Bekas Luka

1141 Words
    Meksipun pabrik ini sangat dekat dengan rumah, tapi Theo jarang sekali main ke mari. Untuk apa juga main ke pabrik? Seperti tak ada tempat main lain saja!     Theo tak ada waktu untuk memanjakan ngos-ngosannya. Ia ingin segera menjalankan tujuannya. Sayang, Theo sama sekali tidak tahu di mana keberadaan Junot.     Pria itu adalah pemilik pabrik yang harus keliling pada jam-jam tertentu untuk memeriksa kinerja karyawan. Jadi, Theo sama sekali tak bisa menebak keberadaannya. Secara ia tidak tahu-menahu tentang jadwal keliling Junot.     Theo langsung menuju ke divisi produksi ini. Karena dari sekian banyak bangunan di pabrik, hanya tempat inilah yang terlihat paling terang, paling banyak orang, dan juga paling berisik—baik karena suara orang berbicara, ataupun karena mesin pembuat roti yang tak pernah dimatikan, terus bekerja selama 24/7 nonstop.     Firasat Theo mengatakan, bahwa sang paman akan ia temukan di bangunan yang ini.     “Lhoh, Mas, nggak boleh masuk sembarangan!” tegur salah satu pegawai pabrik ketika Theo tiba-tiba masuk, tanpa menggunakan pakaian khusus pegawai divisi produksi.     Tapi baru juga ia masuk, ia sudah mendapat teguran seperti ini.     “Mas ini siapa? Mau lamar kerja?” tanya orang yang menegurnya, seorang laki-laki paruh baya yang memakai penutup kepala, celemek, masker dan sarung tangan.     Theo sebenarnya tersinggung dikatakan mau melamar kerja. Mana level orang macam Theo kerja kasar di pabrik?     Kalau ia mau, sudah dari dulu ia kerja di sini. Tapi Theo berusaha meredam emosinya pada orang itu. Sekali lagi karena ia memiliki hal lain yang lebih mendesak.     “Oom Junot mana, Pak?” tanya Theo akhirnya. Napasnya terengah Senin-Kamis.     “Ha?” Orang itu menajamkan telinganya. Karena suara Theo tenggelam di antara suara riuh para karyawan dan juga mesin pembuat roti.     “Oom Junot mana?” Theo mengulangi pertanyaanya.     “Oom Junot?” ulang orang itu. “Maksud Mas … Pak Junot?”     Theo sedari tadi sudah berusaha sabar. Tapi sepertinya orang ini memang perwujudan dari setan penggoda yang memicu emosi sekaligus tekanan darah.     “YA IYA LAH, EMANG ADA ORANG LAIN YANG NAMANYA JUNOT DI SINI?” teriak Theo dengan mata melotot.     “Eh, iya-iya, Mas. Sabar! Jangan marah gitu dong!” Orang itu malah cengengesan. “Bentar, saya carikan dulu Pak Junot-nya.”     Lintang awalnya hanya memperhatikan Theo dari jauh. Tapi setelah nama Junot disebut-sebut, Lintang memutuskan untuk menghampiri Theo. Sekadar memastikan apa yang sebenarnya sedang terjadi.     Kalau boleh jujur, hal yang lebih menarik perhatian Lintang adalah … si bocah yang tiba-tiba datang tanpa menggunakan pakaian khusus divisi produksi—dan barusaja marah-marah—wajahnya sangat mirip dengan seseorang yang paling ia benci di dunia.     Yas.     Baru beberapa langkah Lintang melaju, sebuah suara menginterupsi pergerakannya.     “Ada apa ini ribut-ribut?” Junot datang.     Seketika suasana menjadi hening. Semua orang takut dimarahi karena terlalu berisik saat bekerja.     “Lho, Theo?” Lelaki itu mempercepat langkahnya begitu tahu jika keponakannya lah yang datang.     “Oom Junot!” Theo lega sekali.     Siratan kepanikan di wajahnya segera tertangkap oleh Junot. “Ada apa, Yo? Kenapa tiba-tiba ke sini!”     “Y-Yas ….” Theo tergagap. “Yas, Oom ….”     “Yas kenapa?” ulang Junot. “Ngomongnya pelan-pelan aja!”     Bukannya mematuhi instruksi dari Junot untuk pelan-pelan, Theo malah berteriak dengan lantang, guna melampiaskan kecamuk campur aduk yang ia rasakan sejak kemarin, berpadu dengan kepanikan yang membuatnya sulit bicara santai.     “YAS PINGSAN, OOM! LAMA BANGET, NGGAK BANGUN-BANGUN KAYAK ORANG MATI!”     Perbuatan Theo itu, sukses menghantarkan semua pasang mata di divisi mengarah padanya. ***       Theo dan Junot akhirnya sampai. Elang menyambut kedatangan mereka tepat di depan pintu gerbang. Mungkin tak akan jadi masalah jika Elang menunggu di sana dengan raut wajah yang biasa saja—atau lebih baik jika ia tersenyum—lalu mengatakan bahwa Yas sudah sadar.     Tapi sayang, jangankan senyum, yang menyambut mereka saat ini adalah wajah Elang yang penuh dengan kepanikan dan ketakutan.     “Oom Junot … Yas ….” Elang terbata-bata.     “Kenapa, Lang? Kamu yang tenang, dong! Yas kenapa? Yas di mana?” Junot semakin dibuat panik berkat kenampakan Elang saat ini.     Elang menunjuk-nunjuk rumah, berusaha memberi tahu bahwa Yas masih di dalem. “Y-Yas … di dalem, Oom. Masih tetep di dapur kayak tadi. T-tapi dia … dia ….” Sebegitu paniknya Elang sampai tak sanggup bicara dengan benar.     “Yas kenapa, Lang?” Junot sudah tak tahan, ingin segera mendengar keadaan Yas.     Elang menarik napas dalam, berusaha bicara dengan baik dan benar. “Yas … dia … nggak napas!”   ***       Suara gesekan antara roda brankar dengan lantai terdengar keras. Ditambah lagi suara langkah kaki para tenaga medis yang berlarian. Mereka akhirnya berhenti sesampai di salah satu sekat UGD. Menunggu dokter yang akan datang memeriksa pasien.     Junot, Theo, dan Elang  berdiri mengitari Yas yang masih belum sadarkan diri. UGD sangat ramai malam ini.     Suasana campur aduk antara kepanikan keluarga para pasien lain, para dokter yang sedang mengerahkan kemampuan maksimal mereka untuk menyelamatkan para pasien, dan para perawat yang sibuk membantu pekerjaan para dokter.     Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit.     Belum ada juga dokter yang menangani Yas. Di rumah sakit sebesar ini, seharusnya mereka merekrut lebih banyak dokter untuk stand by di UGD.     Hampir 40 menit lamanya mereka menunggu, hingga seorang dokter memasuki sekat ini, bersama dengan beberapa perawat. Junot, Theo, dan Elang otomatis mundur dari posisi semula, untuk memberi dokter dan perawat-perawat itu lebih banyak ruang.     “Apa yang terjadi sebelum pasien pingsan?” tanya dokter itu.     Junot menatap Theo dan Elang bergantian. Siapa tahu salah satu dari mereka mau menjawab pertanyaan sang dokter.     Sayangnya dua bocah itu hanya diam dalam kebingungan. Junot akhirnya mengambil alih, merasa bertanggung jawab sebagai wali mereka.     “Tadi mereka bilang, Yas tiba-tiba pingsan sekitar tiga jam yang lalu, Dok. Dia belum bangun juga meskipun kami sudah berusaha menyadarkannya. Dia mendapat serangan batuk dan sesak napas sebelumnya. Semakin lama napasnya nampak semakin pelan, nggak kentara. Makanya kami sempet mikir dia nggak napas.”     Dokter itu mengangguk mengerti dan hendak memulai penanganan pada Yas. Namun suara Junot kembali menginterupsi.     “Dok!”     “Ada apa, Pak?”     Junot menimbang-nimbang apakah ia harus mengatakan ini atau tidak. Ia tahu Yas pasti tak akan suka, karena Theo dan Elang akan tahu tentang masa lalunya yang kelam. Tapi ini demi keselamatan Yas juga, kan?     “Dia menjalani pembedahan karena emfisema sekitar empat tahun yang lalu. Semenjak itu penyakitnya tidak pernah kambuh lagi. Baru kali ini.” Junot akhirnya memberi dokter itu secara gamblang.     Mendengar penjelasan dari Junot, Theo dan Elang kembali saling berpandangan. Mereka baru tahu Yas pernah sakit. Cukup terkejut rasanya.     Entah penyakit macam apa yang diderita Yas. Tapi jika Yas sampai menjalani pembedahan, jelas pernyakit itu bukan main-main.     Dokter dan para perawat mulai melakukan penanganan. Mereka menggunting bagian depan sweater  Yas. Begitu sweater  itu terbuka, Theo dan Elang semakin terbelalak.     Mereka ngeri melihat bekas luka melintang yang cukup panjang pada d**a Yas. Itu pasti luka bekas operasi yang dibicarakan Junot tadi.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD