Dihukum Berjamaah

1473 Words
    Bu Alila bersungut-sungut saat sampai di kamar kost adiknya. Bagaimana tidak? Mereka sudah janjian, semua pihak pun sudah setuju sebelumnya, kan?     Wanita itu sudah mengatur semuanya, jadwal mengajarnya hari ini rentangnya cukup jauh. Ia mengajar jam pertama hingga jam keempat. Jam kelima sampai jam kesepuluh ia kosong, baru akan mengajar lagi nanti jam terakhir. Makanya di waktu rentang itu, ia mengajak mereka bertiga untuk segera mengerjakan.     Ia mengayuh sepeda dari sekolah kembali ke kost, demi mereka semua. Eh, malah yang sedang diusahakan nasibnya belum datang!     "Coba telefon aja deh, Mbak!" saran Chico.     "Kamu, tuh, ke mana aja? Dari tadi harusnya udah kamu telefon mereka!" Bu Alila mengomelinya.     "Ya, maaf, khilaf!"     Nada tunggu sambungan terdengar mengesalkan. Lama sekali tidak diangkat-angkat.     "KE MANA KALIAN KOK BELUM DATENG?" murka Bu Alila begitu telponnya diangkat.     "Maafin, Bu, maafin."  Suara Elang. Padahal Bu Alila menghubungi nomor handphone Theo.     "Lang, apa saya bilang waktu itu, kalo di luar sekolah panggil saya apa?" Bu Alila mengingatkan Elang. Ya, memang begitu. Ia pun dengan terang-terangan memberi Elang perintah yang sama dengan yang ia berikan pada Theo, tentang aturan memanggil dirinya saat di luar sekolah.     Perintah untuk Elang ia lakukan saat anak itu mulai mendekatinya belum lama ini, katanya ia ingin menjadi mak comblang antara dirinya dan Yas. Bu Alila merasa aneh pada awalnya, karena saat ia main ke rumah mereka, sikap Elang kurang begitu baik padanya. Entah apa yang membuat Elang justru berakhir mendukung hubungannya dengan Yas. Ia sih senang-senang saja, apalagi usahanya dibantu oleh calon adik ipar sendiri.     Berbeda jauh dengan adik kandungnya, yang bersi keras tidak setuju dengan hubungannya dan Yas. Katanya ia punya calon lain yang lebih baik, entah siapa.     "Eh, iya, lupa. Maafin, Nuna, maafin," jawab Elang.     "Enaknya bilang maaf, sekarang udah jam berapa coba? Udah janjin juga!"     "Sumpah, kita berdua nggak lupa. Tapi itu ... si Theo sakit."     "Jangan bohong kamu!"     "Ya elah, ngapain juga bohong? Beneran sakit. Lemes gitu dia, mukanya pucet, serem."     "Ya ampun, sakit apa lagi sih itu anak?"     "Bentar, ya, Nuna, aku tanyain dulu,"     "Heh, lo sakit apaan?" Terdengar suara Elang bertanya pada Theo.     "Duh, apa, ya? Meriang!" jawab Theo.     "Meriang, Nuna!" tegas Elang.     "Iya, udah denger saya. Terus gimana dong, cuman seminggu lho waktunya? Kalo nggak buru-buru dikerjain, bisa gawat!"     "Saya juga bingung tadi, tuh. Tapi setelah saya pikir-pikir, gimana kalo Nuna sama Chico aja yang ke sini? Itu solusi satu-satunya biar kita tetep bisa mulai ngerjain hari ini."     "Tapi katanya kalian udah pindah, saya nggak tahu alamat yang baru lho."     "Tenang, nggak jauh dari rumah yang lama kok. Saya kirim alamatnya sekarang, deh."     "Yaudah, buruan!"   ***       Tante Keke meletakkan telapak tangannya pada kening Theo, menyamakan suhunya dengan suhu keningnya sendiri. Wanita itu terlihat heran.     "Nggak panas, lho, padahal. Cenderung dingin malah. Aneh, kok bisa tiba-tiba sakit begini?"     "Nggak tiba-tiba, Tan. Emang udah nggak enak badan dari semalem." Elang yang menjawab.     "Lang!"     "Hm?" Elang menjawab sekenanya, masih asyik berkutat dengan handphone di atas ranjangnya sendiri.     Kamar baru Theo dan Elang ini tidak terlalu besar, tapi nyaman. Di kedua sisinya terdapat ranjang kecil untuk mereka, masing-masing satu. Theo sebelah kiri, Elang sebelah kanan.     "Tante mau ke apotek, sekalian belanja bulanan. Kamu jangan main aja, dong! Jagain ini adeknya lagi sakit!"     "Aku nggak main, Tan. Dibilangin lagi nyari referensi!" Elang mengelak. "Ini demi keselamatan Theo juga! Bu Alila mau ke sini, kalo referensinya belum lengkap, aku sama Theo bisa digantung kebalik, kaki di atas, kepala di bawah."     Tante Keke bergidik ngeri. Seram juga guru mereka ini. "Yaudah, terusin cari referensinya, tapi duduk sini, jangan di situ!" Tante Keke menepuk-nepuk sisi ranjang Theo.     "Ya ampun!" Elang pasrah juga akhirnya. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti perintah Ratu Kejora.     "Udah, nih. Aku duduk sini, nih. Puas?" Elang tak mengalihkan matanya dari handphone, duduk begitu saja, membelakangi Theo yang entah masih sadar atau sudah terjun ke dunia mimpi lagi.     "Oke, sip. Yaudah Tante berangkat!" Baru juga beberapa langkah. "Ngomong-ngomong nanti lihatin Nami di kamarnya juga, ya? Kali aja kebangun pas Tante belum balik."     "Iya, Tan, iya!" kesal juga lama-lama. Elang juga punya otak untuk berpikir, dan hati untuk merasa. Tidak usah diberitahu pun Elang pasti akan melakukannya.     Setelah Tante Keke benar-benar pergi, Elang melirik Theo di belakangnya. Kenapa jadi sering sekali sakit akhir-akhir ini?     Ngomong-ngomong soal referensi yang harus dikumpulkan, ini adalah tentang hukuman mereka karena acara kabur dari sekolah kemarin. Kalau mengungkit hukuman itu ... ah, sesak rasanya d**a Elang. ***     Kemarin sore di ruang Kepala Sekolah.     "Baik, sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di sekolah ini, saya telah menetapkan hukuman yang pantas untuk kalian." Kepala Sekolah memberi jeda sebentar. "Chico, kamu telah membantu merencanakan, melancarkan dan memfasilitasi Theo dan Elang untuk kabur, untuk itu, kamu di-skors selama tiga hari."     "Ya ampun, Pak, jangan dong!" seru Chico.     "Nggak ada protes!"     "Ya Allah, beneran, deh. Kejam!" Chico melanjutkan protesnya.     Namun tanpa sepengetahuan Kepala Sekolah, Chico sedang tertawa kegirangan. Kalau tahu begini, ia akan ikut kabur sekalian dengan Theo dan Elang. Sehingga durasi skors-nya akan ditambah. Bisa tidur sepuasnya di kost, deh. Kalau mau bertemu Bu Yulia, kan, tinggal main ke rumahnya saja.     "Theo dan Elang!" Kepala Sekolah berdecak. "Kalian ini! Karena perbuatan tidak terpuji dan tidak patut dicontoh itu, kalian saya skors selama satu minggu."     "Pak, kok lama banget!"     "Iya, Pak, Ya Allah, kok seminggu banget!"     "Nggak ada protes!"     Sama seperti Chico, tampak di luar mereka begitu sedih, tapi sebenarnya tidak sama sekali. Barokah, dapat libur seminggu. Benar-benar rejeki nomplok.     Secara diam-diam, mereka bertiga melakukan tos untuk merayakan berita gembira ini. Sebelum akhirnya tangan mereka dipukul satu per satu oleh Bu Alila, yang memergoki perbuatan mereka.     "Jangan dikira saya tidak tahu, bahwa saat ini kalian sedang bersorak, riang gembira, dan bahagia." Rupanya Kepala Sekolah belum selesai bicara. "Karena hukuman yang sesungguhnya, baru akan saya bacakan!"     Seperti adegan dalam film, tiba-tiba terdengar bunyi petir. Tapi bukan petir sungguhan, sih. Melainkan Pak Saipul, antek setia Kepala Sekolah, yang sengaja menyalakan bunyi petir yang menggelegar, untuk mendramatisir suasana.     "Kalian bertiga harus membuat Karya Tulis Ilmiah yang akan disertakan dalam LKTI 2017, dengan tema 'Ide Pengembangan dan Pengoptimalan Energi Baru'. Kalian harus mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, karena karya tulis itu akan mewakili sekolah kita, jadi NGGAK BOLEH MALU-MALUIN. Last but not least, karya tulis sudah harus selesai dalam waktu seminggu, karena deadline pengumpulan sudah dekat."     "Tapi, Pak, kita udah kelas dua belas."     "Saya sudah tahu."     "Apalagi saya sama Chico anak IPS, lho."     "Emang ada aturan, anak IPS nggak boleh ikut LKTI?"     "Pak, saya cari kerja part time aja belum dapet, kok malah Bapak repotin gini!"     "Kalo itu, sih, derita kamu, Lang!"     Mereka bersama-sama mengajukan protes besar-besaran, dan bersama-sama pula mendapat jawaban mengesalkan dari Kepala Sekolah bernama Sunyoto itu. Menyebalkan!     "Bu Alila, saya memilih anda menjadi pembimbing mereka."     "Lhoh, kok saya jadi ikut-ikutan kena hukum, Pak?" Bu Alila pun melayangkan protes.     "Aduh, gimana, ya? Mau nyuruh Pak Yas juga nggak bisa, dia kan sibuk. Atau biar saya bimbing sendiri aja? Jadi nanti sertifikatnya buat saya."     Bu Alila langsung berubah pikiran begitu mendengar kata sertifikat. Tentu saja, karena sertifikat ini sangat penting dalam profesinya sebagai seorang guru. "Eh, nggak jadi, Pak, nggak jadi. Saya mau!"     "Nah, gitu, dong!" Pak Sunyoto kembali membaca lembaran yang sedari tadi dipegangnya. "Theo, Elang, dan Chico, hukuman tidak berhenti sampai di situ."     "APAAAAAAA?" teriak mereka bertiga bersamaan.     "Setelah skors dan KTI selesai, kalian harus melakukan kewajiban ini. Ehem ... karena saat ini sekolah kita sedang kekurangan tenaga di perpustakaan, maka, Theo dan Chico, kalian harus berjaga di perpustakaan lantai dasar. Dan Elang, kamu berjaga di perpustakaan lantai dua. Kamu sendirian karena di sana, jumlah pegawainya sudah lumayan."     "Sementara untuk periodenya yaitu ... sampai kalian lulus dari sekolah ini!"     "YA NGGAK BISA GITU DONG, PAK!" teriak mereka bersamaan lagi.     "Eits, nggak ada protes! Siapa suruh melanggar peraturan? Lagian saya nyuruh kalian jaga perpustakaan bukan tanpa sebab. Seperti kata kalian tadi, sekarang kalian sudah kelas dua belas, justru itu, kalian harus rajin belajar dengan membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. HA HA HA HA HA."     Jadi begitulah ceritanya, saat Kepala Sekolah mereka tiba-tiba berubah menjadi sosok yang jauh lebih menyeramkan dari Genderuwo sekalipun. Mengingat itu semua, Elang jadi merinding lagi.     Untuk itulah mereka harus buru-buru mengerjakan KTI. Mereka sudah sepakat akan mulai hari ini. Pembagian tugasnya, Chico menyiapkan bahan, sementara Theo dan Elang mencari referensi. Tapi rencana tidak berjalan semulus ekspektasi, karena Theo tiba-tiba malah sakit begini.     "Permisi!" Seorang asisten rumah tangga mengintip dari celah kecil pintu yang dibuka sedikit, terlihat sungkan.     "Kenapa, Mbak? Masuk aja!"     Wanita muda itu akhirnya masuk. "Mas Elang, dicariin Bu Guru sama adeknya di bawah!"     "Weleh, udah dateng mereka, cepet juga!" Elang beranjak, pergerakkannya membuat tidur Theo terusik. Ia terbangun, merasa kesal karena tidurnya terganggu.     Theo sempat melihat Elang yang berjalan keluar kamar, sebelum ia memejamkan mata lagi. Ia bangun hanya sebentar, tapi pusing yang menyerangnya bertambah berkali-kali lipat. Biasanya, asal ia sudah minum tablet-tablet itu, keadaannya akan membaik. Tapi hari ini tidak.   *** TBC  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD