3

1354 Words
″Senior,″ tanya Venus, ″minus berapa?″ Di perpustakaan, Venus yang seharusnya mulai menyelesaikan PR-nya mulai melakukan interogasi kepada rekannya yang duduk di seberang meja. Sialnya, cowok yang diajak bicara lebih tertarik menyelesaikan bacaan yang ada di tangannya, mengabaikan kehadiran Venus. Venus tak kuasa memperlihatkan wajahnya yang memberengut. ″Senior.″ Cowok berkacamata itu akhirnya mendongakkan kepala. ″Berisik.″ ″Minus berapa?″ tanya Venus mengabaikan perengutan penghuni perpustakaan. ″Apa kamu nggak tahu? Ini bukan kacamata minus.″ ″Aha,″ seru Venus. ″Pasti plus, kan?″ Kerutan berbentuk V muncul di dahi Senior. ″Kamu nggak ada acara lain?″ ″Bosan,″ katanya. ″Di kelas nggak ada yang menarik. Ada saran?″ ″Kamu bakar aja, bangku ma kursi di kelas.″ ″Memangnya boleh?″ tanya Venus, penasaran. Senior menganggukkan kepala. ″Boleh, tapi tanggung sendiri risikonya.″ Venus mendengus kesal, merasa dipermainkan.  ″Em, Senior. Nama aslimu siapa, sih?″ Meski Venus sudah cukup lama berbincang dengan pemuda berkacamata tersebut, namun masih saja, Venus belum mengetahui nama asli pemuda yang dipanggilnya sebagai Senior tersebut. ″Kamu pengin tahu?″ Venus menganggukkan kepala. Semangat. Cowok itu memberikan isyarat dengan jari telunjuknya agar Venus mendekat.  Tanpa rasa curiga, Venus mencondongkan tubuh ke dekat Senior.  Lalu, ketika Senior berbisik di telinga Venus, dia bisa merasakan embusan napas hangat yang menerpa kulitnya. ″Namaku,″ katanya, ″Donal Bebek.″ ″Monyet.″ *** Hujan sukses mengguyur Jakarta. Padahal beberapa menit yang lalu cuaca panas menyengat. Kini, bulir-bulir air berjatuhan dari langit. Venus berdiri di depan toko roti langganannya sambil menatap lesu jalanan yang basah. Entah mengapa, kenangan di perpustakaan kembali membayang di benak Venus.  Aroma basah berhasil meruntuhkan pertahanan Venus; membuatnya merasa tak berdaya.  Bosan dengan pemandangan hujan, Venus mengalihkan pandangan pada kegiatan di dalam toko. Beberapa orang terlihat sibuk bercakap, bercanda dengan teman, dan pemandangan yang membuat Venus masam: sepasang anak SMA yang tengah bercengkerama. Venus langsung merasa menciut. Cinta ya? Venus menatap langit yang memperlihatkan gumpalan awan hitam. Lalu, dia merasa kesepian. Ayolah, seorang Venus tiba-tiba melankonis? Apa kata teman-teman sekantornya nanti? Cepat-cepat Venus menepis bayangan kelabu yang menghampirinya. Senior, aku merindukanmu. Dia tidak bisa menyangkal rasa kesepian yang dirasakannya. Perasaan yang apabila diabaikan, maka rasa itu semakin menggumpal dan menelan seluruh ketenangan jiwa sang pemilik. Sangkal, sangkal, dan sangkal. Sisi gelap yang coba Venus hilangkan darinya itu ada dan nyata. Begitu nyata dan Venus telah menjadikan sisi gelap hatinya sebagai jati dirinya di masa kini. Tidak ada kepercayaan, yang ada hanyalah kepentingan.  Semudah itu, dan Venus mencoba memahami kenyataan hidup di sekitarnya.  Lagi-lagi, rasa nyeri kembali menusuk jantung.  Kedua tangan Venus mencengkeram erat tas plastik yang dibawanya. Kenapa melupakan masa lalu begitu sulit untuk dilakukan? Tidakkah ada obat di dunia ini yang bisa menolong Venus; menyembuhkan kekecewaan yang ada di hatinya dan menutup luka dalam jiwanya. Tin. Suara klakson mobil menarik perhatian Venus.  Sebuah mobil segera merapat di sisi jalan. Dari dalam SUV hitam nampak sosok yang tak asing baginya. Seorang pemuda berjas hitam keluar dari dalam SUV. Dia segera berlari sembari menutupi kepala dengan tangan untuk melindungi diri dari tetesan air hujan. Begitu dia menjejakkan kaki di emperan toko, jelas sudah siapa gerangan tersebut. ″Romeo?″ Mereka berdua saling bertatapan. Venus dan Romeo. Kemudian, Romeo tersenyum melihat keberadaan Venus.  ″Kamu juga pelanggan di sini?″ tanyanya. Venus mengangguk. Setelah itu, Romeo langsung melenggangkan kaki memasuki toko. Romeo segera memilih roti yang diinginkannya dan setelah selesai membayar, dia kembali menghampiri Venus yang masih berdiri di emperan toko.  ″Sudah selesai?″ tanya Venus. Tampak bungkusan plastik putih dengan logo toko roti di tangan kanan Romeo.  ″Kenapa nggak langsung pulang?″ tanya Romeo. ″Hujan,″ jawab Venus. ″Nggak bawa payung.″ ″Mau bareng?″ Venus langsung menyipitkan mata. Seolah kata ″pulang″ itu terdengar asing.  ″Aku nunggu sampai hujan reda saja.″ ″Sepertinya bakalan lebat. Kamu nggak perlu takut begitu, aku bakalan nganter kamu sampai rumah, kok.″ Tepat setelah Romeo berucap, hujan makin deras mengguyur.  Huh, Venus merasa alam tak berpihak padanya.  *** Di dalam mobil, Venus tidak banyak bicara. Kedua matanya terus menatap jalanan. Derai air hujan menghias kaca jendela, menciptakan siluet kelabu di hati Venus. Selama itu pula, ia terus mengelus pinggiran gelang perak yang melingkar di tangan kanannya. Ya, ketika dia merasa sendu, Venus akan selalu menyentuh gelang peraknya. Gelang dengan untaian mawar yang menghias sisi-sisinya. Satu-satunya barang yang paling berarti bagi Venus. ″Kenapa kamu nggak bawa mobil sendiri?″ tanya Romeo memecah keheningan. Venus masih menatap jalanan, tidak sedikit pun dia berniat menatap Romeo yang duduk di sampingnya.  ″Nggak bisa,″ jawabnya. ″Takut.″ Mendapati rekan semobilnya tengah dalam kondisi tidak ingin berbincang, Romeo hanya bisa menyenandungkan, ″Hm....″ Venus tidak bisa memahami alasan teman-teman sekantornya memasukkan Romeo ke dalam jajaran pria keren yang layak diperebutkan. Satu-satunya yang Venus yakini hanyalah kehebohan besar jika sampai Winda dan yang lainnya tahu dia pulang semobil bersama Romeo. Aduh! Curah hujan yang turun mulai berkurang. Lamat-lamat, cahaya matahari kembali menembus mega mendung dan mengantarkan panasnya. Cuaca kembali cerah, meskipun masih tersisa sedikit rintik hujan yang berjatuhan.  Jika saja cuaca cerah bisa lebih cepat datang sebelum dia berjumpa Romeo, mungkin Venus tidak perlu merasa risi selama beberapa menit di mobil.  Mau bagaimana lagi, seolah langit punya caranya sendiri untuk memasangkan manusia.  Mungkinkah ini sebuah pertanda? Tidak sampai beberapa menit, mobil Romeo akhirnya mengantarkan Venus sampai di teras rumahnya. Tampak, Miranti cemas menunggu kedatangan Venus. Begitu melihat sosok Romeo yang membukakan pintu mobil untuk Venus, kontan raut wajah Miranti langsung secerah cuaca di pagi hari.  Segera Miranti berderap menghampiri Venus dan Romeo. ″Eh, ternyata kamu sudah punya calon, toh. Pantes, ndak mau sama pilihan Mama. La wong pilihannya sekeren ini,″ cerocos Miranti tanpa dosa.  Romeo yang tidak mengerti maksud ucapan Miranti, hanya bisa mengerutkan dahi tanpa berkomentar. Sementara Venus segera memblokade ucapan Miranti sebelum membuatnya bertambah malu. ″Mama!″ ″Apa sih? Namanya siapa? Teman kerja ato apa?″ Wajah Venus berubah merah melihat kelakuan Miranti. Harusnya Miranti menanyakan alasan Venus terlambat pulang atau apalah. Namun ini? ″Bukan,″ sela Venus. Raut kekecewaan langsung menggantikan keceriaan Miranti. Wajahnya mulai layu, harapannya bahwa sang putri sudah bertobat dari keinginannya melajang sirna sudah.  ″Ealah, bukan?″ ″Maaf, ya,″ ucap Venus pada Romeo. ″Maklum, Mama kebanyakan nonton sinetron yang tidak bertanggung jawab.″ Melihat sosok Venus yang seperti itu, membuat Romeo tak bisa menyembunyikan senyum. Dua lesung pipit langsung muncul di pipinya. ″Sayangnya bukan, Bu.″ Sayangnya bukan, Bu. Miranti langsung memukul pelan lengan Romeo. Kebiasaan yang selalu dia lakukan pada suaminya ketika sedang bercanda. ″Sayang sekali, ya?″ ″Tapi, kalau Ibu mengizinkan, saya ingin menjalin hubungan serius dengan Venus.″ Tunggu sebentar, seru Venus dalam hati, mengizinkan apa? Menjalin apa? Hubungan apa? Serius? Yang benar saja?  Tidak. Venus pasti salah dengar. Tidak mungkin Romeo memiliki niatan semacam itu. Lagi pula, mereka berdua hanya teman kerja, tidak lebih. Mana bisa Venus mengamini ucapan Romeo? Namun.... Ucapan Romeo disambut hangat oleh Miranti. ″Wah, kalau itu....″ ″Ma!″ Mengabaikan suara protes sang anak, Miranti langsung menawarkan jasa pendekatan pada Romeo. ″Ndak mampir?″ Romeo menggeleng. ″Maaf, sudah ditunggu. Saya mohon pamit.″ Akhirnya Romeo meninggalkan kediaman Venus dengan kehebohan yang didambakkan Miranti.  Kedua mata Miranti berbinar bahagia. Dia segera masuk ke dalam rumah dan mencari ponsel untuk menyebarkan kabar kebahagiaan sepihak kepada teman satu arisannya. ″Tidak mungkin bisa lebih buruk lagi,″ keluh Venus.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD