4

833 Words
″Kenapa soal semudah ini saja kamu nggak bisa?″ Venus hanya memonyongkan bibir mendengar keluhan yang diarahkan untuknya.  Sudah hampir sepuluh menit dia diajarkan rumus persamaan, namun belum juga menampakkan tanda-tanda Venus akan mampu mengerjakan soal tersebut. ″Senior,″ katanya. ″Sabar sedikit kenapa? Pelit amat.″ Senior langsung membenarkan posisi kacamatanya. Lelah mendengar komentar pedas Venus.  ″Kamu benar-benar nggak ada harapan.″ Alis Venus berkedut mendengar ucapan yang merendahkan kemampuan otaknya yang sebenarnya memang masuk kategori rendah dalam bidang berhitung. ″Ckckck, itu karena aku bukan orang yang perhitungan,″ bela Venus. ″Senior, kalau galak, nanti aku nggak bakalan naksir, loh.″ ″Bukannya kamu naksir Adrian?″ ″Hati bisa berubah.″ ″Kamu yakin?″ Venus mengedikkan bahu. ″Memangnya ada yang tidak mungkin di dunia ini? Semuanya bisa terjadi. Lihat saja, dulu manusia tidak ada yang percaya bahwa kita bisa pergi ke buan. Namun sekarang? Ada roket.″ ″Heh,″ dengus si cowok. ″Hati dan roket itu berbeda.″ ″Ah, Senior. Kenapa kita tidak bisa menggunakan analogi yang sama?″ ″Kamu pikir ada manusia yang bisa menghidupkan orang yang sudah mati?″ Venus mengerutkan dahi. Bingung. ″Nah, masih ada yang tidak mungkin bisa dilakukan di dunia ini, kan?″ ″Ya, ya. Senior.″ *** Romeo tersenyum mengingat masa SMA-nya. Saat di mana dia melihat Venus sebagai pribadi yang ceria. Tidak pernah menyangka, Romeo akan berjumpa dengan Venus setelah sekian lama. Walaupun, Venus sama sekali tidak mengenali Romeo. Mungkin karena Romeo sudah banyak berubah; dia tidak lagi mengenakan kacamata, rambutnya kini tertata rapi, dan wajahnya nampak lebih terawat—jauh dari penampilannya semasa SMA. Dulu, Venus sering memanggilnya dengan ″Senior″. Mereka berdua pertama kali berjumpa di perpustakaan. Romeo sering menghabiskan waktu di sana, hampir seluruh buku yang ada di perpustakaan sudah pernah dibaca Romeo. Dia jarang bercakap dengan siswa lainnya. Hingga saat di mana dia berjumpa Venus; sosok adik kelas yang menjengkelkan. Gadis periang yang jauh dari pribadi sedingin es. Berapa kali Romeo harus mengusir Venus karena mengganggu ketenangan perpustakaan. Dulu, Romeo menyebut Venus dengan ″cempreng″, bukannya marah, Venus malah tersenyum kepada Romeo dan berkata, ″Kalau begitu kita cocok.″  Si cempreng yang tak bisa diharapkan dalam ilmu berhitung, dan si pendiam yang introvet. Dua pasangan yang berlawanan bagai api dan air, yang anehnya terlihat serasi. Meski banyak hal dari Venus yang berubah, Romeo menemukan satu hal yang konstan dari Venus: gelang mawar pemberiannya—gelang mawar yang dulu Romeo berikan pada Venus. Venus masih saja menyimpan benda pemberiannya tanpa tahu bahwa si pemilik terdahulu tengah memandangi Venus. Karena itu, Romeo yakin pada perasaannya.  Hati bisa berubah. Romeo sangsi dengan ucapan Venus. Hati Romeo masih belum beranjak pada pilihan lain. Waktu berlalu, hari berganti, namun apa yang diinginkan oleh Romeo masih sama. Jika saja Venus bisa mendengar suara hati Romeo.  Sayang, keinginan itu hanya ada dalam benak Romeo. *** Duduk di atas karpet. Nathan sedang asik bermain game PS terbaru yang didapatnya. Sudah lama dia ingin memainkan game tersebut. Kali ini, dia berencana akan melewati semua level yang ada dalam permainan dan mencetak nilai tertinggi.  Kedua matanya asik menatap karakter yang dipilihnya untuk melawan mahluk penjaga gerbang utama, dengan perolehan poin yang didapatnya, Nathan berusaha memenangkan pertarungan dalam game dengan bantuan item yang didapatnya. Tinggal sedikit lagi ... ya, sedikit lagi, maka dia akan.... ″Ngapain sih, serius amat?″ Romeo. Tanpa rasa bersalah, dia mengacak-acak rambut adiknya yang jelas tengah serius mendalami pertempuran di dalam PS.  Nathan. Sang korban. Dia hanya bisa menatap murung layar monitor yang bertuliskan dua kata ″you lose″ yang dicetak dengan huruf balok.  ″Argh, Kakak.″ ″Apaan, sih? Nih.″ Romeo menyerahkan bungkusan berisi roti kepada Nathan. Jengkel. Nathan segera mengambil sebungkus roti dan menyobek plastik pembungkus. Dengan gigitan besar, dia mengunyah daging roti. ″Aku kalah. Dan, gara-gara siapa itu?″  Romeo mengempaskan diri ke sofa. Sama sekali tidak peduli dengan akibat dari perbuatannya.  ″Kakak benar-benar ngeselin. Aduh, aku harus ngulang dari awal lagi.″ Romeo melonggarkan ikatan dasinya. Meski lelah, setidaknya hari ini dia senang. Untung saja dia berinisiatif untuk mampir ke toko roti tersebut, dan untung saja hujan hari ini turun. Tidak biasanya Romeo menyukai hujan. Tungu. Sebenarnya Romeo cukup menyukai hujan. Kira-kira.... ″Kakak,″ ucap Nathan memecah lamunan Romeo. ″Kok, kelihatannya senang begitu?″ ″Biasa aja.″ Kening Nathan berkerut. Ada yang aneh. ″Yakin?″ ″Kakakmu ini sehat.″ Entahlah. Nathan merasa ada sesuatu yang aneh dengan kakaknya. Hm ... bisa jadi kakaknya bertemu dengan wanita cantik. Nathan pasti akan tahu nama wanita itu.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD