Setelah persidangan itu, Yas tak pernah sama lagi. Ia selalu terlihat murung. Ingin rasanya ia melepas segala beban pikiran itu. Tapi otaknya seakan tak mau bekerja sama. Didukung oleh suasana hatinya. Bayangan masalah itu seperti kaset yang diputar terus secara otomatis.
Kerap kali ia berupaya terlihat baik-baik saja. Selalu tersenyum untuk mereka. Ya, sebuah senyuman palsu.
Ia hanya benar-benar tersenyum saat memiliki kesempatan bercengkerama dengan putrinya seperti ini. Namira menanggapi celotehannya, seakan anak itu mengerti. Seakan ia menjawab, meskipun hanya berupa gumaman tidak jelas. Yas paling suka kala Namira berakhir tertawa lepas, sampai bersuara keras.
Tawa itu benar-benar mirip dengannya. Apa kabar ia sekarang? Entah di mana keberadaannya. Yas hanya berharap, ia juga merasakan apa yang ia rasakan. Ia berharap, suatu saat mereka dapat bersatu kembali, memulai dari awal, membangun sebuah keluarga yang bahagia.
Yas memang tak pernah sama lagi. Dengan senyuman palsunya, ia pikir, ia bisa mengelabuhi semua orang. Ia pikir ia sudah berhasil meyakinkan mereka, bahwa ia baik-baik saja. Yas terlalu naïf. Pada kenyataannya, mereka semua tahu bahwa ia hanya bersembunyi di balik topeng.
Yas memang tak pernah sama lagi. Ya, ia selalu terlihat murung. Tapi yang terjadi malam ini, ia menjadi jauh lebih murung dari pada biasanya.
"Yas, makan malem udah siap!" seru Elang dari balik pintu. Ia tidak berani membukanya, masih trauma dengan kejadian tempo hari. Meskipun sekarang sudah tak ada Bu Alila. Tapi, kan, tetap saja.
"Iya," jawab Yas.
"Kata Tante Keke, kalo Nami nggak lagi tidur, suruh bawa ke bawah, mau dia suapin sekalian." Elang masih bicara dari balik pintu.
"Iya," jawab Yas lagi.
Mereka semua menunggu di ruang makan, tanpa Oom Junot karena ia masih di pabrik. Mereka menatap Yas berjalan menuruni tangga, membawa Namira dalam gendongannya.
Tante Keke menyambut Namira dengan uluran tangan, perlahan meletakkannya di atas pangkuan. "Malem ini bubur kamu spesial pakek telor ya, Sayang. Nggak pakek hati ayam kayak biasanya. Soalnya hati ayamnya habis, sih! Dan Grandma nggak tahu, jadi belum belanja, hehe." Tante Keke menyuapkan bubur berwana hijau segar itu. Campuran nasi, bayam dan juga telur ayam rebus, yang di-blender sampai halus.
"Theo makannya yang banyak, biar sehat! Kayak Elang, tuh!" Perhatian Tante Keke beralih pada keponakan-keponakannya. "Masak porsi makan kamu, kalah sama Jojo juga!"
Tante Keke membandingkan porsi makan Bjorka dengan Theo yang memang beda jauh sekarang. Semenjak sakit yang terakhir, nafsu makan Theo mengalami penurunan drastis.
"Yas, kamu juga makan yang banyak!"
"Iya, Tan."
Tante Keke menelisik segala bahasa tubuh dan ekspresi wajah Yas malam ini. Well, wanita itu memang bukan seorang ahli membaca gerakan tubuh dan ekspresi wajah. Tapi semua itu dapat dilihat dan dirasakan.
"Kenapa? Apa ada masalah di sekolah?" tanyanya kemudian.
Yas seakan semakin sulit menelan makanannya. Karena pertanyaan dari Tante Keke yang begitu tepat sasaran.
Yas menatap tantenya itu, ia kemudian menatap Theo dan Elang bergantian, mereka seakan juga tengah menunggu jawaban darinya.
Memang benar begitu adanya, karena sekali lagi, semua dapat dilihat dan dapat dirasakan. Mereka pun tahu ada yang tidak beres dengan Yas hari ini, dan hal itu pasti terjadi saat di sekolah tadi.
"Ada masalah kecil." Yas terlihat ragu-ragu. "Tapi bukan apa-apa, kok. Bukan masalah yang serius."
Mereka kemudian melanjutakan makan, tak ada yang ingin menuntut jawaban lebih dari Yas. Meskipun mereka sama-sama masih bertanya-tanya.
Jika bukan masalah yang serius, lalu kenapa Yas bisa jadi semurung ini?
***
Yas mengetuk pintu di hadapannya. Menunggu hingga seseorang di dalam sana akhirnya mempersilakan masuk. Yas terkikik melihat tampang suram dan rambut amburadul pemilik ruangan.
"Kenapa, Pak Manajer?" goda Yas seraya menyerahkan beberapa dokumen dari Divisi Produksi yang baru selesai ia kerjakan.
"Jangan ngeledek gitu, Yas. Pusing gue tuh," keluh Lintang. "Mau mbledos rasanya ini otak."
"Kenapa lagi emangnya?"
"Biasa, laporannya anak-anak pada nggak memenuhi target semua. Bisa disembur lagi sama Pak Junot gue."
"Sabar! Si Oom emang gitu orangnya. Kalo urusan pabrik, perfectsionist banget. Tapi aslinya, kan, baik. Dan lo udah tahu fakta itu."
Lintang hanya mengiyakan pernyataan Yas dengan malas. Kemudian ia kembali menghadap pada komputer, melihat kembali semua hasil setoran anak-anak pemasaran, yang dengan sukses membuatnya pusing tujuh keliling.
Semenjak akhirnya diangkat sebagai Manajer Pemasaran yang baru, Lintang memang berubah menjadi seperti ini. Tampang dan rambutnya selalu terlihat acak-acakan, matanya cekung, dan muncul guratan keriput tipis pada garis senyumnya. Semua berkat warisan jabatan dari Pak Raharja.
Pada awalnya dulu Lintang kegirangan setengah mati. Karena pada akhirnya, impiannya untuk naik jabatan terwujud.
Tapi, setelah beberapa hari berjalan, Lintang baru menyadari bahwa ini semua tak semudah kelihatannya. Lintang sampai heran, bagaimana Pak Raharja bisa betah berada di posisi manajer ini selama puluhan tahun lamanya? Bahkan sampai pensiun.
"Tapi serius, deh. Tampang lo hari ini jauh lebih sesuatu dari pada biasanya." Yas melanjutkan pendapatnya. "Apa lagi ada masalah lain?"
Lintang tertawa mendengar pertanyaan Yas. "Jangan sok-sokan peduli gitu, deh! Tampang lo sendiri amburadul. Jadi, lo juga lagi dapet masalah apa kali ini?"
Ya, begitulah hubungan mereka setelah akhirnya berdamai dulu. Menjadi sepasang teman baik yang saling peduli satu sama lain.
Apalagi semenjak Lintang naik jabatan, mereka menjadi semakin dekat. Lintang semakin menyesal karena pernah membenci Yas perihal merebut jabatannya dulu. Sekarang ia bisa merasakan sendiri, bahwa berada di posisi manajer, sama sekali tidak mudah. Ini sangat berat. Amat sangat berat sekali.
Meskipun mereka beda divisi, otomatis yang dikerjakan pun berbeda. Tapi tetap saja kan, tugasnya sama-sama banyak dan pastinya sama-sama berat.
"Lo cerita dulu, gih! Lo, kan, lebih tua." Yas kembali menggoda Lintang. Sekadar informasi, Lintang memang lebih tua setahun darinya.
Lintang berdecak kesal, tapi akhirnya ia setuju juga. "Adek gue ... akhir-akhir ini dia jadi aneh. Ah, nggak akhir-akhir ini juga, sih. Semenjak dapet kerja dulu, dia selalu aneh."
"Aneh gimana?"
"Ya ... aneh. Kayak lagi nyembunyiin sesuatu gitu."
"Emang kalo boleh tahu, apa kerjaan adek lo?"
"Gue sendiri nggak terlalu tahu gimana detail kerjaannya, tapi dia semacam jadi pengawal gitu. Bahasa kerennya sih, bodyguard. Bos-nya super tajir, sampek ke mana-mana harus dikawal."
Yas terpaku mendengarnya. Pikirannya langsung tertuju pada Zidan. Orang kaya mana lagi di kota ini, yang ke mana-mana harus dikawal, selain si Zidan? Tapi Yas tak mau asal mengambil kesimpulan.
"Kalo lo, ada masalah apa?" tanya Lintang.
"Oh." Yas terlihat sedikit gelagapan. "Ng ... ada masalah di sekolah tadi. Ada berita nggak enak gitu tentang gue. Kayaknya bakal cepet berlalu, sih. Tapi tetep aja gue mikir."
Lintang menatap Yas lekat. Ia tak berani menanyakan berita macam apa yang membuat Yas sampai kepikiran.
Tapi jika memang benar berita itu akan cepat berlalu, Yas tak perlu repot-repot memikirkannya sampai seperti ini, bukan? Jadi, pasti Yas berbohong. Berita itu pasti bukan sesuatu yang akan cepat berlalu, seperti apa yang ia katakan.
Memang dasar si Yas, suka sekali memendam masalahnya sendiri. Lintang sudah berusaha terbuka selama ini, Yas pun juga begitu. Tapi tingkat keterbukaannya, tak sepadan dengan Lintang. Yas lebih banyak menyimpan rahasia. Tapi sekali lagi, Lintang tak bisa memaksa. Takut hal itu justru membuat Yas merasa tidak nyaman.
"Yaudah. Asal jangan dipikirin berlebihan, jangan sampek lo drop lagi kayak waktu itu!"
***
TBC