1

1128 Words
Di sebuah gedung perkantoran Peterson Corporation, seorang pria tampan dengan setelan formalnya berjalan memasuki gedung. Aura arogan dan dingin terasa kental sekali dari dirinya. Para karyawan menyapanya penuh hormat, dan sahutannya hanya deheman biasa bahkan tak jarang juga ada yang tidak dibalas. Sejak awal pria itu memasuki gedung, para karyawati mencuri-curi pandang kepadanya hingga bersikap sangat manis di depannya. Semua hal itu hanya bertujuan satu, meluluhkan hati sang pria dingin itu. Pria itu berjalan keluar dari lift setelah lift sampai di lantai yang ia tuju. Aura dinginnya langsung menyebar ke seluruh penjuru sudut lantai 30 -lantai yang ia tuju-. Ia memasuki ruang kerja dengan papan tulisan "R. Wakil Direktur". Tanpa banyak ngomong, ia menduduki kursi kerjanya dengan arogan sekali. Di meja kerjanya terdapat papan plastik persegi panjang bertuliskan 'Narendra Aldama Peterson'. Itulah namanya, si pria dingin dengan jabatan sebagai wakil direktur perusahaan Peterson Corporation. Kedua orang tuanya merupakan orang paling berpengaruh dalam dunia bisnis sejak dulu hingga sekarang. Jam 12 siang, pintunya diketuk oleh seseorang. Namun sebelum Rendra -sapaan akrab pria tersebut- menyahut, orang yang datang itu sudah memasuki ruang kerjanya lebih dulu. Rendra menatapnya dingin. "Lo lagi, mau apa lo kesini?" Seorang pria dengan setelan formal menatapnya geli lalu duduk di sofa. "Hey, lo gak kangen sama kakak sepupu lo ini? Ayolah, jangan kaku-kaku begitu." Rafael Aditya Collins, kakak sepupu berbeda marga. Sekretaris seorang CEO Collins Group yang merupakan ayahnya sendiri, Alfian Arvie Collins. Karena ayah Rafa-sapaan akrabnya-kakak sepupu dari ibu Rendra, jadi mereka memiliki ikatan sepupu. Rendra berdecak sebal. "Udah sana pergi, gue masih punya banyak kerjaan." Rafa pergi meninggalkan Rendra dengan seringai angkuhnya. Rendra hanya bisa menghela napas panjang untuk menahan emosi yang ingin meledak dalam dirinya. Hal seperti itu sudah biasa terjadi jika ia bertemu dengan sepupu berbeda marga tersebut. Padahal saat masih kanak-kanak mereka berdua begitu dekat satu sama lain dan selalu bermain bersama. Namun disaat sudah beranjak dewasa, Rendra mulai menampakkan sifat dinginnya. Sifat dingin itulah yang selalu memprovokator mencuatnya perang dingin dengan Rafa. Rendra memiliki satu adik perempuan yang memiliki jarak umur 3 tahun dengannya, Arini Firlian Peterson namanya. Catat, Rendra tak pernah cipika-cipiki dengan Arini sejak dulu hingga sekarang. Hubungan kakak-beradik seolah hanya status tanpa berarti bagi mereka. Ditambah dengan Arini yang juga mewarisi sifat dingin ayahnya, maka jadilah hubungan saudara kandung yang begitu suram. Rendra keluar dari ruangannya menuju ruang CEO utama, hendak mengantar berkas penting kepada sang CEO yang notabene ayahnya sendiri. Letak ruangannya berada di lantai paling atas, lantai 34. Mengharuskannya kembali bertemu dengan para karyawati centil yang tak pernah lelah untuk berusaha meluluhkan hatinya. Rendra mengetuk pintu ruangan ayahnya. Sesaat kemudian terdengar sahutan dari dalam yang memerintahkan untuk masuk ke dalam. Terlihat seorang pria berusia duduk di kursi kebesarannya, sang CEO yang tak lain tak bukan adalah ayahnya sendiri. "Ada apa, nak?" Tanya ayahnya mengalihkan perhatiannya dari laptop. Rendra meletakkan map di meja ayahnya. "Ini berkas data-data Peterson Corporation. Beserta ratusan permintaan untuk menjalin hubungan kerja sama dari perusahaan lain." Ayahnya tersenyum. "Oh begitu, baiklah terima kasih. Ada lagi?" "Syukurlah ayah nggak komplain soal sifat dinginku hari ini yang memang warisan dari ayah." Ayahnya tertawa kecil. "Baru saja ayah mau komplain. Ibumu yang paling nggak tahan melihat sifat dinginmu itu. Dulu ayah nggak sedingin itu, Ren." "Terserah dad, aku tidak akan pernah mau merubahnya." "Lalu, umurmu sudah 25 tahun, kan. Kapan akan menikah?" Pertanyaan yang meluncur keluar dari mulut ayahnya membuat Rendra tersedak. Pasalnya, sejak menginjak umur 23 tahun, dirinya selalu dihujam dengan pertanyaan seputar menikah. Ibunya yang paling berisik disaat hal itu terjadi. Mengatakan bahwa ingin cepat menimang cucu dan melihat ia bahagia di hari pernikahan. Namun, Rendra sama sekali tak mempedulikannya. Rendra menghela napas. "Stop ayah, sudah ribuan kali ayah dan ibu menanyakan itu kepadaku. Ya sudah, aku mau balik ke ruanganku." "Mengertilah dengan perasaan ibumu. Yang ingin melihatmu berdiri di panggung dalam acara resepsi pernikahanmu dengan pasanganmu sendiri, Ren." "Iya ayah." *** Jam 4 sore, iPhone milik Rendra berbunyi nyaring menandakan ada panggilan masuk. Rendra mengangkat telpon tersebut. "Halo?" "Hei brother, karena gue malas pulang naik taksi karena dompet menipis, jemput gue di kampus sekarang." Arini, adik Rendra yang berusia 22 tahun dan sedang berjuang menyelesaikan kuliahnya. "Gue masih ada kerjaan di kantor, sister. Berhenti ganggu gue." "Diih jahat amat sama adik sendiri. Ya sudah, kalo gue kenapa-kenapa di jalan itu salah lo." "Oke oke, gue jemput!" Rendra mengakhiri telpon dan bergegas keluar dari kantor untuk menjemput adiknya yang baru pulang di kampusnya. Sepanjang perjalanan, Rendra terus menggerutu dan beberapa kali mengumpat dalam hatinya. Arini memang suka mengganggu kehidupannya untuk merubah ikatan persaudaraan yang suram menjadi lebih penuh kasih sayang. Namun dengan cara yang membuat Rendra jengkel. Sampai di kampus Arini, Rendra memarkirkan mobilnya di depan kampus tersebut untuk menunggu adiknya datang sendiri ke mobilnya. Jika ia keluar, ia akan menjadi seperti buruan yang dimangsa oleh para hewan lapar alias pusat perhatian para mahasiswi. Tak menunggu lama, Arini sudah masuk ke dalam mobilnya dan duduk di jok sebelah Rendra. Perawakan mungil, rambut panjang, mata lumayan lebar, bibir tipis dan hidung agak pesek. Arini seperti foto copy dari diri Alicia—ibunya dan Rendra. Rendra segera memacu mobilnya menuju komplek perumahan elit tempat tinggal mereka sejak kecil. "Brother, sudah 9 tahun kita saling dingin satu sama lain. Lo tega amat sama gue." keluh Arini memecah keheningan di antara dirinya dengan kakaknya. Rendra berdecak kesal. "Gue nggak maksud bersikap begitu ke lo, sis. Lo tau sendiri kan kalo kita sama-sama punya sikap dingin." "Tapi setidaknya gue berusaha lebih lembut ke lo, bro. Udah gak usah dilanjutkan. Ntar bakal ada perang dingin lagi." Rendra menghela napas menahan amarahnya untuk kedua kalinya. Hanya Arini yang selalu komplain tentang sifat dinginnya. Sejak Rendra menginjak umur 16 tahun, sifat dinginnya mulai muncul dan semakin menjadi-jadi. Sesampainya di rumah mereka, Arini keluar dari mobil dengan kasar kemudian langsung berlari memasuki rumah. Rendra cuek saja melihatnya dan menyusul Arini memasuki rumah. "Arini dijemput Rendra lagi?" Tanya ibu mereka dari ruang keluarga. Arini merengut. "Iya ma, Arini sekarang sedang hemat uang." Setelah menjawab pertanyaan ibunya, Arini berlalu menaiki tangga dengan kesalnya. Ibunya menghela napas. "Kamu sama Arini bertengkar lagi?" Rendra mengedikkan bahu tak peduli kemudian mengambil minuman di lemari es. Alicia menghembuskan napas panjang melihatnya. Kedua anaknya tak pernah akur lagi semenjak Rendra berumur 16 tahun. Entah apa alasannya. "Rendra, dia adikmu satu-satunya. Berhenti bersikap dingin seperti itu." Nasehat ibunya dengan lembut, menahan emosinya kala menghadapi putra sulungnya itu. "Aku punya sifat dingin kar—" "Karena ayahmu ? Iya bener jika ayahmu dulu dingin sekali, tapi di umur kepala dua dia merubah sifatnya. Lakukan hal itu." "Sudahlah, bu. Rendra capek." Alicia mengelus d**a melihat sifat putranya yang sedikit kurang ajar. Dulu Rendra sangat manis dan ceria sekarang berubah menjadi begitu dingin tak peduli. Entah sampai kapan Rendra akan menyadari sifatnya itu salah. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD