Menyebar Rumor

1830 Words
    Bu Alila dan Chico mengikuti Elang menaiki tangga. Mereka berhenti saat Elang membuka pintu salah satu kamar.     "Lhoh, kok berhenti! Ayo!" ajak Elang.     Bu Alila menajamkan penglihatannya, melihat dari celah pintu yang terbuka, Theo tertidur di dalam sana. "Jangan di kamar, deh! Ntar ganggu Theo, kasihan itu!"     "Duh, Mas Bro sakit apaan, sih?" Chico kali ini.     "Nggak apa-apa, nggak ganggu! Tadi Theo sendiri yang bilang, suruh di kamar ngerjainnya, biar dia bisa bantu juga!" Elang jujur karena tadi Theo memang mengatakannya.     Tiba-tiba terdengar suara tangisan dari pintu kamar sebelah.     "Lhoh, itu Nami?" tanya Bu Alila antusias. "Jadi sekarang Nami nggak dititipin lagi?"     "Ya gitu deh, mulai hari ini nggak."     "Saya ke kamarnya Nami dulu, ya? Pasti langsung berhenti nangis dia nanti!" Tanpa dipersilakan pun Bu Alila berlari menuju destinasinya.     "Hehe, maklumin, ya! Mbak gue emang agak ajaib!" Chico mewakili kakaknya meminta maaf.     "Udah kebal gue, mah. Be te we, lo masuk duluan aja, gue mau ngomong sama mbak-mbak di dapur, biar bikinin minum!" Elang bergerak menuruni tangga lagi.     "Oke!" Chico berjalan ke arah yang berlawanan.     Pelan-pelan ia memasuki kamar ini. Pelan-pelan pula ia mendekati Theo.     "Jangan lihatin gue kayak gitu!" ucap Theo masih dengan mata terpejam.     "Gue pikir lo tidur."     "Hehe, diapelin gebetan masak tidur? Mumpung Bu Alila lagi ngurusin Nami, lo bantuin gue bangun, dong!" pintanya. Perlahan matanya terbuka, sedikit dipaksakan memang. Meskipun ia harus mendapat sensasi berputar-putar yang tidak menyenangkan sama sekali.     "Yakin lo?"     "Hooh."     Chico mulai menarik Theo untuk bangun. Prihatin juga sebenarnya, karena Theo benar-benar terlihat tidak sehat.     "Pelan-pelan, Bego!"     "Ini juga udah pelan-pelan! Salah sendiri maksain diri, udah tahu lagi sakit!"     Tidak ada jawaban. Theo hanya menunduk berusaha membiasakan diri dalam posisi duduk seperti ini. Rasanya, luar biasa tak enak.     "Nyender ke sini, Bro!" Chico menepuk bantal yang ia sandarkan di dinding.     "Widih, the best, deh, lo pokoknya!" Theo benar-benar senang karena Chico mengerti sekali isi hatinya. Calon adik ipar yang baik.     "Bro, jangan-jangan lo sakit gara-gara dimarahin, terus dipukulin sama Pak Yas, ya?" Chico mengira kalau Yas itu sama dengan kakaknya.     "Sembarangan! Nggak, lah!" Dalam hati Theo justru berharap mendapatkan itu semua, meskipun kenyataannya tidak. "Emang lo dipukulin sama Bu Alila?" godanya.     "Beuh, bukan dipukul lagi, dibejek-bejek, ditabok, dicubit, dijambak, dan ... ditendang!" Chico meringis mengingat peristiwa nahas penendangan itunya. "Nih, lihat nih, bukti, gosong bekas cubitannya!" Chico menyibak kaosnya, menunjukkan pinggangnya yang memang gosong.     "Sadis juga, ya. Jangan-jangan nanti pas gue udah jadi suaminya, gue bakal dipukulin juga lagi!" Pikiran Theo menerawang jauh sekali, bisa jadi pengaruh sakitnya. "Tapi nggak apa-apa, sih. Asal yang mukul Bu Alila, gue rela!"     "Puhahahaha, gombal njiiiir! Tapi nggak, kok. Dia cuman keras sama gue. Kalo sama orang yang dia sayang, dia, tuh, baik. Baik banget malah. Pokoknya baik."     "Berati lo nggak disayang, dong?" Theo menimpalinya dengan candaan.     "Bukannya gitu! Gimana, ya ...?"     Rupanya Chico menanggapinya dengan serius, Theo akhirnya mendengarkan penjelasan Chico dengan serius juga.     "Mbak sering mukul gue karena terpengaruh sama cara didik almarhum Bapak. Bapak, tuh, orangnya keras. Masa kecil Mbak sering banget dipukul, nggak peduli dia anak cewek.     "Terus pas gue lahir, perlakuan Bapak beda banget, Bapak sayang sama gue dan nggak pernah main pukul. Jarak umur gue dan Mbak, kan, lumayan jauh, emang. Hampir sama kayak lo dan Pak Yas, kan?" Chico memastikan, Theo mengangguk.     "Waktu itu Bapak udah mulai sakit-sakitan, udah nggak bisa lagi main kasar, that's why, gue bebas dari segala kekerasan. Padahal gue anak cowok.     "Bisa dibilang Mbak semacem ... sakit hati, atau ... dendam mungkin? Karena perlakuan Bapak beda banget ke kita berdua. Dia kesel sama gue pasti, tapi nggak pernah nunjukkin, dia pendem sendiri. Meskipun begitu, gue bisa rasain lah kekesalan itu. Dan gue nggak bisa apa-apa kecuali berusaha ngertiin dia.     "Setelah Bapak meninggal, baru, deh. Mbak mulai menunjukkan perasaan yang sebenarnya. Dia mulai didik gue dengan cara yang sama, dengan cara Bapak didik dia dulu. Seandainya berada di posisi Mbak, gue pasti juga bakal ngelakuin hal yang sama. Mana ada orang yang nggak kesel saat diperlakukan nggak adil, apalagi sama orang tua sendiri. Tapi gue tahu kok, kalo Mbak sayang banget sama gue.     "Dan perlu lo catet, Yo, gue udah bilang kan tadi, bahwa Mbak bakal baik banget sama orang yang dia sayang. Itu terbukti nyata. Dia punya beberapa mantan. Duh, pokoknya jelek banget deh, kalo Mbak lagi jatuh cinta. Dia bakal lakuin apapun buat pacarnya, apa aja dikasih. Jadilah, pacarnya ngelunjak. Dia pernah dianiaya gitu. Makanya sekarang dia jadi kayak trauma, dia susah buat jatuh cinta lagi."     Seketika pikiran Theo menerawang pada saat dirinya dan Bu Alila berada di toko buku waktu itu. Bu Alila mengucapkan hal yang identik dengan apa yang diucapkan Chico barusan.     "Saya, tuh, susah jatuh cinta sama laki-laki. Mungkin karena saya sudah terlalu sering dikecewakan di masa lalu."     Theo tak pernah berpikir jika 'dikecewakan' yang ia maksud adalah hal yang seserius ini. Theo pikir, ia hanya dicampakan oleh mereka, tak sampai dianiaya atau hal yang mengandung kekerasan lainnya.     Theo merasa semakin ingin melindunginya. Namun di lain sisi, ia juga merasa, bahwa hal ini juga akan semakin berat untuknya.     Bu Alila yang mengalami trauma, yang sulit untuk jatuh cinta lagi, akhirnya menemukan tambatan hati baru--Yas. Lalu apakah masih mungkinkan bagi wanita itu untuk membuka hati lagi untuknya? Entahlah, ini rumit, sangat rumit. Apa sebaiknya ia menyerah saja?     "Gue kayaknya tahu apa yang lagi lo pikirin," celetuk Chico.     Theo tertawa, sebuah tawa yang tidak lepas. "Apaan emang yang gue pikirin?"     "Apapun yang lo pikirin, gue minta lo jangan nyerah!" ucap Chico tulus. "Gue tahu ini bakalan berat. Tapi gue udah milih lo, buat jadi pendamping hidup kakak gue. Gue tahu, Pak Yas orangnya baik, tapi gue lebih milih lo. Dan itu bukan tanpa alasan. Meskipun lo orangnya suka nggak jelas, tapi gue tahu kalo lo orangnya tulus. Bukan berarti Pak Yas nggak tulus lho, ya. Tapi nggak tahu kenapa, menurut gue, lo bakal lebih bisa nerima Mbak apa adanya.     "Gue ini penganut kutipan, 'Pilihlah orang yang mencintaimu, bukan orang yang kau cintai. Karena orang yang mencintaimu, memiliki kemungkinan lebih besar, untuk membahagiakanmu, dari pada orang yang kau cintai.' Lo tahu maksud gue kan, Bro?"     Kali ini Theo tersenyum, sebuah senyuman yang tulus. Jujur ia juga terharu dengan kata-kata Chico barusan.     "Dan ada satu lagi alasan yang perlu lo ketahui."     "Apaan?"     "Nasib cinta gue udah kandas setelah Bu Yulia nikah. Dan gue nggak mau, itu juga terjadi sama lo. Setidaknya harus ada penyandang Oedipus Complex di sekitar gue yang kisah cintanya berhasil, dan itu lo. Nggak tahu deh kita ini beneran Oedipus Complex atau nggak, tapi intinya gue tetep pengen hubungan lo sama Mbak berhasil."     "Bro!" Tampang Theo sudah seperti mau menangis.     "Bro!" Chico pun begitu.     Mereka akhirnya berpelukan dengan begitu eratnya.     Elang kembali membawa satu nampan berisi minuman dingin dan cemilan. Ia mendelik melihat Theo dan Chico yang sedang berpelukan mesra. Ia meletakkan nampannya di nakas. "Kalian cocok, lho! Udah kalian jadian aja! Biar Bu Alila sama Yas."     Dalam hitungan detik, Elang sukses mendapat lemparan kabel OTG dari Chico, karena hanya benda itu yang dekat dengan jangkauannya tadi. Kalau saja Theo dalam keadaan sehat, pasti ia melakukan hal yang sama. Enak saja bicara sembarangan. Padahal mereka kan baru saja bicara serius dari hati ke hati.     "Bercanda kali!" Elang mengelus-elus kening malangnya, meskipun kabel itu kecil, tapi sakit juga kalau kena bagian ujungnya yang keras.     "Tapi tetep, ya! Kita saingan secara sehat." Elang berkoar-koar. "Gue bantuin hubungan Yas sama Bu Alila, dan lo bantuin si kunyuk itu. Meskipun lo adeknya, tapi Bu Alila cintanya sama Yas, pasti bakal susah nyatuin si kunyuk sama Bu Alila." Elang tertawa setan.     Kemarin Elang kaget sekali saat tahu bahwa Chico adalah adiknya Bu Alila. Pantas saja, Theo dan Chico mendadak menjadi sangat dekat. Dan pantas saja, Theo tak pernah gentar meskipun Elang sudah melancarkan aksinya untuk mendekatkan Yas dengan Bu Alila. Rupa-rupanya, Theo memiliki cara yang lebih licik, dengan memperalat, ah, bukan memperalat, tapi bekerja sama. Iya, bekerja sama dengan adiknya Bu Alila.     Tapi Elang tak gentar. Ia percaya diri bahwa usahanya akan berhasil. Dan mereka akan kalah telak.     Theo dan Chico hanya saling bertatapan sengit, jengah dengan kelakuan Elang. Biar saja si Anak Perawan berkoar-koar, yang penting ia senang, dan hasil akhirnya, tetap mereka yang akan menang.     Dua kubu yang sama-sama kolot dan keras kepala!     "Ngomong-ngomong Mbak lo beneran luar biasa deh, Co." Elang mengganti topik pembicaraan. "Waktu itu di rumah lama, Nami langsung berhenti nangis pas disamperin sama dia, dan kali ini juga gitu. Padahal susah lho diemin Nami kalo lagi nangis. Nggak salah deh gue milih calon ibu buat si Tahu Bulat."     Theo dan Chico diam untuk menajamkan mendengarkan, dan ternyata benar, tangisan Namira memang sudah berakhir.     "Ya, itu emang bakat terpendam Mbak gue. Dia juga jago diemin ponakan-ponakan kita di kampung sana," jawab Chico.     "Gue penasaran deh, kira-kira caranya gimana ya? Bentar, biar gue lihat!" Elang menyelinap keluar kamar.     "Eh, Lang, Lang!" Chico berusaha mencegahnya, tapi terlambat.     Elang sudah terlanjur membuka pintu kamar Yas. Hanya dalam hitungan detik, Elang segera menutup pintu lagi, sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara. Ia beringsut mundur, napasnya memburu, matanya melirik Chico yang berdiri di ambang pintu kamarnya.     "Gue udah berusaha kasih tahu, lo malah nyelonong aja. Tapi lo nggak sempet lihat ...."     Belum selesai Chico bicara, Elang sudah menggeleng dengan cepat. Ia jujur, ia tidak bohong. Ia memang tidak sempat melihat apapun. Bu Alila berbaring miring membelakangi pintu, jadi Elang hanya melihat punggungnya.     Tapi Elang tahu persis apa yang sedang Bu Alila lakukan. Pantas saja Namira langsung berhenti menangis.     Sepertinya mulai sekarang, Elang memang harus membiasakan diri untuk mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke mana saja.     Sementara di kamar Yas, Bu Alila sepertinya tidak sadar bahwa Elang baru saja membuka pintu kamar ini. Ia terlalu sibuk dengan aktivitasnya bersama Namira—calon anaknya.     "Sekarang emang belum ada isinya, Sayang. Tapi nanti kalau Ayah sama Bunda udah nikah, terus Nami punya adek, pasti isinya banyak. Dan saat itu, Nami bisa berbagi sama adek, biar Nami juga tahu, gimana rasanya ASI."   ***       Mansion sudah sepi pada tengah malam seperti ini. Zidan melangkah menuju salah satu kamar. Ia tersenyum menatap Wulandari yang sudah terlelap. Tanpa ragu, Zidan mendekat, naik ke ranjang dan berbaring di samping wanitanya. Ia menelangkupkan lengannya memeluk tubuh Wulandari.     Terang saja tidur wanita itu terusik, ia terbangun. "Kamu belum pulang?"     "Seperti yang kamu lihat, aku masih di sini."     "Istri kamu ...."     "Aku bilang sama dia, aku ada urusan di luar kota selama beberapa hari. Jadi selama itu, kita bisa sama-sama kayak gini."     Wulandari memutar tubuhnya, kini ia dan Zidan saling berhadap-hadapan.     "Besok aku bakal sebar rumor itu." Zidan memainkan helaian rambut Wulandari.     "Zidan, udah dong! Kamu udah bikin mereka kehilangan banyak hal, sangat banyak, semuanya udah cukup."     "Belum, Sayang. Semuanya belum cukup."     "Zidan, entah udah berapa kali aku bilang gini, jangan sampai kamu menyesal. Aku takut kalau suatu saat kamu benar-benar nyesel, dan nggak bisa maafin diri kamu sendiri."     Bibir Zidan melengkungkan sebuah senyuman, sama sekali tak tertarik menanggapi nasihat wanitanya. Ia lebih tertarik untuk melakukan hal lain. Jemarinya perlahan bergerak, membuka kancing piyama Wulandari satu per satu.   *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD