Keheningan perjalanan pulang berakhir, kala Yas akhirnya membuka suara. "Kalian nanti jangan ngomong apa-apa sama Oom Junot, ya!"
"Kenapa?" Elang langsung menimpali.
"Ya ...." Yas bingung harus menjawab apa. "Pokoknya Mas minta tolong, jangan kasih tahu mereka!"
Lama-lama Elang jengah dengan sikap Yas yang seperti ini. Ia tahu, sebab Yas meminta untuk tidak memberi tahu keluarga Oom Junot, adalah karena tidak ingin kembali merepotkan mereka.
"Bukannya percuma? Kita nggak bilang sekarang, tapi cepat atau lambat, mereka bakal tahu. Jadi, lebih baik kita kasih tahu mereka sekarang. Mereka pasti bakal kecewa kalo tahunya belakangan. Apalagi kalo sampek tahu dari orang lain."
Yas tak segera menjawab. Semua yang dikatakan oleh Elang, adalah benar. Tak ada yang salah. Tapi ... selama ini mereka sekeluarga sudah terlalu banyak menyusahkan. Jika saat ini Oom Junot tahu, pasti ia akan segera menyiapkan banyak hal untuk Yas. Yas tak mau itu terjadi. Keluarga itu memiliki kehidupan mereka sendiri. Bukan hanya melulu mengurusi Yas dan adik-adiknya.
"Mas akan bilang ke mereka, tapi nggak sekarang. Mas perlu waktu. Besok Mas akan tetap berangkat pagi sama kalian seperti biasa, seolah-olah Mas berangkat ngajar. Nanti Mas turunin kalian di sekolah, setelah itu Mas akan keluar, cari kerja."
"Tapi, Yas ...." Elang masih berusaha membuat Yas berubah pikiran. "Yo, lo jangan diem aja!" Elang memukul lengan Theo. Anak itu sedari tadi hanya diam, menatap ke keluar jendela. Tak membantu Elang sama sekali.
Barulah setelah Elang memukulnya, ia mau bicara. "Yas udah mutusin gitu. Berarti ... yaudah!"
"Tapi, Yo, keputusan dia nggak baik. Mereka itu keluarga kita. Mereka harus tahu!"
"Yas udah bilang, dia bakal kasih tahu mereka, tapi nggak sekarang. Bayangin kalo seandainya lo ada di posisi Yas. Lo pasti juga nggak enak mau bilang."
Elang tak menjawab lagi. Bukan karena menyerah atau merasa kalah. Ia hanya merasa aneh. Orang yang baru saja bicara padanya, apa benar itu Theo? Kenapa ia mendadak jadi bijak begini?
Dan lihatlah, Theo sudah kembali menatap keluar jendela. Dari raut wajahnya terlihat bahwa ia sedang memikirkan banyak hal. Entah mengapa, Elang jadi merasa bahwa saat ini Theo juga sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka semua. Akhir-akhir ini adiknya itu memang bersikap aneh, kan?
Mendadak perasaan tak enak itu datang lagi. Perasaan tak enak yang sama, seperti yang ia rasakan saat Theo sakit waktu itu.
***
"Tanggal 21 Maret 2005, Pak Mahmud menjual kursi kayu dengan harga lima juta rupiah. Lima puluh persen dibayar tunai, sisanya dibayar bulan berikutnya. Bagaimana jurnalnya?" Theo membaca soal dengan suara berbisik.
Theo adalah tipe orang yang auditori. Ia bisa memahami sebuah pernyataan dengan mudah, setelah membacanya dengan bersuara. Jika hanya membaca dalam hati, ia akan kesulitan.
Saat ini Theo sedang dalam posisi setengah berbaring di ranjang. Punggungnya menyandar pada tumpukan bantal yang ia sandarkan di dinding. Laptop yang berisi kumpulan soal, ia pangku. Buku diktat akuntansi sebagai pedoman, ia letakkan di sebelah laptop. Sedangkan tangan kanannya sibuk mencatat jawaban di buku besar.
Alasan kenapa Theo tak bisa leluasa membaca nyaring dan harus berbisik-bisik adalah, karena Elang sudah tidur di kasurnya sana. Suara dengkurannya sungguh stereo. Elang sepertinya balas dendam. Malam sebelumnya ia tidak tidur sama sekali sampai pagi, karena terlalu banyak memikirkan masalah yang sedang disembunyikan oleh Yas.
Jika Theo bersikeras ingin membaca dengan suara nyaring, akan sangat berisiko. Si Kakak Perawan pasti akan terganggu tidurnya. Sehingga ia akan murka, dan meneriaki adiknya yang malang ini. Berteriak-teriak dan mengatai seenak jidatnya, seperti kuntilanak mau beranak.
Theo berhenti membaca saat Elang tiba-tiba menggeliat. Bibirnya menggumamkan rintihan dan desahan tidak jelas. Mimpi apa coba? Mimpi jorok pasti. Sedang nganu dengan Luna misalnya.
Theo bahkan menahan napas saat Elang tiba-tiba bangun dan duduk. Theo menyembunyikan dirinya di bawah selimut, pura-pura tidur. Pokoknya ia tidak mau Elang marah-marah padanya. Lebih baik cari aman saja.
Meskipun percobaan sembunyinya itu jelas salah kaprah. Mana ada orang tidur dengan laptop di pangkuan, dan juga buku-buku yang masih berserakan di mana-mana? Terlebih lagi, laptop ini masih menyala. Dan yang lebih parah, Theo lupa tidak menutupnya sebelum pura-pura tidur tadi.
Sebelah matanya terbuka sedikit, untuk mengintip.
Nyatanya Elang sama sekali tidak menoleh pada Theo. Ia langsung turun dari kasur dan berlari keluar. Oh, jadi ia kebelet pipis. Aish ... percuma saja Theo pura-pura tidur begini. Theo segera kembali ke posisi semula dan melanjutkan aktivitasnya.
Fyi, di kamar baru mereka ini memang tidak ada kamar mandi dalamnya. Kalau mendadak ada panggilan alam, ya harus berlari keluar.
Saat Elang kembali, ia akhirnya sadar bahwa adiknya belum tidur. "Serius banget lo! Tumben belajar sampek semalem ini?" Elang mendekatinya. "Eh, ralat! Salah kaprah pertanyaan gue. Maksudnya, tumben lo belajar!"
"Taik, lo!"
"Oalah, Akuntansi!" seru Elang. "Ya jelas aja!" lanjutnya dengan nama menggoda.
"Apaan sih lo? Tidur sono, ganggu aja!"
"Ehem-ehem!"
"Lang!"
"Ehem!"
"LANG!" bentak Theo. Matanya melotot, sudah seperti mau copot.
Perhatian Theo teralih pada sesuatu di wajah Elang, yang tadi luput dari penglihatannya. Ia bergidik, merasa jijik. "Iler lo, masyaallah!"
Elang segera meraba sudut bibirnya, memang ada yang mengering di sana. Salah satu kebiasaan buruknya saat tidur, yang entah kapan akan hilang. Tapi sepertinya sekarang ia sudah legowo menerima kekurangan ini. Semua manusia punya kekurangan. Cogan juga manusia, jadi wajar kalau punya kekurangan juga.
Elang membersihkan air liur yang mengering itu dengan kukunya. Setelah bersih, Elang mengangkat telunjuknya ke udara. Bibirnya melengkungkan sebuah senyuman nakal. Matanya menatap Theo, dengan alis yang sengaja dinaik turunkan.
"Wanjeeeeeeeeerrrr, mau ngapain lo?" Theo segera memojokkan dirinya di sudut tempat tidur.
Elang malah tertawa. Ia semakin mendekat, ikut naik ke kasur Theo, dan menyentuhkan telunjuknya ke pipi Theo.
"ASYEEEEEEMMMMM ALASSSSS! SYAITOOOOOOOOON!" Theo berteriak-teriak. Rasa marah, geli, jijik, kesal, muntab, murka, dan kawan-kawannya, semua melebur menjadi satu.
Elang semakin keras tertawa. Ia turun dari ranjang Theo, kembali berbaring di ranjangnya sendiri. Tapi ia tak berniat melanjutkan tidur. Justru melanjutkan menggoda adik kembarnya.
Sedangkan Theo, ia fokus membersihkan sisa 'najis mughaladah' yang baru saja mencemari pipinya.
"Meskipun lo udah belajar Ekonomi sama Akuntansi, tapi percuma! Bu Alila udah terlanjur cinta sama Yas. Nggak akan berpaling ke lo."
"Kalo ngomong dijaga ya!" Perlahan Theo kembali pada posisi semula. Melanjutkan mengerjakan kumpulan soal-soal latihan yang masih banyak. Ulangan Akuntansi besok, ia tidak boleh gagal. Nilainya harus tetap sempurna seperti yang sudah-sudah.
Theo memang menaruh perhatian khusus untuk pelajaran Ekonomi dan Akuntansi. Kenapa? Tentu saja karena guru dari dua mata pelajaran itu adalah Bu Alila.
Ia ingin menunjukkan pada pujaan hatinya, bahwa ia tak seburuk yang orang-orang pikirkan selama ini. Ia juga punya otak yang encer seperti Elang. Hanya saja selama ini ia terlalu malas belajar, makanya nilainya jelek-jelek.
Andai saja Theo mau belajar di semua mata pelajaran, ia akan menjadi bintang kelas juga seperti Elang. Tapi ia tak ingin Elang sakit hati karena disaingi. Ia memilih untuk mengalah saja. Kurang mulia bagaimana hati si Theo ini?
Theo selalu rajin mempelajari kedua mata pelajaran kesukaannya itu. Meskipun sebenarnya ia tak terlalu suka menghitung. Benar-benar tidak suka. Tapi demi Bu Alila, apa sih yang tidak?
Toh semua itu tidak sia-sia. Bu Alila selalu memujinya karena nilai-nilainya dalam Ekonomi dan Akuntansi selalu bagus, bahkan mampu mengungguli teman-temannya yang lain. Semua pujian itu tak pernah gagal membuat Theo mabuk kepayang.
Dan bukan hanya Theo saja yang senang di sini. Bu Alila juga. Karena ia merasa berhasil mengajar murid-muridnya dengan model, metode, dan media pembelajaran yang ia terapkan. Bahkan murid seperti Theo bisa mudeng dengan cara mengajarnya. Hal itu tentu menciptakan sebuah kebanggaan tersendiri.
"Kita udah sepakat bersaing secara sehat. Jadi stop ngehina gue kayak gitu! Ngerti?"
"Bukan ngehina, itu kenyataan. Meskipun pahit dan keras, ya harus tetep diterima dengan lapang d**a, Adekku!"
"No, Kakak, no! Gue bakal buktiin, kalo Bu Alila bisa berpaling ke gue. Tunggu aja tanggal mainnya!"
***
Bu Alila menyusun lembar jawaban ulangan harian menjadi tumpukan yang rapi. Ia kemudian memasukkannya dalam sebuah map. Di depannya terdapat tumpukan buku besar berisi tugas Akuntansi anak-anak di kelas ini.
"Marwan, bantuin saya bawa buku besar ke kantor, ya!" pintanya seraya menyangklong tas hitamnya.
"Siap, Bu Al!" Marwan sudah hendak berdiri.
"Biar saya aja, Bu!"
Interupsi itu sukses membuat Marwan menghentikan aktivitasnya. Ia dengan pasrah kembali duduk di bangkunya. Murid-murid lain tertawa. Memang selalu seperti ini. Siapapun yang disuruh oleh Bu Alila, pada akhirnya tetap Theo yang akan membawakan barang-barang guru mini itu ke kantor.
"Kamu, tuh, ya! Tetep aja! Gantian yang lain, nanti saya dimarahin Pak Yas gara-gara nyuruh kamu terus. Padahal, kan, sebenarnya saya nggak nyuruh!" Ekspresi Bu Alila terlihat aneh saat menyebutkan nama Yas. Mungkin ia baru ingat bahwa mulai hari ini, tak ada Yas lagi di sekolah. Sebuah kenyataan yang membuat hatinya sedih.
Masa lalu Yas memang berkonotasi negatif. Tapi kenyataan yang sebenarnya, sungguh di luar dugaan pemikiran mereka. Meskipun begitu, anggapan mereka juga tak bisa disalahkan sepenuhnya. Bekerja di club dan memiliki anak di luar nikah. Dua hal yang memang tidak bisa dibenarkan. Persoalan ini sulit dan rumit. Ditambah profesi Yas sebagai seorang guru. Seorang pendidik.
Jangankan dari tingkah laku. Dari segi penampilan luar saja, guru yang berpakaian kurang rapi, pasti akan menjadi sorotan.
"Dia guru, tapi kok penampilannya acakadut begitu!"
"Guru kok penampilannya nggak berpendidikan!"
"Guru kok nggak bisa jaga sikap!"
Dari kesalahan-kesalahan sepele itu saja, masyarakat sudah memberi berbagai komentar nyinyir. Jadi bagaimana dengan masa lalu Yas yang sama sekali tidak sepele itu? Seorang pendidik memang harus menjaga semua hal tentang dirinya. Penampilan, sikap, cara bicara, semuanya.
Setelah tahu cerita yang sebenarnya di balik masa lalu Yas, para guru ikut menyesalkan tentang hukuman yang harus diterima olehnya. Toh masa lalu yang berat itu, sama sekali bukan pilihan. Yas juga pasti tak mau menjalani kehidupan yang seperti itu.
Tapi di sisi lain, mereka juga tak bisa menyalahkan Pak Sunyoto dengan keputusannya. Beliau adalah orang yang bijaksana. Jadi keputusan ini tak mungkin diambil tanpa pertimbangan yang matang.
Stigma masyarakat memang cenderung menghakimi. Namun tak bisa dipungkiri bahwa pengaruhnya sangat besar. Jika rumor itu benar-benar menyebar di masyarakat secara luas, bisa-bisa jumlah murid yang mereka terima akan menurun drastis di tahun ajaran berikutnya. Masyarakat akan kehilangan kepercayaannya pada sekolah ini.
Maka dari itu, Pak Sunyoto meminta Yas untuk berhenti mengajar sementara, dalam batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Setidaknya sampai rumor itu benar-benar mereda.
Mereka saat ini juga sedang berusaha memberi pengertian pada semua murid. Meminta mereka untuk sebisa mungkin, tak menyebarkan berita ini ke luar. Meskipun sepertinya mustahil, tapi tak pernah ada yang salah dari sebuah usaha, bukan?
***
TBC