Salah Paham

1607 Words
    Yas meraba sisi atas papan kayu yang baru saja ia plitur. Memastikan bahwa permukaannya benar-benar sudah lurus dan mulus.     Hanya demi sebuah meja, diperlukan waktu antara dua sampai tiga minggu untuk selesai. Kakek Irawan adalah orang yang detail. Beliau tidak akan suka jika karyawannya mengerjakan pesanan dengan asal-asalan. Semua harus dikerjakan dengan perasaan dan jiwa seni yang tinggi.     Hari belum terlalu sore. Namun di sini sudah gelap, karena mendung, dan karena rimbunnya pepohonan besar. Forest Gump didirikan dengan arsitektur yang sederhana. Hanya berupa bangunan petak dengan bagian depan yang terbuka. Balok-balok kayu yang dipahat dan diukir, disusun rapi sebagai dindingnya. Atapnya berupa jerami.     Kakek Irawan berada di sini dari pagi hingga jam lima. Setelah itu ia akan pulang menggunakan sepeda ontanya. Rumahnya berada di bawah gunung, agak jauh dari sini. Semua tentang beliau selalu identik dengan kesederhanaan. Tapi sekali lagi, beliau sangat menikmati hidupnya. Karena beliau adalah orang yang selalu bersyukur.     Istrinya sudah lama meninggal. Di rumah ia tinggal bersama anak bungsu dan juga cucu-cucunya. Tak ada lagi hal yang ia tuju di dunia ini. Selagi menanti giliran Tuhan memanggilnya untuk bertemu sang istri. Ia hidup dengan baik, menjalani hari-hari dan aktivitasnya secara rutin. Setidaknya dengan beraktivitas seperti ini, ia tak akan terlalu menyusahkan anak cucunya.     Kakek Irawan memiliki lima orang karyawan sebelumnya. Sekarang menjadi enam, karena ada Yas. Sore-sore seperti ini, suasana sudah sepi. Kakek Irawan rutin memulangkan karyawan-karyawannya sebelum jam tiga. Hanya tersisa Yas seorang, dengan dirinya sekarang.     Kedatangan Yas kemarin membuatnya senang bukan kepalang. Dulu Yas adalah karyawan yang paling ia suka. Seorang anak SMA yang memiliki pemikiran sama dengannya, tentang seni furniture yang terbuat dari kayu.     Meskipun Yas hanya sebentar di sini, Kakek Irawan tidak pernah melupakannya. Apalagi anak itu sering singgah kemari, hanya untuk menjalin silaturahmi. Bahkan saat Yas sudah menjadi model dengan bayaran tinggi waktu itu, Yas tak pernah melupakan kebiasaannya.     Namun ada yang membuat Kakek Irawan kurang suka dengan kedatangan Yas kali ini. Tidak, bukan     karena Yas yang mendadak ingin kerja lagi dengannya, setelah sekian lama. Tapi karena Yas yang sekarang, jauh berbeda dengan Yas yang ia ingat.     Seingatnya Yas adalah seorang pemuda yang bersemangat dan selalu optimis. Namun sekarang tidak lagi. Cahayanya meredup, entah karena apa.     Yas memang tak menceritakan apapun. Tapi ia terlihat frustasi. Terlihat sedang mengalami banyak masalah. Terlihat putus asa.     Kakek Irawan semakin yakin dengan dugaannya, setelah Jodi datang kemarin. Yas dan Jodi pergi cukup lama ke kedai kopi sebelah. Lelaki renta itu melihat dari kejauhan. Ia yakin, bahwa mereka membicarakan hal serius.     "Yas, udah sore. Besok dilanjutin lagi, 'Le," ucapnya.     "Nanggung, Kek. Adek-adek saya juga belum waktunya pulang sekolah."     "Ya berarti kamu jangan pergi dulu! Tapi udahan kerjanya, sini duduk sama Kakek!" Kakek Irawan menepuk sisi kosong kursi kayu di sebelahnya.     Yas menurut. Ia menyudahi pekerjaannya, melepas apron, melipatnya, dan memasukkannya ke dalam almari. Perlahan Yas mendudukan dirinya di sebelah Kakek Irawan.     "Udah lama kita nggak ngobrol." Lelaki itu memulai dengan basa-basi. "Udah hampir setahun ini kamu nggak pernah muncul. Begitu muncul, Kakek pangling lihat kamu."     "Pangling gimana, Kek?"     "Kamu kelihatan tua!"     Yas tertawa mendengarnya. Benar-benar tertawa karena reaksi spontan nan jujur dari sang Bos. "Aku sekarang emang udah tua, Kek. Dua tahun lagi udah tiga puluh," katanya setelah merasa tenang.     "Kamu tahu itu bukan maksud Kakek, kan?"     Pertanyaan itu sukses membuat Yas kembali diam.     "Semenjak kamu bekerja di sini dulu, Kakek jadi lebih bersemangat. Karena kita memiliki pandangan yang sama. Hobi kita sama, suka main kayu. Selain itu, juga karena kamu yang selalu menyalurkan energi positif pada orang-orang di sekitar kamu." Kakek Irawan sedikit bernostalgia. Kemudian melanjutkan tujuannya mengajak Yas bicara.     "Kakek udah anggep kamu seperti cucu sendiri. Jadi Kakek harap, kamu nggak keberatan untuk berbagi." Ia menepuk-nepuk pundak Yas. "Apa yang terjadi selama kamu menghilang? Masalah macam apa yang merubah kamu menjadi tua seperti ini?"     Yas sukses tertawa lagi mendengar pertanyaan itu. Padahal sebelumnya ia sudah serius. Kakek Irawan memang orang yang seperti ini. Itulah caranya membuat orang lain nyaman. Dengan menyelipkan candaan dalam setiap nasihat ataupun pertanyaan serius, supaya suasana tidak tegang.     Yas memulai cerita dari meninggalnya Papa, kemudian tentang hutang yang harus dilunasi, tentang si Kembar dan Namira, tentang munculnya Zidan, tentang masalah hutang yang dipersulit, teror-teror yang masih senantiasa Zidan lakukan dan juga ... tentang LUAlounge.     "Jadi kamu benar-benar mengakhiri pembangunannya?"     "Bukan mengakhiri, Kek. Tapi memang karena sudah tidak mungkin. Mustahil kami sanggup melunasi sisa hutang dalam kurun waktu satu tahun. Jadi ... rumah itu tidak akan pernah kami miliki kembali."     "Nggak pernah ada yang tahu kapan datangnya pertolongan Allah, Yas. Keajaiban bisa terjadi. Kamu bisa mendapatkan rumah itu kembali dan meneruskan pembangunan LUA ... LUA apa?"     "LUA Lounge, Kek."     "Susah amat kasih nama."     "Habisnya bagus."     "Kakek akan bantu membangun lounge itu sampai selesai nanti. Apalagi konsep yang kamu usung cocok sama selera kita—furniture yang terbuat dari kayu.     "Lagian Kakek yakin, kamu lebih memilih untuk bekerja lagi di tempat kecil ini, dari pada pekerjaan-pekerjaan kamu yang lain di masa lalu. Pasti karena kamu masih sering mikirin lounge itu kan? Makanya kamu harus punya keyakinan, bahwa mimpi keluarga kalian itu, pasti akan terwujud suatu saat nanti. Kalian pasti akan mendapatkan rumah itu kembali."     Pikiran Yas menerawang. "Aku dan adek-adek sudah berusaha dan berdoa, berharap keajaiban itu datang. Tapi ... aku nggak yakin, Kek."     Kakek Irawan menatap Yas. Ia benar-benar prihatin dengan perubahan diri Yas. Sungguh ia bukan orang yang sama lagi. Pemikirannya yang selalu positif sudah hilang ke mana. Lelaki itu berharap, kelak akan ada seseorang yang mampu mengembalikan Yas seperti dulu.   ***       Theo menunggu dengan sabar di halte. Suasana sepi, tak ada orang. Semua sudah pulang. Tentu saja, karena sekarang sudah jam lima. Elang juga sudah pulang bersama Yas, yang datang menjemput mereka tepat jam empat.     Lalu kenapa Theo masih di sini? Apa ia ketinggalan? Apa Yas lupa membawanya?     Kembali pada kemarin siang di perpustakaan.     "Kenapa lo?" tanya Chico segera setelah Theo memasuki perpustakaan.     "Mbak lo, tuh! Aish ... kapan dia bakal sadar? Kapan dia mau peka? Rayuan gue itu bukan bercandaan, dan sikap manis gue adalah sebuah perwujudan rasa sayang. Tapi dia ... dia cuman anggep gue sebagai calon adek ipar. Sekali lagi, calon adek ipar!"     "SSSTTTT!" Penjaga Perpustakaan segera menegur mereka.     Bagaimana tidak ditegur. Theo saja berkoar-koar seperti sedang orasi, minta harga cabai diturunkan.     Chico segera menyeret Theo, menuju rak buku yang paling jauh dari jangkauan Penjaga Perpustakaan.     "Terus sekarang mau lo gimana?" Chico melanjutkan pertanyaannya.     "Gue mau confess aja deh. Biar dia tahu sekalian."     "Konpes apaan sih? Dibilangin kalo ngomong sama gue, jangan sok bule, gue nggak ngerti!"     Theo memukul kepalanya sendiri. Ia lupa kalau nilai bahasa Inggris Chico selalu jelek. "Confess, Co, Confess. Membuat pengakuan, menyatakan perasaan!"     "WHAT?" gantian Chico yang sok bule. Kalau hanya 'what' saja, sih, ia tahulah. Iya, karena hanya itu saja tahunya. Ah, 'I love you' juga tahu, ding.     "Apaan WHAT-WHAT? Lo nggak setuju sama rencana gue?"     "Bukannya gitu. Tapi apa lo yakin? Lo nggak takut ditolak?"     "Nggak, lah," jawab Theo mantap. "Meskipun ditolak, seenggaknya Bu Alila udah tahu tentang perasaan gue. Dia pasti akan berhenti memperlakukan gue sebagai calon adek ipar lagi. Dan gue akan segera terbebas dari kakak-adek ipar zone yang pedih itu!"     "Iya kalo dia bakal tetep baik setelah lo konpes, gimana kalo dia jadi ngerasa nggak nyaman sama lo? Terus malah menghindar?"     Theo terdiam. Benar juga apa yang dikatakan Chico. Lalu ia harus bagaimana?     Theo menggeleng. Ia harus optimis. Bu Alila itu wanita dewasa. Ia tidak akan menghindar hanya karena sudah menolak Theo.     "Nggak. Gue udah mantep. Gue mau jujur ke Mbak lo bahwa gue cinta sama dia. Keputusan ini nggak bisa diganggu gugat!"     "Yaudah, karena lo yakin, gue nggak bisa apa-apa lagi selain setuju. Semangat ya, Mas Bro!"     "Sip! Tapi gue butuh bantuan lo buat jalanin rencana confess ini."     "Rencana apaan?"     Theo memberi kode pada Chico untuk mendekat. Theo kemudian membisikkan rencananya. Mereka terlalu asyik bicara berdua, sampai tak sadar bahwa ada beberapa anak yang melihat aktivitas mereka, dari posisi yang salah.     Dari sini, Theo dan Chico terlihat sedang ... berciuman?     Theo akhirnya selesai membisikkan rencananya. Setelah itu mereka bersalaman, tanda rencana sudah disetujui kedua belah pihak. Kemudian mereka memutuskan untuk kembali pada tempat di mana mereka seharusnya berada, sebagai Asisten Penjaga Perpustakaan.     Tapi mereka merasa terganggu, karena gerombolan anak-anak itu berbisik-bisik sambil menatap mereka berdua. Tatapan itu ... benar-benar terlihat menghakimi.     "Kenapa, sih, kalian?" Theo yang bertanya.     "Ya Allah, innalillahi, dunia udah mau kiamat," jawab salah satu dari mereka.     "Kiamat gimana?" Chico kali ini. "Dajjal udah muncul? Di mana?"     "Astaghfirullah ... astaghfirullah!" mereka malah beristighfar bersama-sama. Theo dan Chico jadi semakin bingung.     "Gue nggak nyangka kalo kalian kayak gitu," celetuk salah seorang dari mereka.     "Gue juga nggak nyangka. Pantesan kalian mendadak deket. Ternyata ini sebabnya."     "Sebab apaan, sih?" Theo sudah tidak tahan lagi. Ia emosi sendiri.     "Sabar, Mas Bro!" Chico merangkulnya, mengelus-ngelus pundaknya.     Melihat hal itu, gerombolan anak-anak semakin heboh. Chico terang-terangan sekali menunjukkan perasaannya di depan orang sebanyak ini.     "ASTAGHFIRULLAH!" Mereka istighfar sekali lagi dengan volume suara dua kali lipat. Penjaga Perpustakaan di ujung sana mulai terganggu dengan aksi anak-anak ini.     Sementara Penjaga Perpustakaan berjalan ke mari, anak-anak itu melanjutkan penghakiman mereka pada Theo dan Chico secara bergantian.     "Sayang banget, cogan jaman sekarang, sukanya sama cogan juga. Serem!"     "Mana udah berani kiss di tempat umum!"     "Kalian nggak takut masuk neraka apa?"     "Nanti di akhirat kalian dipukulin malaikat, lho!"     "Siksa kubur kalian pasti juga berat!"     Theo dan Chico benar-benar kebingungan. Mereka butuh penjelasan yang konkret. Mereka benar-benar tidak bisa menangkap maksud dari tuduhan-tuduhan, sumpah serapah, serta ancaman yang mereka lontarkan.     "Ada apa ini?" tanya Penjaga Perpustakaan begitu sampai di sini.     "Ini, Pak, Theo sama Chico!" Si Murid yang bicara itu terlihat seperti mau menangis. "Ternyata mereka homo!"     "APA?" teriak Theo dan Chico bersamaan. *** TBC   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD