2

1082 Words
″Nduk,″ panggil Miranti di sela-sela santap malam. ″Jumat depan, kamu ada acara?″ Venus menatap curiga Miranti yang duduk di seberang meja, mencoba menelisik niatan tersembunyi yang mungkin dimiliki ibunya. ″Kenapa?″ ″Anaknya Tante Rosa, kamu ingat?″ ″Oh,″ desah Venus tak semangat.  Lagi-lagi, Miranti mencoba memaksa Venus untuk mengikuti acara temu kangen. Tidak masalah jika acara itu hanya berisi teman-teman Miranti. Hanya saja, dalam agenda acara tersebut, Miranti menyertakan kegiatan menawarkan Venus kepada putra-putra sahabatnya. Miranti berharap, salah seorang dari putra kawannya akan tertarik mendekati Venus. ″Kamu ikut, ya?″ ajak Miranti. Venus mengerti maksud tak terucap Miranti.  Menatap ke samping, Anggita sama sekali tidak peduli dengan percakapan ibu dan kakaknya, terus mengunyah makanan yang ada di piringnya. Untuk beberapa alasan, Venus iri dengan Anggita. Adiknya jauh lebih beruntung dalam hubungan cinta. Sudah tak terhitung berapa banyak telepon yang diangkat Venus di rumah, dan keseluruhan penelepon itu meminta tolong untuk bercakap dengan adiknya. Wajar, Anggita selalu menjaga penampilan agar terlihat menarik di mata lawan jenisnya. Kemajuan dalam hal yang tak pernah diikuti Venus: menjaga penampilan. Mengesalkan, Anggita memiliki deretan pengagum yang rela mengantre; berlomba-lomba mendapatkan perhatian.  Venus curiga adiknya itu mengikuti kursus pelet di suatu tempat. ″Apa?″ tanya Anggita curiga. ″Kayaknya,″ ucap Venus menyimpulkan, ″Anggi lebih cocok.″ Anggita langsung menggelengkan kepala sembari memeluk dirinya sendiri.  ″Apaan sih?″ ″Tuh, kan,″ ucap Venus menunjuk adiknya. ″Anggi aja bilang serem.″ ″Anggi ndak mau ikut.″ ″Venus,″ desak Miranti. ″Jangan melarikan diri dari tanggung jawab.″ Venus hanya bisa memutar mata mendengar komentar Miranti. ″Ma—″ ″Tidak ada tapi-tapian,″ potong Miranti. ″Sudah ditetapkan.″ Tak kurang akal, Venus segera melakukan rapalan mantra ajaib, ″Kayaknya, Venus sibuk, deh.″ Miranti mengangkat sebelah alisnya, tidak percaya.  ″Kamu mau ke mana?″ ″Kerja,″ jawab Venus jujur.  Pada hari itu, Venus berencana membereskan seluruh laporan yang menumpuk di meja kerjanya. Hitung-hitung, dia ingin melarikan diri dari acara perjodohan yang jelas tidak diinginkannya. ″Ya sudah,″ ucap Miranti pada akhirnya. ″Jumat depannya lagi aja.″ Venus hanya bisa mengerang, ″Mama!″ *** Venus berhasil melewati acara santap makan tanpa ada pertumpahan darah. Untung saja, dia berhasil mengalihkan perhatian Miranti dari topik mari-nikahkan-Venus menjadi tas-merek-ternama-yang-paling-keren. Heran, Miranti tak pernah bosan dengan topik pernikahan. Venus curiga, ibunya dulu mengalami hal serupa sehingga kini Venus-lah yang harus merasakan pembalasan kusumat Miranti. Dan kini, satu-satunya hal yang bisa Venus lakukan untuk mengusir kepenatan adalah duduk bersantai di teras. Malam ini langit bebas dari awan, setidaknya Venus bisa melihat beberapa titik bintang di langit sana. Tidak cukup banyak hingga bisa disebut sebagai sebuah gugus, namun titik-titik terang tersebut sudah lebih dari cukup untuk menyembuhkan suasana hati Venus yang kacau.  Puas memandang langit, Venus memutuskan untuk menghubungi seseorang. Tanpa ragu, dia segera menekan sebuah nomor di dalam kontak ponselnya. Tak lama kemudian, sebuah suara ramah menjawab panggilan Venus.  ″Gimana kabarmu di sana, Nduk?″ Hasan. Seperti biasa, selalu meyempatkan diri untuk menanyakan kabar putrinya. Dan, itu merupakan salah satu hiburan yang dibutuhkan Venus: berbicara dengan seseorang yang memahaminya. ″Lumayan,″ jawab Venus. ″Tapi Mama....″ Jawaban Venus membuat Hasan terkekeh. ″Mama, ya begitu. Top kalau urusan memaksakan kehendak.″ ″Ehem, nanti kuaduin ke Mama, loh.″ ″Aduin aja, paling-paling topiknya balik ke kamu lagi.″ Pernikahan. Venus sudah bisa menebak arah pembicaraan Hasan.  ″Nduk, memangnya kamu beneran ndak pengin nikah?″ Venus terdiam.  Tak tahu, menikah dan menghabiskan hidup dengan seseorang. Dia belum berpikir sejauh itu. Percaya kepada pasangan dan berjanji sehidup-semati, hal-hal yang sering ditontonnya dalam drama. Sulit sekali menerapkan hal tersebut ke dalam realita. Kepercayaan, Venus sangat sensitif terhadap satu hal itu.  Tiba-tiba, rasa ngilu kembali menusuk jantung. Venus miris dengan keadaannya sendiri, hidup tapi tidak hidup, selalu mencari-cari bayangan sosok di masa lalu. Ketika tersadar, dia hanya berjalan memutar tanpa tujuan. ″Papa ndak akan memaksa. Tapi, Papa harap, kamu mempertimbangkan masa depanmu nanti. Manusia itu mahluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain. Kamu tahu? Tidak ada manusia yang bisa hidup seorang diri, mereka membutuhkan teman hati.″ ″Iya, Pa. Venus akan berusaha,″ ucap Venus membesarkan hati Hasan. ″Bagus.″ Venus memutar mata, ternyata Hasan pun berpikir sama mengenai masa depan Venus: menikah dan segera memiliki anak. Impian sederhana yang sayangnya sulit untuk diwujudkan. ″Kapan Papa ke Jakarta?″ Lagi-lagi, suara tawa terdengar dari seberang telepon. ″Nanti, kalau urusan di Semarang tuntas.″ ″Bye, Pa. Baik-baik di sana.″ ″Kamu juga. Pikirkan kembali nasihat Papa.″ *** Di dapur, Anggita sibuk mendengarkan ceramah Miranti. Satu-satunya kegiatan yang membuat Anggita tetap dalam kesadaran hanyalah mencuci piring-piring kotor yang ada di bak cuci. ″Mbakmu itu,″ omel Miranti sembari mengelap piring. ″Selalu begitu. Anti-lelaki. Mama kan jadi curiga. Jangan-jangan, dia ketularan pola hidup yang tidak sehat.″ Topik pembicaraan ″Venus yang berusaha melarikan diri dari perjodohan″ kembali di angkat ke permukaan. Pernah, ketika Miranti berusaha mengenalkan Venus kepada salah seorang putra sahabatnya. Putri yang dibanggakan malah berpura-pura mengidap penyakit menular dan sukses membuat si calon menantu impian Miranti mengajukan pengunduran diri. Benar-benar. Miranti tak habis pikir dengan putrinya yang satu itu. ″Ma,″ ucap Anggita menenangkan. ″Biarin aja. Nanti juga jodohnya Mbak Venus akan datang dengan sendirinya.″ ″Kalau orang lain mungkin iya, tapi ini mbakmu.″ Anggita hanya bisa mengerutkan kening. ″Lagian, calon yang Mama bawa kurang ganteng.″ ″Kurang ganteng gimana? Ngi, putranya Om Rudi itu keturunan Arab, hidungnya mancung, tinggi lagi. Nyari di mana coba, pria seganteng itu?″ ″Kata temenku, orang Arab itu suka poligami.″ ″Mbakmu itu memang nggak paham selera bagus,″ ucap Miranti mengabaikan komentar Anggita. ″Pokoknya, Mama nggak bakal nyerah.″ Anggita hanya bisa menggeleng. Pasrah.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD