Beberapa hari yang lalu, setelah sidang pertama.
"Dasar, nggak berguna!" Zidan meninggalkan Pras yang berlumuran darah. Zidan kesal, ia sudah membayar mahal, tapi Pras malah mempermalukannya. Bagaimana bisa ia kalah adu argumen dengan Jodi?
Yakin bahwa Zidan benar-benar sudah pergi, sudah puas, dan tak tertarik untuk melanjutkan pukulannya pada Pras lagi, seorang bodyguard segera bertindak.
"Anak Baru, bantuin gue!" serunya pada Dion.
Dion menuruti titah sang Senior. Miris rasanya melihat kondisi Pras sekarang, karena beberapa waktu yang lalu ia mengalami hal yang sama—dipukuli sampai babak belur.
Tapi Pras setidaknya sedikit pantas untuk dipukuli, karena kesalahannya di ruang sidang. Sedangkan Dion? Bahkan ia tak melakukan kesalahan apapun waktu itu. Ia hanya menjadi pelampiasan kemarahan Zidan—karena berita buruk yang ia sampaikan--membuat tuannya murka. Bahkan sampai sekarang, lebam di wajahnya masih tersisa. Juga masih ada plester kecil yang melintang pada luka sobek di alisnya.
Mereka membopong Pras menuju ke ER. Dokter Bianca segera menangani Pras supaya tidak terjadi sesuatu yang serius, seperti infeksi misalnya.
Dokter Bianca membersihkan darah yang mengalir di sana sini. Sebagai satu-satunya tim medis, ia harus melakukan apapun sendirian. Semua ini terasa sangat berat. Apalagi Zidan sering sekali membuat anak buahnya babak belur seperti ini. Bertahun-tahun lamanya, Dokter Bianca berusaha adaptasi dengan cara kerja Zidan. Tapi sampai sekarang rasanya semua masih begitu sulit dan menyesakkan.
"Bi," lirih Pras.
"Hm?"
Pras hendak berbicara, namun ia malah meringis kesakitan, tentu saja karena luka robek di sudut bibirnya.
"Biar gue obatin dulu!" ujar Dokter Bianca.
"Gimana mau menang kalo lawan gue si Jodi!" Pras cukup keras kepala rupanya, mengacuhkan rasa perih yang teramat sangat.
"Lo tahu sendiri, kan, gimana Zidan? Dia bakal lakuin apapun buat menang. Termasuk dengan cara memaksa, membuat orang lain menderita, demi kesenangan dan kepuasannya sendiri."
Pras memandang dokter Bianca. "Bi, apa lo nggak ada niatan buat pergi dari sini? Gue bakal bantu lo."
Dokter Bianca berpura-pura tak mendengar. Ia mengambil kapas, menyelupkannya dalam antiseptik, kemudian menekankannya pada luka-luka Pras.
"Bi, gue serius. Gue bakal bantu lo."
"Pras, seandainya bisa, gue udah pergi dari dulu. Zidan tetaplah Zidan. Hanya orang-orang seperti kita yang tahu bagaimana kejamnya dia." Air mata Dokter Bianca menetes. "Anak gue ... pasti sekarang dia udah besar. Gue pengen banget ketemu sama dia. Tapi gue nggak bisa. Karena itu ... nggak mungkin."
Di depan pintu ER, Dion tengah menajamkan pendengarannya. Meskipun tak terlalu jelas, tapi ia berhasil mendengar sebagian besar dari obrolan mereka. Ia bisa mengambil kesimpulan, mungkin mereka berdua bisa diajak bergabung untuk menjalankan rencananya.
***
Present time.
"Dari dua dokumen yang ada, mungkin masih dipertanyakan keasliannya, keduanya masih dalam proses penyidikan saat ini. Namun ternyata klien kami memiliki bukti otentik, yang menunjukkan bahwa dokumen kami adalah yang asli." Pras mengangkat sebuah micro chip.
Jodi mengerutkan kening. Reaksi Yas dan Oom Jodi tak jauh berbeda. Pun demikian Theo dan Elang di belakang sana. Kira-kira bukti macam apa itu? Bagaimana jika bukti itu berisi sesuatu yang kuat? Mereka curiga, jika ini hanya akal-akalan Zidan saja supaya bisa menang dalam kasus ini.
Hakim mempersilakan Pras untuk membuka chip itu. Pras memasukkannya dalam card reader, menghubungkannya dengan komputer dan proyektor. Semua pasang mata tertuju ke layar. Sebuah video mulai berputar.
Ada Zidan dan juga seorang lelaki tinggi. Meskipun hanya terlihat dari belakang, namun dari posturnya, suaranya, dan bahasa tubuhnya, mereka tahu itu siapa. Sesak rasanya melihatnya lagi setelah sekian lama. Ya, meskipun itu hanyalah sebuah rekaman.
"Terserah Mas Riefan, aku nggak memaksa."
"Mas butuh uangnya untuk menutup hutang yang lain. Tolonglah, Zidan!"
"Hanya itu yang bisa aku lakuin untuk nolong Mas, tentunya dengan persyaratan-persyaratan yang tertulis di sana."
"Tapi gimana Mas bisa lunasin semuanya dalam kurun waktu ...." Riefan meremas kedua sisi kertas perjanjian itu.
"Kan aku udah bilang, semuanya terserah Mas. Nggak ada pemaksaan di sini."
"Apa kamu nggak bisa ngasih keringanan? Gimana sama anak-anak Mas nanti? Kami akan tinggal di mana jika rumah kami disita?"
"Jika Mas melakukan cicilan dengan rutin sesuai perjanjian, dalam kurun waktu yang sudah ditentukan, maka rumah Mas nggak perlu disita, kan?"
Riefan tak langsung menjawab lagi. Ia sedang memikirkan semuanya. Memikirkan keputusan yang paling tepat, yang terbaik untuk perusahaan, dan pastinya untuk keluarganya.
Dengan tangan bergetar, Riefan mengambil pulpen dan menandatangani surat yang sudah kusut di sana sini. Tak berhenti sampai di situ, video itu juga menayangkan saat mereka sama-sama memberi stempel resmi perusahaan masing-masing. Barulah setelah itu, video berakhir.
"Dan inilah surat perjanjian itu." Pras mengangkat sebuah surat perjanjian yang diletakkan dalam plastik bening.
"Keberatan, Yang Mulia!" Jodi segera menyelanya.
"Silakan sampaikan keberatan anda!"
"Bisa jadi surat yang ada dalam video berbeda dengan surat yang dibawa oleh Saudara Pras saat ini."
"Saya tahu Anda akan menduga seperti itu, Saudara Jodi." Pras meletakkan surat itu kembali ke atas meja. "Surat ini segera disimpan oleh pihak Tuan Zidan sesaat setelah ditandatangani. Karena itulah sidik jari kedua belah pihak pasti masih tersisa di sana, bukan? Kami sudah membuktikan bahwa memang terdapat sidik jari almarhum Tuan Riefan di sana. Ini bukti pernyataannya dari kepolisian." Pras menunjukkan satu dokumen lain.
"Itu pula sebabnya kenapa surat perjanjian tersebut kami bungkus dengan plastik. Untuk berjaga-jaga, jika dari pihak penggungat ingin melakukan analisis ulang. Saya yakin, almarhum Tuan Riefan sebenarnya juga menyimpan bukti yang sama, kita melihat sendiri bahwa surat perjanjiannya memang ada dua dalam video tadi. Karena kedua pihak memiliki masing-masing satu untuk disimpan. Namun entah di mana almarhum menyembunyikan surat itu, supaya tidak ditemukan oleh anak-anaknya."
"Almarhum bukan orang seperti itu," elak Jodi.
"Almarhum memang orang seperti itu, Saudara Jodi. Dia menyembunyikan kebangkrutan dari anak-anaknya, dia sengaja melakukan bunuh diri untuk lari dari tanggung jawab."
"Anda tidak berhak menyampaikan hal itu dalam sebuah sidang, Saudara Pras! Itu adalah privacy keluarga ini!" Napas Jodi naik turun. Jujur ia sendiri kaget dengan pernyataan Pras. Ia baru tahu jika Riefan meninggal karena bunuh diri.
Jodi melirik Oom Junot di belakangnya. Oom Junot tidak menjawab apakah pernyataan Pras itu benar adanya, namun dari cara lelaki itu menatapnya, ia tahu bahwa kenyataannya memang seperti itu. Jodi tak sampai hati menatap Yas di podium penggugat. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Yas sekarang.
Theo menatap Elang di sampingnya. Ia bisa melihat mata kakaknya itu berkaca-kaca. Theo pun terkejut dan sedih mendengar pernyataan kasar dari pengacara itu. Apalagi masalah ini sudah berusaha mereka tutupi bersama agar tidak menyebar luas. Namun orang itu--dengan seenaknya--malah mengatakannya secara gamblang di hadapan orang sebanyak ini. Jika berita ini sampai menyebar, entah bagaimana pandangan masyarakat akan keluarga mereka ke depannya.
***
TBC