Cerita Tentang Peristiwa yang Dialami Oleh Syaikh Abdul Aziz

1051 Words
Tanpa diduga oleh Nagaswara dan kawan-kawannya. Tiba-tiba saja, ada sekitar lima orang pria keluar dari perkebunan yang ada di pinggiran jalan itu, masing-masing dari mereka menggenggam sebilah pedang tajam dan langsung menyerang Nagaswara dan kawan-kawannya. Demikianlah, maka para santri itu pun langsung terlibat pertarungan yang sengit. Nagaswara dan kawan-kawannya langsung menghunus pedang mereka. "Lawan mereka dan jangan mundur!" seru Nagaswara yang dipercaya oleh Syaikh Abdul Aziz sebagai pimpinan di pondok pesantren itu. Satu orang dari mereka berhasil dilumpuhkan oleh Nagaswara dengan pedangnya. Namun, meskipun sudah terluka orang itu kembali bangkit dan melanjutkan pertarungannya dengan Nagaswara. "Kepung mereka!" seru Wirya Tama. Para santri itu dengan sangat cepat langsung bergerak melingkari enam orang pria bercadar itu. Sehingga posisi mereka mulai terdesak oleh serangan puluhan santri murid Syaikh Abdul Aziz. Enam orang pria bercadar itu ternyata tidak sanggup lagi meladeni puluhan santri yang melakukan perlawanan terhadap mereka, sehingga mereka pun langsung berlompatan ke tempat gelap dan berlari meninggalkan tempat itu. Nagaswara dan kawan-kawannya kemudian langsung mengejar hingga tiba di ujung desa. Namun, mereka kehilangan jejak dan memutuskan untuk kembali ke padepokan. "Kita tidak bisa melanjutkan pengejaran ini, sebaiknya kita kembali saja ke padepokan! Malam ini kalian harus memperketat pengamanan, jangan lengah!" seru Nagaswara. Dengan demikian, Nagaswara bersama kawan-kawannya langsung kembali ke pondok pesantren. Karena mereka tidak mungkin dapat mengejar komplotan para penjahat itu. Setibanya di pondok pesantren, Nagaswara dan para santri lainnya langsung menuju kediaman Syaikh Abdul Aziz yang berada di samping bangunan pondok pesantren. Saat itu, ia tengah berbaring di tempat tidurnya, tampak tangan kanannya dibalut sehelai kain. Di samping kirinya tampak Sandira dan ibunya tengah duduk dan berbincang dengan Syaikh Abdul Aziz. "Assalamualaikum," ucap Nagaswara ketika sudah tiba di rumah gurunya. "Waalaikum salam," jawab Syaikh Abdul Aziz dan semua yang ada di ruangan tersebut. Nagaswara dan Wirya Tama langsung duduk menghadap ke arah pembaringan guru mereka. Sementara itu, para santri lainnya berada di luar. Mereka mulai memperketat pengamanan di pondok tersebut, karena khawatir teror tersebut datang kembali. "Mohon maaf, Syaikh. Kami tidak dapat menangkap pelakunya, akan tetapi kami memiliki kecurigaan besar terhadap mereka." "Maksudmu curiga terhadap siapa?" potong Syaikh Abdul Aziz meluruskan dua bola matanya ke arah Nagaswara. "Kami curiga orang-orang itu merupakan para prajurit kerajaan Bumiwana Loka," jawab Nagaswara. Syaikh Abdul Aziz langsung bangkit dengan dibantu oleh Sandira dan juga istrinya. Kemudian, ia duduk menghadap ke arah Nagaswara dan Wirya Tama. "Apakah kau yakin?" tanya sang syaikh. "Yakin, Syaikh! Aku curiga dengan alas kaki yang mereka gunakan, alas kaki mereka mirip sekali dengan alas kaki yang digunakan oleh para prajurit kerajaan Bumiwana Loka," jawab Nagaswara penuh keyakinan. Syaikh Abdul Aziz mengerutkan keningnya, ia terdiam sejenak. 'Dugaanku ternyata benar sama dengan yang dikatakan oleh Ranubaya,' kata Syaikh Abdul Aziz dalam hati. Kemudian, ia menarik napas dalam-dalam. Dipandanginya wajah para santrinya itu. "Berarti apa yang dikatakan oleh Ranubaya memang benar adanya, raja tidak menghendaki jika aku hidup. Tentu, dia merasa takut jika aku ini akan memimpin pemberontakan terhadap pemerintah kerajaan," ungkap Syaikh Abdul Aziz. "Kalian persiapkan diri, setelah Salat Subuh kita akan meninggalkan tempat ini!" sambungnya lirih. "Kita akan pergi ke mana, Syaikh?" tanya Wirya Tama bersikap hormat terhadap sang guru. "Ke hutan tempat persembunyian Resi Mulawa dan Ranubaya, di sana kita akan menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap pihak kerajaan!" tandas Syaikh Abdul Aziz menjawab pertanyaan Wirya Tama. "Tapi, kau jangan ikut Wirya!" tambah sang syaikh kepada Wirya Tama. "Kenapa, Syaikh?" tanya Wirya Tama mengerutkan keningnya. Ia merasa heran, mengapa gurunya melarang dia untuk ikut. "Sebaiknya kau pulang saja ke desamu, kelak kau harus menyampaikan pesan ini kepada Mahapatih Garma Daksa atau Syaid Abdullah jika mereka mencariku, karena aku percaya bahwa mereka tidak akan berpihak pada raja. Tapi ingat, kau harus berhati-hati dalam mengatakan semuanya!" jawab Syaikh Abdul Aziz. "Baik, Syaikh." Wirya Tama mengangguk sambil merangkapkan kedua telapak tangannya penuh rasa hormat terhadap sang guru. Dengan demikian, ketika menjelang matahari terbit. Syaikh Abdul Aziz dan para pengikutnya beserta keluarganya langsung berangkat meninggalkan desa Sindang. Saat itu, Syaikh Abdul Aziz bertujuan hendak menemui Resi Mulawa dan Ranubaya di sebuah hutan yang berada di wilayah perbatasan antara kerajaan Bumiwana Loka dengan wilayah kerajaan Dongkal. Begitu juga dengan Wirya Tama, pagi itu ia langsung kembali ke desa Marga memenuhi perintah gurunya yang melarang dirinya ikut karena mendapatkan tugas untuk menyampaikan pesan gurunya kepada Syaid Abdullah. Demikianlah, maka Wirya Tama langsung mengakhiri penuturannya tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi pada Syaikh Abdul Aziz dan para pengikutnya. "Seperti itu cerita jelasnya, Panglima," ujar Wirya Tama di akhir penuturannya. Syaid Abdullah saling berpandangan dengan Jafar, ia menghela napas dalam-dalam. Kemudian berkata, "Aku akan melaporkan semua ini kepada Mahapatih Garma Daksa, kemungkinan besar aku akan langsung mengundurkan diri, dan akan kembali secepatnya ke sini." "Sebaiknya, Panglima dan gusti mahapatih jangan tergesa-gesa! Harus Panglima pahami bahwa raja memiliki sifat licik dan jahat!" timpal Jafar menyarankan. Syaid Abdullah hanya mengangguk pelan, ia mengerti dengan kekhawatiran yang dirasakan oleh Jafar. Kemudian, ia pun berkata, "Dalam waktu cepat ini, aku akan segera meletakkan jabatanku sebagai panglima prajurit. Aku akan berangkat ke tempat pamanku dan bergabung dengan kelompok santri." Syaid Abdullah kemudian berpaling ke arah Wirya Tama. "Aku harap kau bisa mengantarkan aku ke sana," kata Syaid Abdullah kepada Wirya Tama. "Baik, Panglima," jawab Wirya Tama merangkapkan kedua telapak tangannya. "Jika memang seperti itu, sebaiknya Panglima dan Wirya Tama berangkat besok lusa saja!" saran Jafar lirih. "Baiklah, aku akan segera membicarakan hal ini dengan Mahapatih Garma Daksa setelah aku tiba di istana, aku akan langsung meletakkan jabatanku ini," kata Syaid Abdullah menanggapi saran pria paruh baya itu. 'Sangat disayangkan sekali, jika orang sebaik ini harus mundur dari kedudukannya. Namun, ini adalah jalan terbaiknya agar terhindar dari pemerintah yang zalim,' batin Jafar, ia sangat menyayangkan keputusan Syaid Abdullah yang hendak mundur. Akan tetapi, hal tersebut tak dapat dicegah lagi, karena Syaid Abdullah sendiri sudah teramat muak dengan sikap raja. Obrolan mereka pun terus berlanjut hingga tengah malam, kemudian Syaid Abdullah dipersilakan untuk beristirahat di dalam kamar yang sengaja dipersiapkan untuk tamu. Namun, Syaid Abdullah menolaknya, ia lebih memilih tidur di luar bersama Wirya Tama. "Sebaiknya, Aki masuk saja! Aku lebih nyaman tidur di luar bersama Wirya Tama," kata Syaid Abdullah. "Ya, sudah kalau memang tidak mau tidur di dalam. Aku pun tidur di luar saja bersama kalian," kata Jafar. Dengan demikian, mereka pun langsung beristirahat sejenak. Tidur bersama di bebalean yang ada di teras rumah tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD