Rumah Baru

1558 Words
    Tante Keke benar-benar kegirangan, sampai bertepuk tangan, dan teriak-teriak tidak jelas. Ia segera mengambil alih Namira dari gendongan Yas. Nenek muda itu langsung mengecup sayang kedua pipi si Tahu Bulat berkali-kali.     "Mom, Jojo mau lihat Nami juga," rengek Bjorka sambil menarik-narik daster mommy-nya.     "Ayok, bawa sana, yok!" Dalam sekejap Tante Keke, Namira, dan Bjorka sudah hilang dari pandangan mereka semua.     "Pak, minta tolong turunin dan bawa ke dalem sekalian, ya!" seru Oom Junot pada dua orang yang membantu mereka boyongan. Ia kemudian melanjutkan membantu Yas, Theo, dan Elang menurunkan barang-barang lain dari mobil.     Sisa-sisa kesedihan masih terpatri dengan jelas di wajah mereka. Tapi kehidupan harus berlanjut, bukan?     "Theo, Elang, barang-barang kalian langsung masukkin ke kamar aja!" Suara Tante Keke. Ia rupanya membawa Namira dan Bjorka ke playground kecil di ruang tengah. "Itu, tuh, kamar kalian yang deket tangga," lanjutnya seraya menunjuk kamar yang dimaksud. Ia meringis-ringis karena Namira menarik-narik rambut panjangnya. "Tapi kamarnya barengan, ya! Habis cuman nyisa satu doang. Hitung-hitung belajar akur gitu," lanjutnya lagi sambil cengengesan.     Theo dan Elang mengangguk pasrah. Toh mereka sudah bersyukur dapat kamar. Jangankan dapat kamar, ada yang mau menampung saja sudah untung, sudah lebih dari cukup.     "Kalo Yas, kamar kamu di sebelahnya kamar mereka, ya! Agak lebih gedean dikit. Nami ini numbuhnya cepet, lho. Ntar tahu-tahu udah bisa jalan aja. Jadi, butuh ruang lebih buat gerak, biar lebih leluasa."     "Iya, Tan." Yas seakan berlari menaiki tangga, membawa satu kardus penuh berisi buku-buku ajarnya.     "Mom, Jojo kebelet pipis!" Bjorka kecil mondar-mandir menahan HIV, alias hasrat ingin vivis.     "Ya pipis dong, Sayang!"     "Yang tadi pagi udah dilepas, Mom, sekarang belum dipakek-in pampers lagi!"     "Wadoh, bener juga! Kamu, sih, udah lima tahun masak masih suka ngompol. Ayok, cepetan ke kamar mandi, lari!" Tante Keke mendahului putranya berlari. Namira tertawa dalam gendongan, ia pikir Nenek Keke-nya sedang mengajak melakukan permainan baru.     "Mom, pipisnya udah keluar!" Bjorka mulai menangis. Menangis karena malu, sekaligus takut akan kemarahan mommy yang cantik, tapi seram sekali kalau marah.     Satu, dua, tiga ....     "JOJOOOOOOOOOOO!"   ***       Wanita super mini, dengan rambut panjang yang dikuncir kuda, terlihat sudah rapi dengan seragam dinasnya. Memastikan bahwa penampilannya sudah sempurna, ia pun dengan mantap berangkat mengabdi pada negara.     Tapi sebelumnya ia menuntun sepeda ke rumah Ibu Kost dulu. Ada sesuatu yang harus ia lakukan dan tidak boleh ditunda. Karena bisa fatal akibatnya.     "Assalamualaikum!" salamnya.     "Waalaikumsalam," jawab Ibu Kost. "Bu Guru, kebiasaan, deh. Cantik muluk, kapan jeleknya?"     "Oh, ini sudah takdir, Bu Kost." Bu Alila berkedip-kedip. "Kuncinya udah dikasih ke Chico?"     "Sudah, Bu Guru. Tapi habis dari kamar mandi, dia balikin kuncinya lagi ke saya. Takut sama Bu Guru katanya."     Bu Alila tertawa. "Duh, saya jadi nggak enak. Yaudah, boleh saya minta kuncinya sekarang, Bu Kost?"     Ibu Kost segera mengambil kotak berisi puluhan kunci kamar kost, baik kunci utama ataupun kunci duplikat. "Ini dia, monggo, silakan, Bu Guru!" Bunyi gemerincing terdengar sampai kunci itu berada di telapak tangan Bu Alila.     "Terima kasih, Bu Kost!"     "Sama-sama, Bu Guru!"     Bu Alila melanjutkan langkahnya ke kamar Chico. Sebelum masuk, wanita itu mencoba mencuri dengar, mengira-ngira apa yang sedang dilakukan anak itu di dalam. Tapi hening. Kebiasaan! Pasti masih tidur.     Bu Alila memasukkan kunci pada lubangnya, sesuai yang sudah diduga, Chico masih bergulung di bawah selimut. Hanya kelihatan rambut keritingnya saja.     "Woy, bangun, woy!" Bu Alila menggoyang-goyangkan badan adiknya yang super tinggi. Mungkin dulu saat Alila masih bayi, orang tuanya benar-benar miskin. Jadilah ia kurang gizi, alhasil sekarang tingginya jadi di bawah rata-rata begini. Berbeda dengan Chico yang rajin minum s**u ibu dan juga s**u sapi.     "Mbak!" lirih Chico.     "Kebiasaan kamu, tuh. Bangun!"     "Kan aku di-skors, Mbak."     "Terus kamu mau hibernasi selama tiga hari berturut-turut, begitu?"     "Ya nggak gitu juga kali!" Chico akhirnya bangun. Ia segera duduk biar kakaknya puas, meskipun kelihatan dari tampangnya kalau Chico sedang kesal.     "Itu nggak apa-apa, kan?" tanya Bu Alila seraya menunjuk adik Chico dengan dagunya.     "Oh, dia ... tadi pagi masih bisa begini kok." Chico menegakkan jari telunjuknya. "Masih bisa bangunin aku sholat subuh, tepat waktu."     "Ya, syukur deh kalo gitu. Habis ini buruan mandi, ini sarapannya." Bu Alila memberikan satu kresek berisi dua nasi bungkus. Kenapa dua? Tentu saja untuk menukar jatah makan malam Chico kemarin.     "Thank you, Mbak ku!" Chico menerimanya dengan cengiran lebar.     "Jangan nyengar-nyengir sambil main HP doang kamu di kost! Disiapin semua bahan buat nanti siang! Awas kalo pas Mbak dateng, semuanya belum siap."     "Yes, Maam! Salute!" Chico meletakkan telapak tangan kanannya di alis. "Tapi ngomong-ngomong, Theo sama Elang udah dikasih tahu, kan?"     "Udah dong, pokoknya nanti siang tinggal ngerjain aja. Kalo kita niat dan bener-bener ngerjain sungguh-sungguh, pasti bakalan cepet selesai semuanya. Yaudah, Mbak berangkat dulu!" Wanita kecil itu berbalik.     "Weis, ada yang lupa!"     "Oh, iya!" Bu Alila beringsut mendekat, kemudian mengecup pipi kanan dan kiri Chico bergantian. "Mbak berangkat, ya!"     "Woy, yang ini belum, woy!" Chico mengetuk-ngetuk keningnya.     "Hehe, lupa." Bu Alila segera mengecup kening adiknya, sampai lipstiknya tertinggal di sana. "Chico sayang, Mbak berangkat, ya!"     "Woy, ini juga belom, woy!" Kali ini Chico menunjuk bibirnya.     Sayang, bukan lagi kecupan yang ia dapat, melainkan lemparan sandal jepit swallow butut, yang kemarin tak sengaja menginjak tahi ayam.   ***       Tante Keke terlihat seperti seorang profesional. Ia bergantian menyuapkan sarapannya sendiri, kemudian sarapannya Namira. Anak itu masih senantiasa berada dalam pangkuannya. Tante Keke melarang siapapun yang mau mengambil Namira darinya. Bjorka sepertinya cemburu. Hari ini ia tidak mau duduk di sebelah mommy-nya. Ia lebih memilih duduk di antara Theo dan Elang.     "Jo, buruan dihabisin sarapannya, Nak!"     "Nggak mauk!"     "Lhoh, udah siang ini, keburu telat."     "Jojo juga mau disuapin!" Ia merengek lagi.     "Ya ampun, cogan kok minta disuapin, nggak malu apa sama Anjeli."     "Anjeli siapa, sih, Mom?" Bjorka langsung protes. Mommy-nya selalu salah mengucapkan nama gadisnya dengan nama karakter film India kesukaannya. "Anjani, Mom, Anjani! Seenaknya aja ganti-ganti nama calon mantu sendiri!"     Yas, Theo, dan Elang hampir saja tersedak, untung tidak jadi. Mereka hanya bisa membatin, anak lima tahun zaman sekarang, sudah bisa berbicara masalah calon mantu, bagaimana dengan keturunan mereka di masa depan?     Khusus untuk Yas, ia benar-benar khawatir dengan pertumbuhan Namira. Akankah ia nanti seperti ini juga?     "Eh, iya, maksudnya Anjani." Tante Keke meralat kesalannya. "Pasti Anjani bakal ngatain kamu kalo sampai tahu, kamu makan aja masih disuapin Mommy. Makanya buruan dihabisin sarapannya!"     Bjorka sebenarnya masih marah, dan masih ingin disuapi juga, tapi ia sudah terlanjur termakan ancaman mommy-nya. Jadilah ia segera makan dengan lahap, tak sampai lima menit, satu piring nasi goreng sosis itu sudah lenyap tak bersisa.     "Yas, mulai hari ini Nami nggak usah dititipin ke daycare, deh!" Tante Keke membuka pembicaraan lagi. "Biar Tante aja yang jagain."     "Tapi Tante kan juga sibuk, ntar pasti repotin, deh."     "Nggak, kok, nggak. Ntar kalo Tante ada arisan, ya diajak. Kalo Tante ada kondangan, ya diajak. Terus kalo Theo lagi ada job, diajak juga."     "Tapi, Tan ...."     "Udah, nggak pakek tapi-tapian lagi. Hitung-hitung ngurangin biaya penitipannya, Yas. Ya, Dad, ya?" Tante Keke meminta dukungan pada suaminya.     "Iya, Yas. Oom setuju sama tantemu."     Yas masih belum menjawab. Ia merasa bingung dan tidak enak.     "Ehem!" Suara Elang. "Katanya waktu itu, anggota geng Mahmud Tante ngomongnya suka rusuh, nggak baik kalo sampek kedengeran telinga Nami yang masih suci, kok malah Nami mau diajakin q-time sama mereka terus?" lanjutnya.     Tante Keke melotot padanya, Elang pura-pura tidak melihat. Ia sedang melakukan tos rahasia bersama Theo di bawah meja. Kekompakan mereka memang selalu on kapan saja ada kesempatan melawan Tante Keke.     "Kalian ngomongin apa, sih?" tanya Oom Junot, karena ia memang tidak tahu apa maksud Elang, dan kenapa istrinya jadi salah tingkah.     "Ini lho, Dad ..." Tante Keke berpikir keras. Sial sekali. Kenapa Elang malah membahas kejadian waktu itu?     Saat Yas tiba-tiba kritis, sehingga Oom Junot harus mengurusnya, terpaksa membatalkan janji dinner. Tante Keke kesal, lah. Dan berakhir melimpahkan kekesalannya pada kedua biang onar, siapa lagi kalau bukan si Kembar Setan, dengan cara menitipkan Namira pada mereka. Alasannya ya itu, tak ingin telinga suci Namira mendengar omongan rusuh geng Mama Mudanya.     Waktu itu Tante Keke kan sudah mewanti-wanti mereka, jangan bilang apapun pada Aa Junot-nya. Eh, malah sekarang Elang terang-terangan membicarakannya.     "Anu, Dad, uhm ...." Tante Keke tiba-tiba tertawa keras, mengagetkan semua orang. "Biasalah, aku, sama Theo, sama Elang, kalo lagi saling ngerjain kan emang gitu, Dad. Kayak nggak tahu kita bertiga aja. Udah, lah. Masa lalu nggak usah dibahas-bahas lagi. Ya, Yas, ya?" Tante Keke meminta pembelaan pada Yas kali ini.     "Hehe, iya, Tante." Yas pasrah, bukan tanpa alasan, sih. Posisinya ia juga tidak tahu menahu tentang masalah ini.     Untungnya Oom Junot segera mengerti sekaligus memaklumi, tak bertanya apapun lagi, dan melanjutkan sarapannya. Tante Keke menjulurkan lidah pada Theo dan Elang. Kali ini ia menang lagi. Theo dan Elang hanya bisa menahan kesal.     "Lagian, Yas ...," Tante Keke meneruskan topik pembicaraan sebelumnya, tentang Namira. "Sekarang Tante sama oom-mu itu lagi program bikinin adek buat Bjorka ...."     "Uhuk ... uhuk ...." Theo benar-benar tersedak kali ini. Elang tak kuasa menahan tertawa melihatnya.     Tante Keke hanya melirik sekilas, kemudian melanjutkan bicaranya. "Kita udah konsultasi sama dokter, udah rutin usaha juga, tapi tetep belum positif. Kali aja kalo Tante deket-deket Nami terus, bakal langsung jadi gitu. Kalo kata orang tua jaman dulu, buat mancing."     Oom Junot mengangguk-angguk, tak bisa ikut bicara karena mulutnya masih penuh makanan.     "Oh, yaudah, deh." Yas akhirnya setuju. "Makasih ya, Tan. Maaf lagi-lagi repotin."     "Ah, kamu, tuh. Ngomongnya gitu terus. Nggak repotin, Yas, beneran. Malah Tante sama Oom Junot harusnya yang bilang makasih."   ***    TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD