jujur, ia kemudian meletakkan spidol itu ke atas meja.     Elang tahu persis sifat Pak Darius yang terkenal killer. Ia akan mengeluarkan siapapun siswa yang tidak konsentrasi saat pelajarannya. Maka tanpa disuruh pun Elang segera keluar dari kelas.   ***       Dengkuran halus mengisi ruangan gelap itu. Semua lampu mati, dan jendela tak dibuka. Penghuninya terlalu malas. Ia terlanjur nyaman melanjutkan aktivitasnya—tidur.     Ia hanya bangun dua kali untuk melakukan tanggung jawabnya. Jam sembilan minum obat, jam dua belas minum obat lagi sekalian makan siang, setelah itu tidur lagi. Sayangnya sesuatu baru saja mengusik damai dan indah mimpinya. Ia bangun dan duduk. Tangannya sebisa mungkin menutup hidung, mencegah supaya darahnya tidak tercecer. Ia beranjak, meninggalkan ranjang dan bed cover-nya yang kusut.     Dalam posisi berdirinya, darah semakin mengucur dengan deras, melewati celah-celah jarinya, mengotori kemejanya. Theo segera melepas kemeja itu dan melemparkannya ke sembarang arah. Ia berjalan cepat menuju kamar mandi. Menampung darah yang masih mengalir dalam wastafel, biar tidak repot membersihkannya. Theo bergidik melihat darahnya sendiri.     Butuh lima belas menit sampai darahnya berhenti mengalir. Yakin bahwa mimisan itu benar-benar sudah berhenti, ia segera menyalakan kran. Membiarkan bagian dari dirinya itu hanyut terbawa air.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD