Bandar Lampung, 2005 ...
Osy ...
__
Hari-hari yang aku lalui selalu terasa menyenangkan, baik ketika aku bersama dengan teman-teman di sekolah maupun juga teman di luar sekolah, atau bersama dengan Mami dan juga Yansen di rumah. Tapi apa hanya karena mimpi aku tadi malam ... langkah kaki ini jadi terasa berat dan pikiran ini pun menjadi gelap dan itu tentu membuat aku merasa sedikit terganggu. Hah..., tapi apalah artinya sebuah mimpi? Aku nggak boleh terpengaruh pada mimpi itu seolah itu adalah takdirku. Toh ... takdir adalah sebuah ketetapan, dan bukan seperti mimpi yang belum tentu akan nyata terjadi. Setidaknya itu menurut persepsi aku. Aku terus memerangi pikiran sendiri mengenai mimpi tadi malam.
Melihat temanku Setia, atau yang biasa dipanggil Tia sedang duduk termenung sendiri, dia nggak seperti biasanya, "Hei Tia, ngelamun aje lo! Awas kesambet loh, entar kesurupan kayak adek kelas kita waktu itu," tegurku. Sementara aku melupakan tentang masalah mimpi aku semalam.
"Ah, itu sih, dianya aja yang pikirannya kosong!" sangkal Tia anak kelas tiga IPA satu. Wajahnya sedikit oval sama dengan aku, rambutnya juga berombak sepertiku tapi dia lebih panjang sedikit dibanding dengan rambut aku. Tinggi kami juga sama 165 senti meter. Singkatnya kita sama-sama charming. "Eh, btw... gue lagi galau nih!" Tia menarik lenganku.
"Kenapa?" tanyaku yang duduk tepat di sebelah Tia yang sedang duduk di taman kecil di depan kelas tiga IPA. "Oh..., gue tau, pasti gara-gara putus ama Kaka, iya kan?" tebakku dengan sangat yakin bin maksa.
"Ya, gitu deh!" jawabnya membenarkan namun dengan gaya malas.
"Lah..., bukannya elo yang minta putus?" tanyaku mastikan, sebelah tangan aku menyelipkan rambut Tia ke balik telinganya.
"Iya emang gitu sih, tapi ... gue bete banget deh! Dia sok-sok mamerin pacar baru gitu di depan gue. Kalo nggak ada maksud apa-apa, ngapain coba tiap gue duduk di mana pun dan kapan pun, dia pasti lewat bareng si adek kelas kita pacar barunya itu, tuh!" dumal Tia tampak kesal.
"Ehm! Kayaknya, elo nggak perlu ngejelasin lagi deh, gue barusan liat mereka berdua keluar dari arah kantin bareng. Dan bentar lagi pasti mereka berdua bakal lewat di depan kita. Tuh kan, mulut gue aja belum sempat mingkem beneran mereka berdua jalan ke arah kita!" kataku sambil menyiku lengan Tia.
"Ah..., bodok amat, gue nggak mau liat mereka berdua!" kata Tia sewot.
"Ya udah, ayo buruan masuk kelas aja, entar keburu dia lewat buat ambi kesempatan mamerin cewek barunya itu!" sahut aku yang ikut sewot juga jadinya.
"Kita masuk ke kelas gue aja yuk, lebih deket biar lebih cepet!" balas Tia lebih semangat kali ini.
Kita berdua pun langsung buru-buru masuk ke dalam kelas tiga IPA satu kelasnya Tia. Ketika itu Tia ingin menghindari Arka, atau yang biasa dipanggil dengan Kaka, mantannya Tia yang begitu putus langsung sudah punya pengganti pacar baru seorang adik kelas. Tia merasa tak terima karena Kaka suka memamerkan pacar barunya itu yang menurut Tia tak lebih cantik dari dirinya sama sekali. Tia dan..., aku masuk dalam kategori lima cewek populer di PPB, bahkan sampai tersebar ke sekolah lain terutama SMA tiga yang katanya punya stok cewek populer lebih banyak lagi. Kami berdua berteman akrab meski tak pernah satu kelas. Menjadi cewek populer tidak membuat kami berdua jadi besar kepala apalagi sombong. Malah... itu menjadi semangat bagi kami untuk memberi contoh yang baik pada yang lain terutama pada adik kelas.
"Sebenernya, elo nggak perlu sewot gitu, deh! Biarin aja dia capek pamer. Toh, elo nggak cinta dia lagi, kan? Mending elo tunjukin ke dia ... kalo elo itu nggak kenapa-napa setelah putus dengan dia. Dari pada uring-uringan gini, bete, galau, hah... capek dweeeh! Sikap elo yang kayak gitu itu yang bikin dia ngerasa menang!" dumalku pada Tia.
"Iya, elo bener banget, Sy. Tapi gue bete aja ngeliatnya." Tia berkata sambil duduk di kursinya, sementara aku duduk di ujung meja.
"Hai, Osy!" ucap Mila yang menyapaku dengan akrab.
"Hai Mila. Mana yang laen?" tanyaku dengan menebar senyuman.
"Biasa ... lagi pada ngantin. Lah, elo berdua kenapa kayak orang bete gitu?" tuduhnya.
"Itu tuh, temen lo lagi 3G... Gelisah-Galau-Gakjelas!" sahutku lalu memonyongkan bibirku ke arah Tia. "Si Kaka pamer gebetan baru, anak kelas satu."
"Ya cuekin aja, justru elo nggak boleh keliatan bete di depan dia." Mila memilin rambut keritingnya.
"Bener tuh, elo juga harus bisa cari cowok baru!" sergahku menambahi.
"Ogah! Gue mau konsen sekolah aja, udah kelas tiga gini, nanggunglah mau mikirin pacaran. Mendingan gue mikirin gimana caranya dapet nilai terbaik. Ngalahin elo-elo semua!" balas Tia.
"Wuih..., gue suka gaya lo...!" seru Mila.
"Bagus deh! Gue juga kepingin banget dapet nilai bagus pas lulus nanti. Tapi, gimana ya... kalau tiba-tiba ada pangeran tampan nembak gue...? Terus dia bikin gue mabok kepayang ampe nggak bisa belajar..., gitu!" kataku dengan bersikap konyol.
"Mulai deh, mimpi di siang bolong," sergah Mila.
"Omong-omong soal mimpi ... semalem gue mimpi aneh, loh!" kata aku yang merasa teringat tentang mimpi oleh Mila.
"Aneh gimana?" tanya Tia penasaran sambil menopang dagu.
"Ya, aneh gitu, deh! Mm...," aku mencoba mengingat lagi dengan jelas, "di dalam mimpi itu gue liat matahari teraaang... banget. Terus dalam waktu sekejap, gerhana dateng nutupin matahari itu, dan ... semua berubah jadi gelap. Kira-kira apa ya, artinya...?" kataku resah.
"Gituan aja dianggap serius, udah deh, lewatin aja! Rempong!" jawab Tia.
"Iya. Nggak usah dipikirin lagi, Sy!" imbuh Mila.
"HAI...!!!" tiba-tiba suara ramai menyeruak ke dalam ruang kelas.
"Pada makan apa-an sih, kok betah banget di kantin?" tanyaku sedikit protes. Sekadar pemberitahuan, yang baru masuk ada Dewi, Lasmi, Zelta, Yeni, Asep atau biasa dipanggil akrab 'Aak', dan Ican lebih sering dipanggil Sincan. Kemudian mereka semua mengambil tempat untuk duduk nyaman, bersantai sebelum istirahat berakhir.
"Makanan sih, biasalah makanan kantin, tapi yang jadi luar biasa mumpung ada yang bayarin, tuh!" jawab Dewi yang berkulit hitam manis sambil menuding ke arah Asep dengan bibirnya.
"Wah..., tumben, banyak duit dong, Aak?" tanyaku bercanda.
"Iya, nggak ngajak gue, curang!" protes Mila sambil manyun.
"Yaa..., lo bertiga pada ngadem di kelas, gimana gue mau nawarin!" Asep membela diri. Tangannya sibuk kipas-kipas pake buku tulis Mila yang dia samber tadi.
"Eh, btw... tadi mukanya pada serius, emang lagi pada ngomongin apa-an, sih?" selidik Lasmi.
"Biasa aja, nggak serius banget, kok. Gue cerita soal mimpi gue semalem," jawabku santai.
"Mimpi apa-an Sy?" tanya Sincan, semangat.
"Gue mimpi liat matahari terang..., terus ketutupan bulan gitu..."
"Matahari agak... bulet, berarti kosong, bulan juga bulet, berarti ... kosong-kosong!" sergah Asep sambil memainkan jarinya.
"Aak! Plis deh, itu togel Aak..., haram Aak... haraaaam...!!!" protes Dewi dengan sikap serius padahal lebih terlihat menggelikan dan menjijikkan.
"Bercanda. Nggak mungkinlah, Asep kasep si primus alias pria musola, masang togel. Ya, nggak, Can?!" ucap Asep.
"Yo'i...!" jawabnya singkat.
"Mm, ini baru serius nih!" Asep pindah posisi yang lebih dekat padaku. "Logikanya, matahari terang ... bisa jadi itu adalah sesuatu yang akan menerangi hati elo. Yaa..., kabar baek gitu, deh! Tapi, masalah bulan... menutupi matahari itu, gerhana...," Asep garuk-garuk kepala, tampak berat untuk bisa mengungkapkan kalimat selanjutnya.
"Masalah gerhana..., apa Aak?" tanyaku yang merasa tak sabar.
"Ya, gerhana matahari-kan, gelap!" jawab Asep lagi namun kali ini ia menggantung kalimatnya.
"Jadi, akan ada kabar buruknya juga?" tanyaku tiba-tiba jadi sedikit ngeri.
"Ah, nggak perlu serius gitu, gue cuma kira-kira doang!" sahut Asep sambil mengibas tangan di depan wajahku.
"Lagian ngapain juga percaya sama yang namanya ramalan, tahayul!" ucap Tia. "Apalagi yang ngeramal nggak jelas gitu!" serunya lagi mengarah pada Asep.
"Iya, betul. Percaya itu takdir Tuhan, bukan ramalan si Aak!" kata Dewi menambahi.
"Astaga Osy..., gue muter-muter nyariin lo, ternyata ngadem di sini!" Tina datang tiba-tiba sambil ngomel.
"Ya abisnya elo asik pacaran sama Jannes! Mending gue kabur daripada jadi kambing congek!" balasku pada Tina teman sebangku aku.
"Ya sory, deh!" jawabnya sambil menarik lenganku. "Guys, gue harus balikin ini orang ke toko sebelah dulu, ya!" candanya. "Sekarang kelasnya ibu Susi yang killer itu, ayo balik!" omel tina yang menyeretku kembali ke kelas.
"Iya. Galak banget deh, kayak ibu tiri!" kataku sambil beranjak. "Sampe ketemu bubar kelas entar ya, guys!" pamitku pada semua, aku mengikuti langkah Tina yang menyeretku dengan k**i untuk kembali ke kandang kami.
* * *