Mencapai Limit

1404 Words
    "Hari ini untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, gue dihukum gara-gara nggak ngerjain tugas!" Elang berkacak pinggang. Sesuai niat awal, ia akan membuat perhitungan dengan Yas.     "Mas udah minta maaf, Lang. Toh semua juga udah kejadian." Yas melanjutkan memotong kentang untuk makan malam. Sesekali ia terbatuk. Ia juga mulai kesulitan bernapas. Padahal ia hanya melalaikan obatnya sekali kemarin.     "Lagian kenapa juga, sih, lo harus ngurung gue sama Theo? Apa lo tahu seberapa nggak nyamannya berada dalam satu ruangan sama orang paling nyebelin di dunia?"     "Nggak kebalik, Lang?" tanya Theo yang baru saja turun. Tadinya ia mendengar obrolan Yas dan Elang dari atas. Karena namanya mulai disebut-sebut, ia langsung menyusul ke dapur.     "Mas cuman pengin kalian instrospeksi diri," jawab Yas akhirnya.     "Introspeksi apaan?" Theo mulai mengeluarkan jurus silat lidahnya. Perhitungannya pada Yas juga akan segera dimulai.     "Bukannya seharusnya lo yang introspeksi?" Theo memberi jeda sejenak. "Coba lo hitung berapa banyak kesalahan lo selama ini?”     Theo mulai menghitung. "Satu, tiba-tiba pergi, nggak pernah ada kabar sampai Papa nggak ada. Dua, tiba-tiba balik, bawa bayi. Tiga, sok ngatur, sok jadi pahlawan. Empat, nyebelin.     Dan masih banyak lagi kebusukan lo yang lain. Ironisnya, justru lo yang habis-habisan dipuji sama orang-orang. Sementara gue sama Elang selalu dianggap jelek. Padahal di sini kami yang paling menderita. Kami korbannya.     “Gue sama Elang cuman ngelakuin kesalahan sekali, tapi kita harus nanggung akibat dari semua perbuatan lo. Bahkan Papa juga. Usia lo udah cukup buat gantiin Papa mimpin perusahaan. Tapi lo nggak pernah ada! Papa ngurusin semuanya sendirian. Bahkan Papa nggak ada waktu untuk kepentingannya sendiri. Papa juga nggak nikah lagi. Papa sering ninggalin gue sama Elang karena terlalu sibuk. Lo seharusnya bantuin Papa, tapi ke mana lo? Oh, gue tahu! Lo pasti keasyikan jadi gigolonya si Tante di club, kan? Sampai Papa benar-benar bangkrut, dan Papa ... Papa meninggal."     Yas meletakkan pisaunya. Ia menarik napas panjang. Dadanya semakin terasa sesak. Bukan hanya karena penyakitnya, tapi karena perasaan mengganggu yang membuncah di d**a. Yas segera menghapus bulir bening yang baru saja menuruni pipinya. Ia bahkan tak berani menatap Elang dan Theo sekarang.     Salahnya memang karena tak pernah memberi kabar. Tapi spekulasi-spekulasi mereka lebih dari cukup untuk menyakiti hatinya.     "Dan apa lo tahu apa penyebab Papa meninggal?" Elang yang sedari tadi hanya diam akhirnya buka suara.     "Lang!" tegur Theo.     "Dia harus tahu, Yo. Mau sampai kapan ini jadi rahasia kita berdua aja? Dia juga harus tahu, biar dia juga tahu gimana rasanya!"     Yas kembali terbatuk. Dadanya sangat sakit tiap kali menghela napas. Kedua tangan Yas perpegangan pada sisi meja.     Suara perdebatan Theo dan Elang perlahan memudar. Digantikan oleh suara denging yang sangat mengganggu.  Yas berusaha berdiri tegak, tapi nyatanya kegelapan justru menenggelamkannya.   ***       Perdebatan Theo dan Elang berakhir sudah. Kali ini benar-benar berakhir. Hanya tersisa keduanya yang tercekat, menatap Yas tergeletak di lantai.     Mereka diam untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekat. Elang berlutut di samping Yas, menatap wajahnya dari dekat. Yas terlihat sangat pucat, kulitnya dingin dan basah saat disentuh oleh Elang, dan napasnya juga aneh.     Theo dan Elang saling berpandangan … bingung.     "Yas!" panggil Elang seraya menepuk pelan kedua pipi kakaknya.     "D-dia nggak mati, kan?" celetuk Theo. Ia begitu terkejut sampai tergagap.     "Lo nggak lihat dia masih napas?"     "Terus dia kenapa, dong?"     "Ya ... mana gue tahu!"     Mereka kemudian bersama-sama mengangkat Yas menuju sofa terdekat. Elang pernah mempelajari hal ini di kelas biologi. Tentang cara menyadarkan orang yang sedang pingsan. Ia merenggangkan ikat pinggang Yas, kemudian memangku kedua kakinya, bertujuan agar aliran darah cepat kembali mengalir ke otak.     "Coba lo ambil bantalnya!" pinta Elang pada Theo.     Theo segera menuruti permintaan Elang. Ia mengangkat sedikit kepala Yas untuk mengambil bantal perlahan.     "Coba lo ambil minyak kayu putih!" pinta Elang lagi.     "Emang kita punya?" bingung Theo.     "Iya juga ya!" Elang terlihat kembali berpikir. "Ah, minyak telon anaknya si Yas aja, tuh!" celetuknya.     Theo mengangguk setuju. Ia berlari ke lantai atas secepat yang ia bisa. Untung kamar Yas tidak dikunci. Theo mencari ke sana ke mari, ke setiap sudut ruang. Ia juga membuka semua laci.     Saat melintasi nakas, Theo melihat beberapa botol berbentuk tabung, berwarna putih. Sepertinya itu adalah botol obat. Theo jadi curiga. Tapi ia menyingkirkan rasa curiga itu, karena yang lebih prioritas saat ini adalah mencari minyak telon.     Theo memukul kepalanya sendiri kala melihat kotak berisi perlengkapan bayi yang jelas-jelas ada di atas meja. Tapi ia tak melihatnya sedari tadi. Mungkin karena ia terlalu panik.     Sungguh, Theo tak tahu mana yang namanya minyak telon. Sumpah, Theo sebenarnya bisa membaca keterangan yang tertera pada wadah perlengakapan-perlengkapan bayi itu.     Tapi jika Theo benar-benar melakukannya, akan memakan waktu yang lumayan. Sementara ia harus bergegas. Ia pun memutuskan untuk membawa kotak perlengkapan beserta seluruh isinya.     "Nih!" Theo menyerahkan kotak itu pada Elang.     "Ebuset, satu kotak lo bawa semua?"     "Gue nggak tahu mana yang minyak telon!"     "Kan bisa baca!"     "Buang-buang waktu, Lang. Ini lo sekarang ngomel-ngomel begini, juga buang-buang waktu. Kan lo lebih pinter daripada gue. Katanya lo jenius. Buruan cari minyak telonnya, cepetan tolongin si Yas!"     Ingin rasanya Elang menonjok mulut bawel Theo. Tapi kalau dipikir-pikir, omongan adiknya itu ada benarnya juga, sih. Ia memang harus segera menolong Yas.     Elang mengubek-ubek isi kotak. Dalam sekejap, ia telah menemukan botol minyak telon keramat nan ajaib.     "Nih, ciumin ke hidungnya!" Elang menyerahkan botol itu pada Theo.     Theo segera melakukan permintaannya lagi seperti yang sudah-sudah.     Sementara Elang tengah memeras otaknya habis-habisan, mengingat-ingat apa lagi yang sekiranya harus ia lakukan dalam usaha menyadarkan Yas dari pingsan.     Elang benar-benar bingung. Apalagi setelah Theo menciumkan minyak telon ke hidung Yas, laki-laki itu tetap belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun.     "Yo, coba lo ambil air!"     "Air?" Theo terheran-heran. "Buat apaan?"     "Udah ambil aja!"     Theo tak habis pikir dengan permintaan—lebih tepat disebut perintah—dari Elang kali ini. Tapi ia tetap bergegas berlari ke dapur. Ia mengambil baskom, kemudian mengisinya dengan air dari wastafel.     Tiba-tiba Theo tersenyum bangga. Sepertinya sekarang ia sudah tahu kenapa Elang menyuruhnya mengambil air ini. Theo pernah melihat di televisi saat ada adegan orang pingsan. Dan mereka memang membangunkan orang itu dengan cara ini. Nyatanya Theo cukup pintar. Ia tak sebodoh yang Elang pikirkan.     "Udah, Lang, lo nggak usah ngasih tahu apa yang harus gue lakuin. Gue udah tahu!" cerocos Theo saat keluar dari dapur sembari membawa sebaskom penuh air.     Elang mengernyit, tak mengerti apa yang Theo bicarakan. Semua terjadi sangat cepat. Theo mengangkat baskom itu ke udara, mengarahkannya pada wajah Yas, dan siap sedia untuk menyiramkan air itu.     Elang mendelik seketika. "STOOOOOP!" teriaknya histeris.     Theo segera berhenti. Karena mendadak, separuh dari air baskom tumpah ruah ke lantai. Sebagian juga membasahi kaos merah kesayangan Theo.     "Lo apa-apaan, sih, Lang?" Theo langsung muntab.     "Lo yang apa-apaan? Lo gila, ya? Dasar korban sinetron!" omel Elang. "Lo mau ngguyur dia pakai air sebaskom? Ini orang udah pingsan. Lo mau bikin dia komplikasi?"     "Kok jadi komplikasi?" Theo benar-benar tak mengerti.     "Ya iyalah!" Elang berusaha menjelaskan. "Udah pingsan, terus harus masuk angin pula! Dan semua itu gara-gara lo!"     "Yaelah! Gitu doang dibilang komplikasi." Theo geram sekali. Ia pikir komplikasi kenapa. "Terus yang bener, gue harus gimana?"     "Dicipratin dikit aja airnya, jangan diguyur!" koreksi Elang.     "Oalah, gitu toh!" Theo mengangguk-angguk. Ia kembali mengambil baskom dengan sedikit sisa air di dalamnya. Theo mencelupkan tangan ke sana, kemudian memercikkan pada wajah Yas.     Elang dan Theo menunggu beberapa saat. Aneh, semua usaha sudah dilakukan. Tapi kenapa Yas masih belum bangun juga?     Meskipun napasnya sudah cukup normal, tapi wajah Yas masih sangat pucat.     Elang yang sampai saat ini masih memangku kedua kaki Yas, tergerak untuk menekan ibu jari lelaki itu dengan kukunya—sebagai usaha menyadarkan Yas yang selanjutnya.     Elang melakukan ini untuk menguji refleks tubuh Yas dalam menerima rangsang rasa sakit. Jika ia merespon, itu berarti ia baik-baik saja meskipun belum sadar. Tapi nyatanya, Yas tidak merespon sama sekali. Elang mengulangi aksi itu beberapa kali. Hasilnya masih sama.     "Kayaknya kita butuh bantuan, deh!"     "Maksud lo?"     Tanpa menjawab pertanyaan Theo, Elang merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ia mendial nomor Junot. Untuk beberapa saat lamanya, hanya nada tunggu yang terdengar.     Hingga akhirnya, operator meminta untuk meninggalkan pesan. Elang segera mengakhiri panggilan. Junot pasti sedang sibuk di pabrik. Makanya tidak bisa angkat telepon.     "Theo?"     "Iya?"     "Lo pergi ke pabrik sekarang! Panggilin Om Junot!" titah Elang.     Theo kesal sebenarnya. Benar-benar kesal! Daritadi Elang terus-menerus memerintahnya untuk mengambilkan ini itu, untuk melakukan ini itu. Sementara Elang sendiri hanya duduk manis. Dan sekarang ia dengan lancang kembali memberi perintah.     Sialnya, Theo tidak bisa menolak sama sekali. Buktinya sekarang ia sedang berlari menuju pabrik.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD