Sudah Besar

1831 Words
    Chico tergagap menyebutkan nama guru olah raga tergembul yang pernah ditemuinya. Lihatlah kumisnya itu, tebal sekali seperti kumis Pak Raden, menambah kesan horor seorang Pak Saipul.     "Ngapain kamu di sini?" Pak Saipul memukul-mukulkan tongkatnya pada telapak tangan. Sekadar informasi, tongkat pendek bercat hitam itu selalu ia bawa ke mana-mana. Sebagai jaga-jaga jika sewaktu-waktu bertemu murid yang melanggar peraturan seperti apa yang dilakukan Chico sekarang ini.     Chico beringsut mundur, takut jikalau Pak Saipul tiba-tiba kalap. "N-nggak ngapa-ngapain kok, Pak."     "Siapa tadi yang lompat pagar?"     "Nggak ada!"     "Jangan bohong kamu!"     "Nggak bohong, Pak! Nggak bohong! Sumpah!" Chico mengangkat dua jarinya.     "Ayo, cepat ngomong siapa yang lompat pagar?"     "Sumpah, Pak, nggak ada! Dibilangin nggak ada!"     "Chico!"     "Laailaahaillallah, nggak ada, Pak! Pager setinggi itu, mana ada yang bisa lompatin?" Chico bersikeras. "Bisanya manjat, Pak!" Chico menutup mulutnya sendiri yang tidak bisa dikontrol.     Pak Saipul tersenyum miring. "Kena kamu!"     "Ayo ikut saya ke kantor!" Pak Saipul menarik kerah seragam Chico dan menggiringnya.     Di sepanjang perjalanan melewati koridor demi koridor, murid-murid yang kebetulan melihat mereka, semuanya menertawakan Chico. Mereka heran sekaligus menduga-duga, kira-kira kali ini apa lagi yang Chico lakukan? Sehingga Pak Saipul kembali marah padanya.     Sementara Chico mengutuk Pak Saipul dari dalam hati. Ke kantor, ya, ke kantor. Tapi apa harus digiring seperti hewan peliharaan begini?     Karena jam istirahat belum berakhir, para guru masih lengkap berada di kantor semua. Ada di antaranya yang makan, mengoreksi tugas siswa, bergosip, mengomentari berita di televisi, dan lain-lain.     Melihat kedatangan Pak Saipul dan Chico, reaksi mereka tak jauh dari murid-murid di luar tadi. Mereka kompak menertawakan Chico.     Kecuali satu orang. Satu orang yang sedang berkacak pinggang dan melotot lebar pada Chico. Karenanya Chico segera menunduk, ia takut setengah mati.     "Ngapain lagi, sih, kamu?" tanya salah satu guru.     "Nggak kapok apa setiap hari dihukum sama Pak Saipul?" lanjut yang lain.     "Nggak tiap hari kok, Bu," elak Chico.     "Tapi, kan, hampir tiap hari. Sama aja kali!" Guru itu mementahkan pembelaan diri Chico.     Chico tidak menjawab lagi. Dari pada menanggapi tuduhan-tuduhan tidak berfaedah, ia lebih memilih untuk fokus pada si Pemegang kartu matinya.     Ia memberanikan diri melirik orang itu lagi. Hasilnya, Chico kembali ketakutan setengah mati. Orang itu masih berkacak pinggang, dan masih juga melotot lebar padanya. Mungkin kali ini Chico akan benar-benar mati.     Pak Saipul melepaskan cengkeramannya dari kerah seragam Chico. Ia berdeham untuk membersihkan tenggorokan sebelum mulai berbicara. "Bapak-bapak, Ibu-ibu sekalian, semuanya penasaran apa yang dilakukan oleh Chico, bukan?"     "IYA, PAK!" Para guru mendadak mirip murid-murid di kelas. Heran, mereka kok kompak sekali! Tapi sekali lagi, kecuali satu orang itu pastinya.     Kini orang itu sedang menyumpah-serapahi Chico dalam hatinya, sedang merencanakan apa yang akan ia lakukan pada Chico nanti sebagai pelajaran.     "Tenang semuanya!" Pak Saipul beralih pada Chico. "Chico, coba jelaskan apa yang kamu lakukan tadi?"     Chico menghentakkan kakinya ke lantai, tanda ia tidak bisa menerima hukuman Pak Saipul kali ini. Tidak apa-apa jika ia dihukum lari keliling lapangan puluhan kali. Hitung-hitung olah raga. Siapa tahu tinggi badannya yang sudah 185 cm, masih bisa bertambah lagi. Kan lumayan kalau kelak ia menjadi remaja tertinggi di Indonesia. Memecahkan rekor MURI, dapat penghargaan, dan pastinya dapat uang.     Nah, ini? Pak Saipul malah mempermalukannya di ruang guru. Mungkin Chico masih bisa mentolerir jika orang itu tak ada. Sayangnya ia juga termasuk guru di sini.     Dan parahnya lagi, selain ketakutan dengan si Pemegang kartu mati, harga diri Chico juga baru saja merosot di depan gebetan sendiri. Bu Yulia pujaan hatinya, kini tengah asyik menertawakan dirinya dari deretan bangku guru paling depan. '    Apes banget gue hari ini!'     "Ayo, Co, jelasin, tunggu apa lagi?" gertak Pak Saipul.     "Apa yang mesti dijelasin sih, Pak? Kan nggak ada apa-apa?" Chico masih berusaha mengelak rupanya.     "Yang lompat pagar tadi lho!" tegas Pak Saipul.     "Dibilangin nggak ada yang lompat! Manjat, Pak, manjat!" Chico segera menutup mulutnya sendiri sesaat setelah mengucapkannya. Pak Saipul berhasil menjebaknya lagi. Benar-benar sial!     Sekali lagi Pak Saipul tersenyum miring karena berhasil menjebak murid kesayangannya. "Iya itu, manjat pagar. Cepat jelasin kronologinya! Dan jangan lupa kasih tahu kita semua siapa tersangkanya?"     Chico menelan ludah. Ia memandang semua guru di hadapannya satu per satu. Wajahnya memerah saat memandang Bu Yulia.     Namun Chico melewati satu guru yang sepertinya sudah siap menerkamnya hidup-hidup, orang itu, si Pemegang kartu mati.     Dan akhirnya pandangan Chico berhenti pada Pak Saipul. Ia kemudian menggeleng dengan cepat.     "Lhoh, kok malah geleng-geleng, ayo jelasin!"     "Nggak bisa, Pak. Kasih saya hukuman lain aja, tolong!" Ia memelas.     "Chico!"     "Nggak bisa, Pak. Saya udah janji!"     "Chico!"     Gertakan demi gertakan ia dapat dari Pak Saipul. Ditambah beberapa guru yang nyinyir. Bu Yulia terlihat cuek dan melanjutkan pekerjaannya, mengoreksi tugas siswa. Belum lagi ancaman mati dari orang itu. Tapi Chico tidak gentar. Karena menurut pandangan seorang Chico, lelaki sejati tidak akan pernah melanggar janji yang dibuatnya sendiri.   ***       Theo dan Elang akhirnya sampai di halte. Tinggal menunggu angkot merah, satu-satunya kendaraan yang bisa mengantar mereka ke pengadilan. Kalau naik bus tidak bisa, karena rute-nya berbeda.     Sebenarnya lebih baik jika mereka pergi pakai mobil, toh mobilnya Yas ditinggal di sekolah. Tapi, Halo! Tidak mungkin, kan, mereka terang-terangan keluar pakai mobil di jam aktif sekolah. Bisa-bisa keesokan harinya mereka tinggal nama, karena dimantrai oleh tongkat Pak Saipul.     "Capek!" Elang menghempaskan dirinya pada kursi halte.     Theo mengulurkan jemarinya pada wajah Elang, tapi sang kakak segera menampiknya.     Theo mencebik kesal. "Kumis lo miring, mau gue benerin, Bego!"     "Oalah, bilang, dong! Kirain mau ngapain!" Elang memajukan wajahnya agar Theo lebih mudah membenarkan kumis imitasinya.     "Emang lo pikir gue cowok apaan? Amit-amit jabang bayi!" Theo merengut, masih kesal. Kalau kata Bu Alila, Theo itu sedang bimoli, bibir monyong lima senti.     Dalam proses membenarkan kumis yang miring, Elang mati-matian menahan tawa. Tentu saja karena ia harus melihat melihat wajah aneh Theo dari jarak sedekat ini. Sungguh, saat proses transformasi tadi mereka sudah tertawa sampai puas. Chico bahkan juga ikut terpingkal-pingkal dari balik gerbang besar nan tinggi yang memisahkan mereka.     Tapi ternyata semua itu masih belum cukup.Penampilan baru mereka ini memang total sekali. Tidak apa-apa, sih. Apapun akan mereka lakukan demi tidak ketahuan oleh Yas di pengadilan nanti.     Mereka memakai setelan jas warna hitam dan juga patungan membeli kumis dan jenggot imitasi. Karenanyalah penampilan mereka jadi aneh sekaligus menggelikan. Karena Elang tertawa, Theo jadi tersugesti untuk tertawa juga. Apalagi sekarang ia sedang membenarkan kumis Elang. Muka aneh Elang berada berada tepat di hadapannya. Siapa yang tidak tertawa jika berada di posisinya sekarang?     "Duh, udah jam segini. Mana lagi angkotnya?" keluh Elang.     "Tiba-tiba perasaan gue kok nggak enak, ya? Gimana kalo kita ketahuan?" tanya Theo.     "Nggak bakal, lah. Kita udah sampek sini, tinggal ke pengadilan, ikut sidang, balik lagi ke sekolah pas jam istirahat kedua, beres!"     "Yah, semoga aja, deh."     Elang segera melambaikan tangannya saat melihat sebuah angkot merah dari kejauhan.     "Lewat Pengadilan, kan, Pak?" tanya Elang pada Pak Supir, daripada nyasar.     "Iya, Pak."     Theo dan Elang terkikik lagi. Supir angkot itu memanggil mereka Pak, jadi pasti penyamaran ini benar-benar detail, kan? Mereka akhirnya yakin bahwa tidak akan ada yang mengenali mereka di pengadilan nanti. Mereka tidak akan ketahuan.     Mereka melangkah pasti memasuki gerbang pengadilan. Bersikap sealami mungkin agar tidak ada yang curiga.     "Kurang lima menit sebelum sidang dimulai," kata Elang.     "Makanya cepet kalo jalan, jangan lelet!" Theo berjalan mendahului sang kakak. Elang kesal dibuatnya. Mentang-mentang tinggi, sombongnya selangit. Elang berlari untuk menyamakan langkahnya dengan Theo.     "Bersikap senatural mungkin, jangan sampek ketahuan!"     "Bacot lo, ah!"     Setelah perjalanan cukup jauh, akhirnya mereka sampai di ruang sidang. Mereka saling bertatapan kemudian mengangguk. Theo dan Elang melangkah bersama dengan pasti, memasuki pintu ruang sidang yang terbuka lebar.  Sayang, langkah pasti keduanya seketika memelan. Mereka melihat Yas, Oom Junot dan Jodi. Nyali mereka mendadak ciut.     Elang menunjuk deretan bangku paling belakang. Dari pada tidak tenang, lebih baik cari aman saja kan? Untungnya Theo langsung setuju untuk duduk di situ. Kini mereka sudah duduk manis di bangku masing-masing. Baru saja majelis hakim memasuki ruang sidang. Jantung keduanya berdesir hebat, detaknya menjadi dua kali lebih cepat.   ***       Sudah satu jam, tapi Chico tetap tidak mau mengaku. Saat ini ruang guru sudah sepi, semuanya harus mengajar sesuai jadwal masing-masing. Hanya Pak Saipul yang tidak. Tentu saja karena beliau adalah guru olah raga. Tidak ada jadwal olah raga yang diletakkan pada waktu sesiang ini bukan? Bisa-bisa semua murid pingsan karena kepanasan.     Sebenarnya ada lima orang guru olah raga di sekolah ini. Karena jadwal mengajar sudah selesai, mereka memilih untuk keluar, atau pulang bagi yang rumahnya cukup dekat. Nanti mereka kembali lagi ke sekolah saat waktunya check lock. Hal itu diperbolehkan oleh kepala sekolah, meskipun tanpa izin, asal tidak melanggar jadwal mengajar yang sudah menjadi tanggung jawab masing-masing. Kecuali jika mereka memang berniat pergi untuk melakukan hal pribadi dalam kurun waktu yang cukup lama, dan tidak akan kembali saat waktu check lock tiba. Kalau seperti itu, mereka harus izin.     Sedangkan Pak Saipul memilih untuk bertahan di sekolah karena posisinya sebagai salah satu guru tata tertib. Dan ia adalah yang terajin di antara tujuh orang guru tatap tertib yang ada. Pak Saipul tidak akan pulang atau pergi ke manapun, sampai waktu check lock tiba, sore hari nanti. Dedikasinya benar-benar tinggi.     "Beneran kamu nggak mau jelasin? Hukuman kamu bisa saya ringankan kalau kamu mau terus terang." Lagi-lagi Pak Saipul memberi Chico opsi.     Pak Saipul mendesah saat Chico menggeleng lagi. Baiklah. Sepertinya anak ini benar-benar setia kawan. "Ya sudah, kalau begitu kamu boleh kembali kembali ke kelas! Tunggu saja nanti apa hukumannya, bersama dengan temanmu yang kabur itu! Saya akan cari tahu sendiri siapa pelakunya." Pak Saipul bersiap melangkah pergi.     Chico segera menahannya. Anak itu memeluk tubuh gembul Pak Saipul. Kedua lengannya yang panjang, bahkan tidak cukup untuk mencakup seluruh tubuh Pak Saipul, saking gembulnya. "Tolong, Pak, jangan!"     "Kamu ini gimana, sih? Saya hanya menjalankan tugas. Saya harus menegakkan aturan yang ada di sekolah ini."     "Tapi mereka kabur bukan tanpa sebab, Pak."     "Mereka? Jadi ada lebih dari satu?"     Lagi-lagi Chico merutuki kebodohannya sendiri. Kenapa ia salah bicara terus? Bagaimana ini?     "Udah, cepat kamu balik ke kelas, atau hukuman kamu akan saya perberat karena sudah membolos pelajaran juga."     "Pak, saya mohon jangan! Iya, memang lebih dari satu. Tapi mereka pergi bukan buat senang-senang. Ada alasan yang benar-benar nggak bisa saya jelasin."     "Apapun alasannya, kabur dari sekolah adalah sebuah pelanggaran. Kamu pasti ngerti, kan? Mungkin memang ada alasan kuat yang mendasari kaburnya mereka, tapi kalian semua sudah besar, harus mulai belajar menjadi dewasa, harus sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, membedakan mana yang benar dan salah." Pak Saipul memberi jeda sebentar. "Lagian apa kamu nggak kasihan sama kakak kamu?"     Chico tak bisa mengelak lagi, kapanpun hal ini dibahas, Chico seakan kehabisan kata-kata. Kakaknya ... tentu saja ia kasihan. Ia adalah tulang punggung keluarga semenjak Bapak meninggal, dan Ibu hanya kerja serabutan di kampung.     Pak Saipul menatap Chico. Ia menepuk pundak si Murid beberapa kali, sebelum akhirnya benar-benar pergi untuk mencari tahu siapa saja tersangka yang kabur dari sekolah.     Chico tak bisa melakukan apapun lagi untuk mencegah Pak Saipul. Lalu apa yang harus ia katakan pada Theo dan Elang? Bagaimana nasib mereka nanti? Dan ... pasti Yas juga akan terkena imbasnya.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD