Detik itu juga mereka semua digiring ke ruang BK untuk disidang. Bu Mina mendengarkan penjelasan mereka satu per satu.
Theo menjelaskan bahwa peristiwa yang mereka anggap sebagai ciuman itu, adalah salah paham belaka. Mereka menuduh, karena melihat semuanya dari angle yang salah.
"Emang kamu tadi bisikin apa ke Chico?" Bu Mina jadi kepo.
"Ibu, mah, gitu. Rahasia, dong! Kalo bukan rahasia, ngapain saya ngomongnya pakek bisik-bisik segala!" Theo cemberut luar biasa.
"Eh, iya juga, ya!" Bu Mina cekikikan sendiri. "Maaf, deh! Habis saya penasaran!" Akunya. Kadang saat menghadapi tingkah laku murid yang bermacam-macam, ia jadi merindukan masa mudanya dulu.
Tak ingin semakin terlarut dalam kenangan, Bu Mina segera mengembalikan fokusnya pada kewajiban.
"Tuh, kalian denger sendiri, kan? Kalian semua cuman salah paham!" tegas Bu Mina. Ia sudah pusing. Setiap hari ada-ada saja kelakuan anak-anak ini. "Sekarang ayo, buruan minta maaf sama Theo dan Chico!"
"Maafin kita, ya!" ucap salah satu perwakilan.
"Makanya, kalo mau ngomong tuh harus ada sumber yang jelas. Jangan asal tuduh! Harus ilmiah!" Theo masih belum bisa menerima sepertinya.
"Alfitnatu asyaddu minal qatl!" Chico melanjutkan.
Semua orang menggaruk tengkuk akibat mendengarkan dalilnya. Karena mereka tidak mengerti artinya.
"Betul tuh!" Theo membenarkan.
"Emang kamu tahu artinya?" Bu Mina keheranan.
"Nggak!"
Krik ... krik ... krik ....
"Artinya apaan, Bro?" Theo akhirnya bertanya juga pada Chico.
"Artinya, fitnah lebih kejam dari pembunuhan!"
"Nah, iya, kan, bener! Dengerin, tuh!" Theo semakin menggebu-gebu setelah tahu artinya.
Untungnya masalah ini dapat segera diselesaikan dengan baik-baik.
Tapi penyelesaian secara baik-baik itu tak sepenuhnya berjalan mulus. Ada saja mulut bocor yang bercerita pada teman-temannya. Kabar berita pun menjadi rancu.
Si A bercerita kejadian sebenarnya pada si B. Si B ternyata hanya memahani setengahnya saja, lalu bercerita pada si C. Ironisnya, si C hanya paham seperempat, dan ia menceritakan pada si D.
Begitu seterusnya. Sehingga berita bahwa Theo dan Chico adalah sepasang homo, berhasil tersebar ke seantero sekolah dengan versi yang berbeda-beda.
***
Keesokan harinya, alias hari ini, Theo dan Chico sampai kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka dapat. Mereka lelah menjawab bahwa mereka tidak homo.
Kembali pada Theo yang masih setia menunggu di halte.
Theo percaya, bahwa sebelum mencapai sebuah tujuan, akan selalu ada halangan yang menyertai. Tujuannya adalah menyatakan perasaan pada Bu Alila, dan berita ke-homo-annya itu adalah halangan yang menyertai.
Sial sekali! Mencoreng nama baiknya sebagai cogan sejati.
Ngomong-ngomong soal rencananya, ia sengaja bohong pada Yas dan Elang bahwa ia ada tugas kelompok. Ia meminta mereka pulang duluan. Untungnya mereka percaya. Dan Chico pasti juga sudah melaksanakan tugasnya.
Senyuman Theo mengembang kala melihat Bu Alila dengan sepedanya dari kejauhan. Jadi, akhirnya rapat guru itu selesai? Syukurlah.
Sudah hampir setengah enam ini. Kalau tidak buru-buru, bisa-bisa nanti ia dan Bu Alila ditemploki lelembut. Kata orang tua zaman dulu kan, jam segini adalah jam keluarnya makhluk halus.
Theo buru-buru berdiri, memposisikan dirinya agar terlihat oleh Bu Alila. Ia memasang tampang semelas mungkin, agar Bu Alila kasihan.
Berhasil, Bu Alila menyadari keberadaanya. Wanita itu semakin cepat mengayuh sepedanya, menghampiri Theo.
"Kamu, kok, masih di sini? Sendirian lagi! Pak Yas nggak jemput?" Bu Alila celingukan. Heran, jika Pak Yas tidak menjemput, tapi kok Elang sudah tidak ada?
"Jemput, kok, dia. Tapi aku suruh balik duluan, soalnya aku lupa, aku harus pinjem sesuatu dari Chico. Ceritanya aku mau ke kost-nya buat ngambil. Tapi nggak ada bus. Chico-nya udah terlanjur pulang dari tadi."
Theo bangga dengan aktingnya yang sempurna. Eh, ini sebenarnya akting atau bakat menipu yang luar biasa sih? Ah ... there is no in between. Terserah apa itu, yang penting rencana Theo sudah lima puluh persen berhasil.
"Udah coba kamu telepon?"
"Udah, tapi nomornya nggak aktif."
"Coba saya telepon dia dulu ya!" Bu Alila mengambil handphone-nya di tas.
Theo jadi merasa bersalah karena terpaksa merepotkan sang pujaan hati, yang pasti sudah lelah, dan ingin cepat-cepat pulang. Tapi ini adalah sebuah kesempatan yang mungkin tak akan datang dua kali.
"Iya juga, bener. Nomornya nggak aktif. Tumben-tumbennya anak itu kayak gini!" Bu Alila keheranan sendiri. "Yaudah, kamu bareng saya aja gimana? Boncengin tapi!"
Senyuman Theo semakin melebar saja. Hatinya di dalam sana pasti sedang berdisko ria. Dan jantungnya melompat-lompat kesetanan, seperti baru menang undian satu trilliun, tanpa dipotong pajak.
"Pegangan, ya, Bu! Saya ngayuhnya bakal ngebut."
"Yah, jangan nge- ...."
Terlambat, Theo sudah terlanjur mengayuh pedal sepeda mini itu dengan ugal-ugalan. Bu Alila menelangkupkan lengannya pada pinggang Theo, dengan sangat erat. Ia takut jatuh.
Theo terlalu asyik menikmati pelukan dari Bu Alila. Hingga ia baru menyadari bahwa tak jauh di depan sana, ada deretan polisi tidur yang harus dilewati. Theo tak sempat menekan rem. Kejadiannya terlalu cepat.
Sepeda itu bergeronjalan dengan hebat. Bu Alila berteriak-teriak, karena ketakutan dan pantatnya yang terasa sakit, boncengannya kan keras. Wanita itu semakin mengeratkan pelukannya.
Theo pun berteriak tak kalah keras. Ia takut setengah mati kalau-kalau mereka jatuh.
Teriakan mereka berdua meramaikan suasana jalan yang tadinya hanya terisi deru kendaraan dan juga bunyi klakson. Beberapa orang yang lewat menertawai mereka sambil menunjuk-nunjuk.
Syukurlah, saat ini deretan polisi tidur sudah terlewati dengan sukses. Tinggallah Bu Alila yang sedang mengekspresikan kemurkaannya. Ia memukul punggung Theo dengan brutal, mencubit pinggangnya, memukulnya lagi, mencubitnya lagi, dan seterusnya.
"Dibilangin jangan ngebut! Bandel! Bandel! Bandel!"
"Ampun, Bu, ampun!"
Sekarang Theo tahu bagaimana rasanya jadi Chico. Kata Chico dulu Bu Alila hanya kasar padanya. Tapi kenapa sekarang juga kasar pada Theo seperti ini?
Oh iya, Theo baru ingat. Ini kan salahnya sendiri. Nyawa mereka baru saja dipertaruhkan. Wajar kalau Bu Alila sampai marah.
Tapi pukulan Bu Alila tidak sakit kok. Cubitannya yang sakit, sedikit. Theo mulai tersenyum lagi. Anggap saja pukulan dan cubitan ini sebagai skinship. Jadi, dinikmati saja.
"Lhoh, kok udahan mukulnya?" tanyanya.
"Maksudnya kamu mau saya pukulin lagi?"
"Ya gitu deh, lagi dong, Bu!"
Bu Alila menganga di belakang sana. Theo sudah tidak waras!
***
TBC