Wirya Tama Mengungkapkan Kejadian yang Sebenarnya

1031 Words
Mendengar perkataan Syaid Abdullah, Ki Jafar pun mulai paham bahwa Syaid Abdullah sudah mulai curiga akan dengan adanya campur tangan prajurit kerajaan. 'Rupanya dia sudah mencurigai adanya campur tangan para prajurit kerajaan. Tapi, aku tidak boleh mengatakannya langsung di tempat ini, aku khawatir ada mata-mata dari pihak istana,' kata Ki Jafar dalam hati penuh kekhawatiran. "Mohon maaf, Panglima. Aku tidak ingin menjawab pertanyaan Panglima di tempat ini, sebentar lagi mau isya. Sebaiknya, malam ini Panglima menginap saja di rumahku, nanti Wirya Tama yang akan menceritakan semua tentang peristiwa yang dialami oleh Tuan Syaikh Abdul Aziz!" jawab Ki Jafar. Lantas, Syaid Abdullah kembali bertanya, "Siapa Wirya Tama itu, Ki?" Syaid Abdullah mengerutkan keningnya sambil memandangi wajah Ki Jafar. "Dia adalah keponakanku, santrinya tuan syaikh," jawab Ki Jafar lirih. "Aku harap, Panglima bersedia menginap di rumahku malam ini," sambungnya. Syaid Abdullah terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran dari pria paruh baya itu. Lantas, ia pun segera menjawab, "Baiklah, aku akan menginap di rumah Aki. Lagi pula percuma aku melanjutkan perjalanan ini, karena pamanku tidak ada di desa Sindang dan pulang ke istana pun sudah malam." "Iya, Panglima. Nanti setelah tiba di rumahku, keponakanku yang akan menceritakan semuanya tentang peristiwa yang dialami oleh Tuan Syaikh Abdul Aziz," kata Ki Jafar dengan lirihnya. Syaid Abdullah menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Baiklah kalau memang seperti itu," desis Syaid Abdullah. Tidak terasa, waktu isya pun tiba. Syaid Abdullah dan Jafar langsung masuk ke dalam Musala begitu juga dengan puluhan penduduk yang sudah tiba di Musala tersebut. Mereka langsung melaksanakan Salat Isya berjamaah dengan dipimpin oleh Ki Jafar sebagai sesepuh dan pengurus tempat ibadah umat Muslim di desa itu. Selepas melaksanakan Salat Isya berjamaah, Ki Jafar langsung mengajak Syaid Abdullah ke kediamannya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat ibadah tersebut. Mereka hanya berjalan kaki saja, sementara kuda milik Syaid Abdullah telah lebih dulu dibawa ke rumah Ki Jafar oleh keponakannya. Setibanya di kediaman Ki Jafar, Syaid Abdullah langsung dipersilahkan duduk dan diberi jamuan makan dan minum oleh seorang pemuda yang tinggal bersama Ki Jafar di rumah itu. Dia adalah Wirya Tama—keponakan Ki Jafar. "Aku sangat prihatin dengan peristiwa kematian Pangeran Dwikarma Darmawangsa. Sejatinya, kami yang berada di desa ini sangat mencurigai bahwa kematian itu tak lazim," ujar Ki Jafar di sela perbincangannya dengan Syaid Abdullah. "Aku pun demikian, justru niatku datang ke desa Sindang karena memang ingin menggambarkan tentang peristiwa sebenarnya kepada pamanku," kata Sayid Abdullah lirih. Setelah itu, Ki Jafar pun langsung mengatakan bahwa pelaku teror dan pembakaran pondok pesantren milik Syaikh Abdul Aziz adalah para prajurit kerajaan Bumiwana Loka. Mereka datang tengah malam ketika suasana desa mulai hening, dan langsung membakar pondok pesantren yang sudah tak berpenghuni itu. "Apa Aki yakin pelakunya adalah prajurit kerajaan?" tanya Syaid Abdullah menatap tajam wajah pria paruh baya itu. "Aku sangat yakin, Panglima. Wirya Tama sendiri yang mengetahui hal ini ketika dia sedang berkunjung ke desa Sindang untuk mengontrol keadaan pondok pesantren itu," jawab Ki Jafar, lalu menoleh ke arah pemuda yang duduk di sebelahnya. "Benar, 'kan Wirya, kau sendiri yang melihatnya?" tanya Ki Jafar pada Wirya Tama. Syaid Abdullah meluruskan pandangannya ke arah Wirya Tama. Lalu berkata, "Sebaiknya kau katakan saja awal mula peristiwa itu terjadi!" pinta Syaid Abdullah lirih. Wirya Tama menundukkan kepalanya, ia tampak ragu dan merasa takut jika harus bercerita tentang peristiwa tersebut kepada Syaid Abdullah. Iya beranggapan bahwa Syaid Abdullah adalah seorang punggawa kerajaan, sudah barang tentu akan memihak kepada pemerintahan. Meskipun Syaikh Abdul Aziz sudah meyakinkan dirinya bahwa Syaid Abdullah pasti tidak akan berpihak kepada pemerintah kerajaan. "Katakan saja, Wirya! Kau jangan takut! Aku tidak akan memihak kepada pemerintah kerajaan, meskipun aku merupakan bagian penting dari kerajaan. Aku tahu kebenaran dan tidak mungkin memposisikan diri di jalan yang salah!" ujar Syaid Abdullah paham dengan sikap yang ditunjukkan oleh Wirya Tama. Dengan demikian, Wirya Tama mulai mengangkat wajah. Ia menarik napas panjang, lantas berkata, "Aku khawatir dengan keselamatanku, jika aku mengatakan semuanya. Apakah Panglima bisa melindungi keselamatanku?" tanya Wirya Tama. Syaid Abdullah tersenyum lebar, tangan kanannya ia angkat dan diletakkan di atas pundak pemuda itu. Kemudian berkata, "Katakan saja! Aku akan menjamin keselamatanmu, bahkan keselamatan penduduk desa ini!" tegas sang panglima memberikan keyakinan pdnuh kepada Wirya Tama agar tidak ragu lagi mengatakan semuanya. Mendengar perkataan dari Syaid Abdullah, Wirya Tama pun merasa lega. "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya," jawab Wirya Tama. Setelah itu, ia pun langsung menceritakan tentang peristiwa yang dialami oleh Syaikh Abdul Aziz dan seluruh pengikutnya. "Semua kejadian ini, berdasarkan apa yang aku ketahui, karena aku termasuk santri Tuan Syaikh Abdul Aziz," ujar Wirya Tama. Ki Jafar dan Syaid Abdullah menyimak dengan baik apa yang dituturkan oleh pemuda itu. Kemudian, Wirya Tama langsung melanjutkan penuturannya. Menjelang tengah malam, Syaikh Abdul Aziz tiba-tiba saja mendapatkan serangan mendadak dari seorang pria tak dikenal. Tangan kanan Syaikh Abdul Aziz dipanah ketika dirinya tengah berbincang santai dengan Wirya Tama dan para santri lainnya. Beruntung anak panah tersebut tidak mengandung racun. "Allahu Akbar!!!" teriak Syaikh Abdul Aziz mengerang kesakitan. "Syaikh...!" teriak para santrinya langsung bangkit dan menghampiri guru mereka. "Kejar pelakunya!" seru Nagaswara kepada kawan-kawannya. Wirya Tama dan puluhan santri yang kebetulan sedang berada di beranda pondok pesantren itu langsung bangkit dan berlarian mengejar orang yang sudah memanah guru mereka. "Kejar terus!" seru Wirya Tama yang berlari di belakang Nagaswara dengan diikuti oleh para santri lainnya. "Berhentilah kau!" teriak Nagaswara sambil terus berlari mengejar seorang pria bercadar hitam. Pria itu pun segera menghentikan langkahnya, ia berdiri tegak menghadap ke arah Nagaswara dan kawan-kawannya yang sudah bersiap hendak memburunya. Pria itu tampak berani sekali berhadapan dengan puluhan santri yang sudah siap hendak menyerangnya. "Tidak ada gunanya kalian mengejarku. Percuma saja, kalian semua tidak akan mampu melawanku!" bentak pria bercadar hitam itu bersikap jemawa. "Sungguh benawat sekali kau ini, kau harus bertanggung jawab karena sudah melukai guru kami!" Nagaswara balas membentak keras. "Semua itu ada sebabnya. Kalian harus paham, guru kalian merupakan target utama kami untuk segera disingkirkan dari tanah Bumiwana Loka!" kata pria itu. Nagaswara terdiam sejenak, lantas ia berpaling ke arah Wirya Tama. "Aku rasa orang ini adalah prajurit kerajaan, coba kau perhatikan alas kaki yang dia pakai!" bisik Nagaswara. "Benar sekali, tapi apa tujuannya hendak membunuh guru kita?" jawab Wirya Tama balas bertanya penuh rasa bingung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD