SATU

2366 Words
Safaa menghembuskan nafas pendek sambil duduk di bangku panjang depan kelasnya. ‘Matematika, tolong damai sama gue, ya.’ Ucapnya dalam hati, lalu mengeluarkan ponsel miliknya untuk mengirim pesan ke Dafa. Daf, gue udah beres. Gue tunggu di tempat biasa. Setelah mengirim pesan di BBM (Blackberry Massenger) yang ditujukan untuk Dafa, Safaa pun berdiri dan berjalan menuju tempat biasa. Tempat biasa yang Safaa maksud tak lain dan tak bukan adalah parkiran belakang sekolah di mana motor Dafa terparkir. Baru beberapa langkah Safaa berjalan, ponsel yang ada di genggamannya bergetar menandakan ada pesan masuk. Gue lagi diruang guru. Lagi mau diintrogasi nih sama Pak Tas. Lu tunggu di kantin aja, makan apa aja yang lu mau. Entar gue yang bayar. Kekehan pun keluar dari mulut Safaa setelah membaca balasan dari Dafa. Sepertinya Dafa tau betul bahwa Safaa memang sedang lapar setelah dihantam pelajaran Matematika. Yaudah. Gue tunggu di kantin. Jangan lama-lama. Beberapa detik setelah Safaa mengirim balasan untuk Dafa, Ponsel Safaa kembali bergetar. Oke Sapa. Makan yang banyak, ya. Love u :) Senyuman Safaa tiba-tiba merekah, pipinya memerah bak buah tomat. Safaa tau kalau Dafa tidak sungguh-sungguh mengatakannya, tapi terserahlah. Dafa memang tidak pernah gagal membuat kupu-kupu di dalam diri Safaa memberontak ingin keluar. Safaa tidak tau sejak kapan ia merasakan hal aneh tersebut, tapi yang Safaa tau, Safaa tidak mau Dafa tau akan hal ini. Safaa pun memasukan kembali benda pipih itu ke saku seragamnya. Lalu berjalan menuju kantin. *** Baru saja Dafa menekan tombol send. Suara dehaman terdengar dari hadapannya membuat Dafa mengangkat wajahnya yang dari tadi terpaku pada layar ponselnya. “Ayo, bisa dimasukan dulu ponselnya ke dalam kantung seragam?” Lanjut Pak Tas. Senyuman yang tadinya melekat dibibir Dafa, kini berubah menjadi cengiran konyol dan anggukan canggung. “Sita aja, Pak Tas hapenya.” Ucap salah satu guru yang masih juga belum meninggalkan mejanya tersebut. Di ruangan itu memang masih ada beberapa guru yang masih standby, sisanya sudah angkat kaki alias pulang. Pak Tas, begitu sebutan akrab para guru maupun murid kepada Pak Tas. “Jangan, Pak!” Seru Dafa. “Kan udah di luar jam pelajaran.” Lanjutnya. “Oleh karena itu lebih baik ponselnya di simpan dulu, yo.” Kata Pak Tas. Sesuai permintaan Pak Tas, Dafa pun mengantongi ponselnya dan duduk tegak sambil melipat kedua tangannya di atas meja milik Pak Tas, menandakan dirinya sudah siap kena omelan karena tidak memakai dasi. Pak Tas melepas kaca matanya dan menatap Dafa tajam. “Dafa, ini sudah ke tiga kalinya kamu tertangkap tidak memakai dasi.” Pak Tas memulai pembicaraan. Lalu ketika Dafa membuka mulutnya untuk membela diri, tangan Pak Tas terangkat, menyuruh Dafa untuk mengurungkan niatnya itu. “Saya belum selesai.” Lanjut Pak Tas. “Kamu wes baca kan Buku Tata Tertib sekolah ini yang diberikan pada saat MOS toh?” Dafa menempelkan jari telunjuknya pada dagunya, matanya menerawang ke atas mengingat-ingat apakah ia sudah membaca Buku Tata Tertib SMA Pancasila yang Pak Tas maksud, atau... Sontak mata Dafa melebar, mengingat bahwa Dafa tidak sempat membaca Buku Tata Tertib itu dan langsung memberikannya pada tukang nasi uduk di dekat rumahnya di hari berikutnya. Dafa tidak menyangka bahwa buku itu akan dipertanggung jawabkan hari ini. “Emm.. Baca, sih, Pak. Tapi udah lupa. He he.” Jawab Dafa cengengesan. Dafa tidak bohong, ia memang membacanya. Maksudnya, membaca judul bukunya. Pak Tas yang mendengar jawaban Dafa pun menyipitkan matanya, tidak yakin dengan jawaban Dafa. “Bener kamu wes baca?” Tanya Pak Tas. Dafa mengangguk. “Baca kok, Pak.” Mata Pak Tas masih menyipit, sepertinya masih ada ketidak yakinan dalam diri Pak Tas. Bila memang sudah membaca, kenapa masih tidak pakai? “Pak, udah dong. Jangan liat saya kaya gitu. Saya jadi grogi” Ucap Dafa. “Yo kalo gitu, kenapa nggak dipakai toh dasinya?” Tanya Pak Tas. Ia tetap menatap Dafa. Dafa menelan air ludahnya, ia tidak tau harus menjawab apa. Apa ia harus menjawab, “Karena gak punya dasi.”, atau “Karena males aja, pak?” Keduanya tidak bisa jadi rekomendasi untuk jawaban Dafa. Melihat Dafa tidak juga menjawab, Pak Tas pun bersuara. “Wes, wes. Saya kira kamu gak baca bukunya dan malah kasih ke tukang nasi uduk.” Katanya, biar cepat. Lagipula Pak Tas juga ingin cepat-cepat pulang. “Loh? Kok Bapak tau?” Jawab Dafa spontan, lalu menutup mulut dengan kedua tangannya, menyadari bahwa ia keceplosan. Pak Tas yang mendengar jawaban Dafa pun mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali, lalu membuka mulutnya lagi. “Jadi bener kamu kasih ke tukang nasi uduk!?” Seru Pak Tas sambil menyondongkan badannya, membuat Dafa menyondongkan badannya ke belakang. Mau dikata apa lagi? Dafa sudah keceplosan, mau mengelak dan mencari alasan lain pun sudah terlambat. Perlahan-lahan, Dafa pun mengangguk membenarkan pertanyaan Pak Tas. Pak Tas kembali menggelengkan kepalanya, ia tidak habis pikir dengan anak satu ini. “Wes lah, daripada saya darah tinggi, mending kita percepat saja.” Ucapnya sambil menatap Dafa tajam. “Kamu mau saya potong 20 Poin atau besok sepulang sekolah bersihkan WC Murid laki-laki?” Dafa sontak terkejut. Ia tidak menyangka bahwa tidak memakai dasi bisa dikenakan potongan sebesar 20 poin. Dia pikir tidak memakai dasi hanya akan dikenakan potongan 5 poin. Hal ini tidak sebanding dengan pelanggaran-pelanggaran yang lainnya. “Lho? Gede amat pak potongannya?” Protes Dafa. “Bolos pelajaran aja potongannya 15 Poin doang, lho, Pak.” Jangan tanya kenapa Dafa tau berapa poin yang terpotong bila bolos pelajaran, itu karena ia pernah bolos pelajaran dan terpotong 15 poin. Sehabis itu, Dafa tidak berani lagi bolos pelajaran. Pak Tas menaikkan kedua alisnya sambil menyender pada badan kursinya, “Kamu wes ketauan tiga kali tidak memakai dasi, tapi baru sekarang, toh, kena poinnya?” Tanya Pak Tas yang disusul anggukan Dafa. Diingat-ingat, memang kemarin saat ketahuan tidak memakai dasi, ia hanya dapat teguran. Tapi baru sekarang ketika ketahuan tidak memakai dasi yang ke tiga kalinya ia dipanggil dan dikenakan potongan poin. Tidak mendengar respon dari Dafa, Pak Tas pun mengulang kembali pertanyaannya yang tadi. “Jadi kamu pilih yang mana, Dafa? Potongan 20 Poin atau bersihkan WC Murid laki-laki?” Dafa terdiam sebentar menghitung-hitung sisa poinnya. Untuk saat ini, poin milik Dafa hanya tersisa 80 Poin. Saat itu Dafa harus mendapat potongan 5 poin karena rambutnya gondrong dan 15 poin karena ketahuan bolos pelajaran Fisika. Dan sekarang, jika poinnya harus dipotong lagi, maka surat peringatan pertama akan keluar. Dafa menggeleng-gelengkan kepalanya membayangkan mamanya menerima surat peringatan dari sekolah untuk Dafa. Sepertinya Dafa mamang harus memilih pilihan kedua yang Pak Tas tawarkan daripada harus menghadapi kemurkaan mamanya saat mengetahui pihak sekolah mengeluarkan surat peringatan untuk Dafa. “Bersihin WC Murid laki-laki aja, Pak.” Kata Dafa pasrah. “Ya sudah kalau gitu. Besok selesai kleas kamu ke ruangan OB dan pinjam alat bersihnya, yo. Kalau sudah selesai kembalikan lagi alat bersihnya.” Kata Pak Tas. “Kalau udah bersih, saya harus laporan dulu ke Bapak atau langsung pulang?” Tanya Dafa. “Yo laporan dulu,” Jawab Pak Tas. “Tapi ndak ke saya. Besok saaya mau langsung pulang.” Lanjutnya. “Terus saya laporannya ke siapa dong, Pak?” Tanya Dafa lagi. “Ke pak Warsito aja. Kalau beliau udah bilang bersih, kamu udah boleh pulang.” Jawab Pak Tas. Pak Warsito adalah salah satu OB yang diberi kepercayaan memegang kunci ruang OB di SMA Pancasila. Dafa pun menganggukan kepalanya pertanda ia mengerti. *** Sampainya di kantin, Safaa langsung memesan satu piring Siomay extra jeruk nipis dan satu gelas es jeruk tidak pakai gula. Untunglah kantin sepi, dengan begitu Safaa bisa makan dengan tenang dan damai. Biasanya, bila pada jam istirahat, para siswa membludak di kantin dan sering sekali Safaa tidak kebagian tempat duduk, alhasil ia harus makan di kelas yang mana dia tidak bisa tambah-tambah saus, sambal, atau kecap. Safaa menatap Siomay yang sudah berada di hadapannya dengan mata yang berbinar-binar. Dengan garpu di tangan kiri dan sendok di tangan kanan, Safaa mencium aroma Siomay miliknya lalu membasahi bibirnya dengan tatapan yang masih sama. Lalu tanpa menunggu lama, Safaa pun membaca doa makan dalam hati dan langsung melahap Siomaynya. Siomay di SMA Pancasila memang tidak pernah mengecewakan. “Wih, biasa aja dong makannya. Udah kaya belom makan 3 hari.” Ucap seseorang yang membuat Safaa mendongak. Kini di hadapannya sudah ada Stefan, teman sekelasnya ketika kelas 9, namun karena Stefan pindah jurusan ke jurusan IPA saat mereka naik ke kelas 10, mereka sudah jarang bertemu. Padahal mereka masih satu sekolah, hanya berbeda lantai. Jurusan IPS untuk kelas 9 sampai 12 di lantai 1 sampai 2, jurusan IPA ada di lantai 3. Safaa tercengir. “Eh, Stefan.” Sapanya. “Biasa, lah, abis “dijejelin” Matematika, jadi begini.” Jawab Safaa dengan mulut yang masih penuh dengan somay, membuat Stefan tertawa mendengarnya. “Kita satu sekolah tapi jarang amat ketemunya, ya.” Ucap Stefan sambil menempatkan segelas es tehnya pada meja yang Safaa Tempati. “Gue duduk disini boleh?” Safaa mengangguk memperbolehkan Stefan duduk dengannya. “Iya, nih. Harusnya gue yang ngomong gitu. Gue setiap istirahat bolak balik kantin, gak pernah tuh berpaspasan sama lo. Lo jarang keluar kelas, ya? Jangan-jangan diem terus di kelas bacain rumus seabrek.” Canda Safaa. Stefan terkekeh, “Gue keluar kelasnya kalo jam segini. Males banget istirahat keluar kelas. Rame banget.” Jawabnya. “Iya juga, sih.” Safaa pun lanjut melahap siomaynya sambil berbincang ringan dengan Stefan. “Anyway, tumben kok lo belum pulang, sih? Pas kelas 9 kalo udah bel pulang kan lo paling tenggo.” Tanya Stefan. “Iye, gue lagi nunggu Dafa soalnya. Dia lagi punya urusan sama Pak Tas.” Jawab Safa. “Lo minum doang, nih? Nggak makan?” Tanya Safaa kemudian. “Nggak, lagi diet.” Jawab Stefan sekenanya. “Badan lo udah kayak atlet renang gitu. Apa yang mau dikecilin?” “Pipi.” Jawab Stefan. “Cowok juga bisa insecure sama pipi, ya? Gue kira cewek doang.” Kata Safaa. “Nggak apa-apa kali, Fan. Unyu kok.” “Iya unyu. Tapi gue kan maunya terlihat sangar, Fa.” “Mau sangar noh kayak Vin Diesel.” Kata Safaa. “Nggak mau kayak siapa-siapa. Maunya kayak gue sendiri tapi versi sangar. Gue kalo sangar kharismanya apik banget kali, ya, Fa? Sekali tatap orang-orang pada segan.” Oceh Stefan yang dibalas anggukan dan kekehan Safaa. “Lo tuh mau jadi preman apa jadi dokter?” Tanya Safaa. “Jadi ayah yang baik.” Jawab Stefan. Safaa tergelak geli. “Najis lo.” Tepat di sedotan terakhir es jeruk Safaa, Dafa muncul. Sebelum Ia duduk di samping Stefan, Dafa menyempatkan diri untuk menyapa Stefan. “Eh, Stefan. Baru keliatan lagi lo.” “Iya, Daf. Ini sekolaan luasnya udah kayak seluas kota Jakarta aja, ya.” “Iya, elo jarang keliatan. Punya jurus menghilang lo?” Canda Dafa. Stefan tergelak, “Nggak, cuma punya jurus ansos aja.” Jawab Stefan dengan candaan juga. Dafa tertawa dan kemudian menatap Safaa. “Siomay sama es jeruknya udah gue bayar.” Kata Dafa. “Balik sekarang, yuk?” “Baru juga nyampe, udah mau balik aja.” Kata Stefan. “Ngopi dulu napa, gue traktir dah.” “Ogah ah, ada lu.” Kata Dafa lalu terkekeh. “Candaaaa. Gue pengen buru-buru balik, nih. Sorry nih, Fan. Bukannya kagak sayang dan kagak cinta.” Lanjut Dafa. “Hmmm… yaudah deh. Gue juga balik.” Kata Stefan. “Yuk.” Jawab Safaa. Lalu mereka berdua pun bergegas ke parkiran bersama-sama. Setelah sampai di parkiran, mereka berpisah karena letak motor mereka lumayan berjauhan. “Tuh anak mukanya kenapa bisa kinclong banget gitu, ya?” Tanya Dafa setelah Stefan sudah meluncur duluan dengan motornya. “Kayak anggota boyband di Korea gitu.” Dafa menyerahkan helm ke Safaa dan memakai helm miliknya. “Iya juga ,ya. Harusnya gue sebagai cewek insecure ngeliat kekinclongan dia.” Jawab Safaa. Ia meraih helm yang Dafa serahkan dan langsung memakainya. “Lo sebagai cewek gak ada perasaan gimana gitu ama Stefan, Fa?” Tanya Dafa. “Dia kaya to good to be true anjir. Udah ganteng, badannya bagus, pinter pula. Lengkap amat dah.” Lanjutnya. “Gue sih ngeliatnya suka aja. Tapi kalo buat dijadiin pacar mah bukan tipe gue.” Jawab Safaa. “Terus tipe lu kayak gimana?” Tanya Dafa seraya menstarter motornya. Tipe gue tuh kayak elo hehe. Jawab Safaa dalam hati. “Kepo lo.” Jawab Safaa. Dafa mengejek jawaban Safaa lalu fokus pada motornya, ia bingung kenapa motornya belum juga menyala padahal ia sudah berusaha menstater dan menyelahnya. “Ni si Jaguar kenapa, si?” Tanya Dafa kepada motor kesayangannya yang ia namai Jaguar. Dari namanya motor Dafa terkesan sangar, namun pada kenyataannya motor Dafa hanya motor matic biasa. “Bensinnya abis gak?” “Kagak. Bensin udah gue isi kemarin sore pulang nganterin lu, masa langsung abis. Kan gue abis itu nggak ke mana-mana.” Jawab Dafa. “Keknya mogok deh.” Lanjutnya. “MOGOK?” Tanya Safaa panik. “Terus gimana dong? Masa mau dorong-dorong motor lu sampe rumah?” Dafa yang kembali berusaha menyalahkan motornya dengan menyelahnya beberapa kali lagi, namun tetap tidak menyala. Lalu Dafa melirik Safaa. “Kayaknya accunya abis, deh.” Ucap Dafa, ia akhirnya menyerah menyelah motornya dan menatap Jaguar dengan seksama. “Jaguar, anak papa. Jangan mogok dong, uang jajan papa tinggal dikit. Sekarang masih tengah bulan lho, nak. Nanti papa gimana survive sampe akhir bulannya kalo kamu jajan?” Kata Dafa kepada Jaguar sambil mengelus-elus jok Jaguar. “Kamu tau, kan, nenek pelit?” Lanjutnya lagi. Safaa yang melihat kelakuan Dafa mengernyit. Ini memang bukan kali pertama Safaa melihat Dafa berbicara pada motornya, tapi ini kali pertama ia mendengar Dafa memanggil Jaguar dengan sebutan nak yang seakan-akan motornya adalah anaknya, lalu Dafa menyebut dirinya papa dan tante Intan disebut nenek? Astaga… Safaa tidak habis pikir. “Kan, kan, gilanya keluar.” Protes Safaa. Kini tatapan Dafa beralih pada Safaa yang masih menatap Dafa jijik. Dafa memelas, lalu melepaskan usapannya dari jok motor. “Kayaknya kita emang harus bawa si Jaguar ke Bengkel Ahong buat jajan.” Ucap Dafa. “Kita?” Tanya Safaa. “Iya, Kita. Lo jangan mau enaknya aja, woi. Seneng bareng-bareng, susah juga bareng-bareng.” Protes Dafa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD