2

1150 Words
Seorang perempuan berlarian memasuki ruang kerjanya. Ia terlambat 5 menit ke kantor dikarenakan jalanan ibu kota yang rajin macet setiap pagi. Ia tahu benar jika seharusnya seorang sekretaris wakil direktur baru tak seharusnya bersikap tidak disiplin waktu seperti itu di hari pertamanya. Kenyataan itu membuat si perempuan komat-kamit nggak jelas dengan menatap pintu lift begitu takutnya. Setelah lift sampai di lantai yang ia tuju, perempuan itu segera berlarian menuju ruang wakil direktur secepat yang ia bisa. Sudah terbayangkan dalam benaknya bagaimana raut wajah atasannya dan apa yang akan ia dapatkan nanti. Alya, nama perempuan itu, berdiri di depan pintu ruang atasannya dengan gugup. Diketuknya pintu tersebut, terdengar suara sahutan dari dalam yang mengatakan untuk masuk. Alya memantapkan pikirannya kemudian memasuki ruangan atasan barunya. Rendra menatap Alya dingin namun Alya bisa merasakan aura membunuh dalam sorot kedua matanya. Keadaan yang begitu hening membuat napas Alya megap-megap, ditambah dengan tatapan dingin bercampur membunuh dari Rendra membuatnya semakin mati kutu. Rendra berdehem. "Kiralya, benar? Sekretaris baruku sekarang?" Alya terkesiap mendengarnya. "Benar, Pak Rendra. Maaf saya terlambat di hari pertama saya bekerja sebagai sekretaris." Rendra meneliti tubuh Alya dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan sama. Alya semakin grogi dan ingin segera meninggalkan ruangan atasannya barunya tersebut. Tubuhnya sedikit bergetar, menantikan apa yang akan Rendra lakukan berikutnya. "Apa kau memang terbiasa terlambat sebelum menjadi sekretarisku?" tanya Rendra dengan wajah tanpa ekspresi. "Eh? Nggak, Pak. Ini pertama kalinya saya terlambat." jawab Alya gugup. Rahang Rendra mulai mengeras, alisnya bertaut dan napasnya memburu. Melihat itu Alya sudah tak usah diberi tahu dengan apa yang akan Rendra lakukan. "Meskipun ini pertama kalinya bagimu, aku tak suka mempunyai sekretaris tak disiplin waktu meskipun hanya semenit kau terlambat. Dengan keterlambatanmu hari ini, aku tak tau apapun tentang jadwal hari ini selama 5 menit!" Cerca Rendra sedikit keras. Alya hampir terjungkal ke belakang mendengar amarah Rendra. Hari ini ia mulai dengan mendapat amarah besar dari Rendra, wow sekali. Alya menunduk. "Sekali lagi saya mohon maaf atas kesalahan saya. Saya tak akan mengulanginya lagi." "Aku tak butuh omong kosongmu. Buktikan saja jika kau memang tak akan mengulanginya lagi." "Baik, Pak Rendra." Rendra berdecak. "Kau boleh keluar." Alya membungkuk hormat lalu melangkah keluar dari ruang kerja Rendra. Ruang kerja miliknya terletak tepat di depan ruangan Rendra, tentu saja karena ia sekretaris Rendra sekarang. Sekretaris yang lama memilih resign kemarin karena akan pindah rumah ke luar kota. Dan atas usulan para manager di Peterson Corporation, Alya dipilih menjadi sekretaris baru untuk Rendra. Alya duduk di kursi kerjanya kemudian menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya ia melihat sang wakil direktur dingin itu menunjukkan sifat marahnya. Kedua kakinya lemas karena kebanyakan berlari ditambah dengan menopang tubuhnya saat dimarahi oleh Rendra, membuat kedua kakinya lemas seperti jelly. "Gue gak tau bakal tahan apa kagak sama pekerjaan ini, Ya Tuhan..." lirih Alya pelan setelah itu mulai menyiapkan ruang kerja barunya. Menata berbagai barang sana-sini. Aktifitasnya terhenti ketika telpon di meja kerjanya berdering. Karena telpon khusus di kantor jadi Alya segera mengangkatnya. "Halo, sekretaris wakil direktur disini." "Hey, aku tadi lupa ngomong kalau kau harus membuat laporan atas permintaan maafmu datang terlambat ke kantor. Taruh di mejaku saat jam istirahat siang nanti." "Ah iya, Pak. Nanti saya letakkan di meja bapak. Ada lagi?" "Nggak ada, itu saja." Telpon diakhiri secara sepihak. Alya tersenyum sangat lebar untuk meredakan emosi yang mulai tercipta di dadanya. "Sabar Kiralya Putri Viononny sabar~! Dia atasan lo, dan lo hanya bisa menuruti perintahnya tanpa komplain. Sabar." Alya gemas sekali melihat sikap arogan Rendra dan sikap dinginnya itu. Meskipun bawahannya, Alya tak begitu terima dengan sikap Rendra yang sangat arogan sekali. Apalagi sikap dinginnya seolah bahwa dia yang selalu benar dan memberi kesan bahwa semua orang hanya orang bodoh makanya dia cuek pada lingkungan sekitar. *** Alya berjalan keluar dari ruang kerja Rendra menuju kantin. Sungguh, otaknya serasa diremas-remas saat mengerjakan laporan yang diperintahkan oleh Rendra pagi tadi. Sesampainya di kantin, Alya melihat sosok sahabatnya sedang duduk di meja ditemani sepiring nasi goreng. Ia segera menghampirinya karena setiap jam istirahat mereka selalu menghabiskan waktu bersama. "Selma! Lama nunggunya?" Sapa Alya kemudian duduk di depan Selma. Selma tersenyum. "Nggak kok, pesan makanan dulu gih." Alya menuju ibu kantin untuk memesan makanan dan menunggunya sejenak. Ini bukan selayaknya restoran. Selesai dengan urusannya, Alya kembali ke tempat Selma berada. "Gimana hari pertama lo kerja jadi sekretaris? Gue tau kalo Rendra itu sialan banget orangnya." Tanya Selma membuka pembicaraan. Alya tersedak mendengarnya, pasalnya hari ini sungguh bad luck day untuknya. Selma memicingkan sebelah mata. "Lo kenapa ? Ada yang nggak beres hari ini ?" Alya menghela napas. "Iya. Hari ini gue telat 5 menit dan itu sukses membuat gue dimarahi sama Pak Rendra." Selma memutar bola matanya. "Haah... kebiasaan lo banget ya. Apa lagi sekarang alasannya, hmmm? Jakarta macet?" Alya tertawa gugup mendengarnya. Perkiraan Selma selalu tepat sejak dulu. Jika kalian tanya kenapa Selma berani menyebut Rendra dengan kata sialan, jawabannya adalah Selma Indira Tita. Cermati lagi nama marga Selma tersebut. Jika masih belum ngerti, singkatnya Selma bisa dibilang kerabat Rendra. Ayah Selma bernama Davano Fabian Tita itu adalah sahabat ibunda Rendra, Alicia, jadi sejak kecil sudah mengenal Rendra. Dibilang adik sepupu juga bisa namun berbeda keluarga. Selma tidak bekerja di Peterson Corporation, melainkan di Tita Company sebagai sekretaris kakaknya yang merupakan CEO dari perusahaan keluarga tersebut. "Lah, lo tau sendiri kan kalau Jakarta itu gak pernah absen macet setiap pagi!" Sungut Alya sebal. Entah kenapa hari ini begitu bad luck untuknya. "Makanya bangun itu pagi jam 5, dodol. Biar bisa berangkat jam 6, jam segitu Jakarta masih belum terlalu rame." Alya mengerucutkan bibirnya. "Masih hobi lo manggil gue dodol. Gue gak segoblok itu kali." "Halah, kesalahan lo di hari per—" "Selma? Lo ngapain disini?" Sontak Selma dan Alya menoleh ke sumber suara. Terlihatlah sosok Rendra berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana bahannya. Tampang dingin itu sama sekali tak mau lepas dari wajahnya. "Kenapa emangnya  Meskipun gue bukan karyawan sini, lo gak berhak ngelarang gue." sahut Selma ketus. Alya hanya bisa diam karena orang yang sedang dihadapinya sekarang adalah atasannya sendiri. Randy menoleh ke Alya. "Gimana? Udah kamu kerjakan laporannya?" Alya terlonjak kaget. "Ah i... iya, Pak, sudah saya kerjakan. Ada di meja bapak seperti yang bapak katakan." Alya kembali seperti kurcaci di hadapan Rendra. "Hmmm gitu, ya sudah. Lain kali jangan diulangi lagi jika masih ingin bekerja disini." Setelah mengatakan hal itu, Rendra melangkah pergi keluar dari kantin. Alya menghembuskan napas panjang, lega melihatnya. Berhadapan dengan Rendra seperti ingin mati saja untuknya. Alya juga tahu benar jika perawakan Rendra begitu macho sebagai seorang lelaki dewasa. Wajahnya memang tampan tanpa nilai minus. Namun sikapnya menghancurkan semua penilaian baik kepadanya. "Lo yang sabar aja kalo ngadepin Rendra. Kan gue bilang apa, dia emang sialan banget." Celetuk Selma dengan nada malas. "Gue seperti kurcaci saat ngadepin dia." Sahut Alya dan kembali menghembuskan napas panjang. Ia tak yakin bisa bertahan lama menjadi sekretaris lelaki arogan bin dingin tersebut. TBC 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD