Baik Theo ataupun Elang, keduanya masih terjaga. Mereka sudah berbaring di ranjang masing-masing, tapi masih belum tertidur.
Malam terasa amat panjang. Yas sudah pulang dari pabrik, sekitar dua jam yang lalu. Dan Namira sudah berhenti menangis, sekitar satu jam yang lalu. Tapi ketenangan, bukan jaminan bahwa si kembar akan bisa tertidur dengan cepat.
Lagipula siapa juga yang bisa tidur dengan mudah, dengan sebuah pertanyaan yang belum jelas apa jawabannya?
Kalau boleh jujur, saat ini Theo sudah sangat mengantuk. Ia ingin segera tidur. Tapi Elang terus-menerus bicara, melarang keras dirinya memejamkan mata, sampai rapat yang mereka lakukan, mencapai kata mufakat.
"Lo kenapa nggak coba tanya si Chico aja, sih? Skors-nya, kan, udah kelar dari tiga hari yang lalu?" Si Kakak kembali bertanya. Uhm ... lebih mirip menghakimi, sih, sebenarnya.
"Ini jam berapa? Lo nyuruh gue ganggu tidur anak orang malem-malem?" Si Adik tak mau kalah.
"Ya ... lo seharusnya tanya dari tadi sore. Inisiatif, dong! Peka! Emang lo beneran bego, ya, ternyata!" Elang semakin menjadi-jadi.
"Whatever!" Rasa kesal Theo sudah mencapai ubun-ubun. Tapi ia memilih untuk diam.
Percuma juga ditanggapi. 'Si Anak Perawan' akan tetap memiliki jawaban yang memojokkan. Buang-buang tenaga saja!
"Yaudah, toh besok skors kita udah kelar. Gue bakal segera cari tahu apa masalahnya. Masalah yang bikin mukanya Yas kelihatan susah banget. Duh ... melas banget deh pokoknya!"
"Hooh," jawab Theo, singkat, padat, dan sedikit tidak jelas. Karena rasa mengantuk yang luar biasa, perlahan benar-benar menenggelamkan kesadarannya.
"YO!" seru Elang. Ia masih bersikeras melarang Theo tertidur. Sayang sekali, kemauannya tak bisa menjadi kenyataan kali ini.
Suara dengkuran halus itu menandakan, bahwa Theo benar-benar sudah tenggelam dalam alam mimpi. Menyisakan Elang sendiri, dalam keadaan marah, kesal, dan ... adrenalinnya terlanjur terpacu, karena terlalu banyak berpikir dan berspekulasi tentang masalah Yas.
Yang otomatis, membuat dirinya belum merasakan kantuk sama sekali.
'Sialan!' umpatnya dalam hati.
***
Semua pasang mata menatap mereka aneh. Entah itu guru, murid, pegawai, semuanya sama. Tatapan-tatapan menghakimi yang sama sekali tak enak dilihat. Menciptakan perasaan tak nyaman yang luar biasa.
Yas seakan menuntun mereka berdua untuk berjalan lebih cepat. Dibandingkan si Kembar, pasti rasa tak nyaman yang Yas rasakan, jauh lebih besar. Karena tatapan tak mengenakan dan menghakimi itu, pasti ada hubungannya dengan masalah yang sedang ia tutupi.
Luna menyambut Elang dengan senyuman. Gadis itu tak pernah berubah. Tak peduli Elang berulah, sampai di-skors, dan saat semua orang menghakiminya karena alasan yang belum jelas seperti ini. Luna masih memperlakukannya dengan begitu baik. Seakan tak terjadi apapun.
"Lun, aku boleh tanya?" Elang langsung pada intinya.
Luna masih berusaha mempertahankan senyumannya, namun senyuman itu jadi terlihat aneh, karena tidak tulus dari hati. Ia prihatin dengan musibah bertubi-tubi, yang harus diterima oleh keluarga orang yang dicintainya.
Luna mengangguk, sudah mengerti dengan arah pembicaraan Elang. Gadis itu menggamit lengan Elang, mengajaknya untuk duduk di bangku panjang.
"Kemarin mendadak aja rumor nggak jelas. Nggak tahu sumbernya dari mana. Tapi semua orang sepertinya percaya sama rumor itu. Kasihan Pak Yas."
"Rumor? Rumor apa?"
Sementara di koridor sepanjang deretan jelas IPS. Theo berjalan cepat menuju ke kelas Chico. Theo hampir terjungkal karena kaget, saat seseorang tiba-tiba muncul dari balik pintu toilet laki-laki. Seseorang itu menarik tangan Theo begitu saja. Theo menjadi tenang setelah tahu orang itu adalah Chico.
Mereka akhirnya berhenti di basecamp. "Gue harap rumor itu bakal segera berakhir. Bener-bener, deh! Kenapa semua orang gampang banget percaya sama rumor?"
"Rumor apaan?" Theo bingung sendiri dibuatnya. Tapi pasti ini ada hubungannya dengan masalah yang sedang menimpa Yas.
"Kemarin tiba-tiba semua orang ngomongin masalah ini, Yo. Mereka ...." Belum selesai Chico bicara, namun fokus mereka berdua sudah terlanjur teralih pada Elang dan Luna, yang sedang berlari menuju ke ruang Kepala Sekolah. Elang sepertinya sudah lebih dulu mendengar tentang detail masalah ini dari Luna.
Theo dan Chico memutuskan untuk mengikuti Elang dan Luna saja.
Mereka semua sebenarnya ingin masuk. Mereka ingin bicara pada Kepala Sekolah, dan menjelaskan masalah yang sebenarnya. Tapi mereka mengurungkan niat, begitu melihat bahwa ternyata Yas sudah berada di dalam sana. Duduk berhadapan dengan Pak Sunyoto.
Mereka berempat mengintip dari balik jendela. Berusaha sebisa mungkin supaya tidak ketahuan.
"Begini, Pak Yas, tentang rumor yang menyebar ... apakah itu benar?" Pak Sunyoto bertanya pelan dan lirih.
Yas menunduk dalam. Tak tahu harus menjawab apa. Tapi sepertinya jujur di awal, memang jauh lebih baik.
"Rumor tersebut benar." Yas memberi jeda. "Tapi kenyataan yang sebenarnya, tidak seburuk anggapan orang-orang, Pak."
"Bisa anda jelaskan bagaimana maksudnya?"
"Ya, saya memang memiliki seorang anak di luar nikah. Dan juga benar, bahwa saya memang pernah bekerja di club." Yas tak serta merta meneruskan. Ia menunggu reaksi dari Pak Sunyoto terlebih dahulu.
"Lalu?"
"Ceritanya agak panjang, Pak. Tentang saya bekerja di club, saya melakukannya saat masih semester awal. Waktu itu, sebelumnya saya kerja serabutan. Tapi begitu mulai kuliah, semua pekerjaan serabutan itu, seakan tak cukup lagi untuk bertahan hidup dan biaya kuliah. Jadi, saya terpaksa menerima tawaran bekerja di club, karena gajinya yang besar. Lagipula, saya di sana hanya sebagai host."
"Apa itu host?"
"Jasa menemani pelanggan, hanya sekadar menemani ngobrol." Yas memberikan penekanan khusus supaya Pak Sunyoto benar-benar mengerti dan tidak salah paham.
"Lalu bagaimana dengan anak anda?" Pak Sunyoto terlihat berpikir, berusaha menyusun kata-kata yang baik. "Oke-oke, gini, seperti yang Pak Yas ketahui, bahwa kami para guru dan para staf sekolah, sejak awal sudah tahu tentang adik-adik dan anak perempuan anda. Kami juga tahu fakta bahwa anda adalah seorang single parent. Tapi kami tak pernah tahu jika anak itu adalah hasil hubungan di luar nikah."
"Singkat cerita, saya memiliki Nami bersama dengan wanita yang saya cintai. Dan kami memang belum menikah. Tapi bukan berarti saya tidak berniat menikahinya. Saya ingin. Sangat ingin. Tapi dia pergi, entah di mana sekarang."
Pak Sunyoto menghela napas. Sulit rasanya memberi keputusan. Ia dilema. Di satu sisi, ia harus menjaga kepercayaan dan perasaan salah satu guru. Tapi di sisi lain, ia juga berkewajiban menjaga nama baik sekolah.
Jika dibiarkan, rumor akan semakin menyebar sampai ke luar sekolah, dan akibatnya pasti akan sangat fatal.
"Pak Yas, anda pasti tahu bahwa keputusan yang akan saya buat ini sangat sulit, bukan?"
"Ya." Detak jantung Yas memburu di dalam sana.
"Maafkan saya, maaf sekali. Mungkin ini tidak adil untuk anda, tapi saya juga harus menjalankan kewajiban saya. Saya harap, Pak Yas mengerti."
"Apapun keputusan Bapak, saya percaya, bahwa itu adalah yang terbaik. Jadi jangan khawatir, saya akan menerimanya, meskipun itu sulit."
Theo, Elang, Chico dan Luna masih bertahan pada posisi mereka. Menajamkan pendengaran masing-masing, bersiap untuk mendengar keputusan macam apa yang akan diambil oleh Pak Sunyoto.
***
Akhirnya Dokter Bianca datang, setelah hampir dua jam penantian Dion. Dion harap-harap cemas sepanjang proses menunggu tadi. Dalam sebuah ruangan gelap nan pengap. Sebuah gudang penyimpanan, yang jarang dijamah oleh orang-orang di mansion.
Tempat ini juga aman dari jangkauan kamera CCTV, itu pula yang menjadi sebab Dion memilihnya.
"Dion, saya hanya datang karena takut kamu masih menunggu. Dan ternyata benar. Maafkan saya, Dion. Apapun rencana kamu, saya tidak akan ikut. Saya permisi." Dokter Bianca berbalik, Dion meraih dan menggenggam pergelangan tangannya. Mencegahnya untuk pergi.
"Dengerin dulu, Dok! Jika rencana ini berhasil, kita semua bisa membalas dendam pada Zidan."
Pernyataan dari Dion itu berhasil membuat Dokter Bianca kembali berbalik. Untuk beberapa saat lamanya mereka saling bertatapan. Sorot mata keduanya, sulit untuk diartikan.
"Dion, saya tahu kamu kesal karena perlakuan Zidan waktu itu. Tapi sudahlah. Nggak ada gunanya kamu memberontak. Saya takut, jika kamu berakhir seperti ...."
"Nggak akan!" sela Dion. "Jadi Dokter berpikir bahwa aku ngelakuin ini semua hanya karena dipukuli oleh Zidan waktu itu?" Dion terkekeh. "Pikiran Dokter terlalu naïf. Tidakkah Dokter berpikir, bahwa aku memang sengaja datang ke sini untuk melakukan sebuah pembalasan dendam?"
Dokter Bianca terkesiap. Terkejut dengan pengakuan yang baru saja Dion lakukan.
Tapi kenyataan macam apa yang membuat anak muda sepertinya menyimpan sebuah dendam yang begitu besar pada seorang Zidan?
Sementara orang awam di luar sana, kebanyakan menganggap Zidan sebagai orang baik. Semuanya mengelu-elukan Zidan, menganggap dirinya sebagai malaikat penolong, yang senantiasa meringankan beban hidup mereka.
Jadi apakah kedatangan dan ajakan Dion ini bisa ia jadikan sebagai opsi baru? Bisa jadi Dion memanglah jalan keluar yang dikirim oleh Tuhan untuknya.
***
TBC