Syaid Abdullah Singgah di Rumah Ki Jafar

1061 Words
Prabu Wisesa tersenyum lebar menatap wajah sangat mahapatih. Lalu menjawab, "Aku yakin bahwa Senapati Gundiwa mampu melaksanakan tugas ini dengan baik. Jadi, tidak perlu banyak melibatkan punggawa senior hanya untuk memimpin lima ribu prajurit saja!" Mahapatih hanya diam saja, ia tak berani menyela perkataan sang raja. Namun, Mahapatih Garma Daksa tetap merasa curiga dengan keputusan raja, seakan-akan ada sesuatu yang ia sembunyikan. Setelah itu, Prabu Wisesa bangkit dan langsung pamit kepada Mahapatih Garma Daksa dan para petinggi kerajaan lainnya. Ia langsung meninggalkan ruangan tersebut menuju ke arah kaputren hendak menemui permaisurinya. 'Aku harus segera menyelidiki kasus ini, aku sangat curiga terhadap sikap sang raja,' kata Mahapatih Garma Daksa dalam hati. Menjelang sore, Mahapatih Garma Daksa langsung menemui Syaid Abdullah yang sore itu tengah beristirahat di biliknya yang ada di area barak para perwira tinggi prajurit kerajaan Bumiwana Loka. Setibanya di barak, Mahapatih Garma Daksa langsung melakukan perbincangan dengan Syaid Abdullah untuk memecah rasa kecurigaannya terhadap sang raja. "Hamba pun memiliki kecurigaan terhadap sang raja, seperti apa yang Gusti Mahapatih rasakan," ujar Syaid Abdullah di sela perbincangannya dengan Mahapatih Garma Daksa. "Kita harus mengambil langkah tepat untuk membuktikan kecurigaan kita ini!" kata Mahapatih Garma Daksa menanggapi perkataan dari Syaid Abdullah. Dengan demikian, Mahapatih Garma Daksa mempercayakan Syaid Abdullah untuk melakukan penyelidikan terkait kecurigaan mereka terhadap Prabu Wisesa Darmawangsa. "Sebaiknya sekarang kau berangkat ke desa Sindang, temui Syaikh Abdul Aziz!" titah sang mahapatih. "Baik, Gusti Mahapatih. Hamba akan segera berangkat ke sana," jawab Syaid Abdullah menjura pada sang mahapatih. Mahapatih Garma Daksa tersenyum lebar memandang wajah Syaid Abdullah. Kemudian berpesan kepada Syaid Abdullah sebelum berangkat, "Berhati-hatilah dalam menempuh perjalanan, kau jangan lengah!" kata sang mahapatih berpesan kepada punggawa andalannya. "Baik, Gusti Mahapatih," jawab Syaid Abdullah merangkapkan kedua telapak tangannya sambil membungkukkan badan di hadapan sang mahapatih. Setelah itu, ia pun pamit dan langsung berlalu dari hadapan Mahapatih Garma Daksa. "Sungguh luar biasa kesetiaan yang ditunjukkan oleh Panglima Syaid Abdullah, dia tidak pernah baha dengan titah yang kuberikan," desis sang mahapatih berdecak kagum. Ia terus memandangi langkah Syaid Abdullah yang sudah berjalan meninggalkan dirinya. Demikianlah, pada saat itu juga, Syaid Abdullah langsung melaksanakan perintah Mahapatih Garma Daksa. Meskipun hari sudah mulai gelap hampir menjelang waktu senja, namun tidak menghalangi langkahnya untuk melaksanakan tugas dari sang mahapatih "Bismillahirrahmanirrahim," ucapnya langsung memacu derap langkah kudanya meninggalkan istana kerajaan. Syaid Abdullah langsung melakukan perjalanan menuju desa Sindang hendak menemui Syaikh Abdul Aziz. Syaid Abdullah memacu derap langkah kudanya dengan kecepatan tinggi melewati beberapa desa di wilayah kepatihan Durmaya Tirta. Ketika sudah memasuki waktu magrib, ia beristirahat sejenak untuk melaksanakan Salat Magrib di sebuah Musala yang ada di desa kecil di wilayah kademangan Martapura yang bersebelahan dengan desa Sindang tempat yang hendak ia tuju. Setelah turun dari kudanya, Syaid Abdullah langsung melangkah menghampiri salah seorang penduduk. "Assalamualaikum," ucap Syaid Abdullah menyapa kepada seorang pria paruh baya yang ada di depan Musala tersebut. "Waalaikum salam," jawab pria paruh baya itu ramah terhadap Syaid Abdullah. "Mohon maaf, Ki. Izinkan aku untuk ikut berjamaah Salat Magrib di Musala ini," kata Syaid Abdullah bersikap ramah. "Iya, Raden. Silakan!" jawab pria paruh baya itu tersenyum lebar. "Musala ini rumah Allah, terbuka untuk siapa pun," sambungnya. "Terima kasih banyak, Ki," ucap Syaid Abdullah. Kehadiran Syaid Abdullah menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di Musala tersebut. Mereka mengetahui bahwa Syaid Abdullah merupakan seorang punggawa kerajaan dari pakaian yang ia kenakan. Sehingga para penduduk itu menyambut baik kehadirannya, meski secara langsung mereka tidak mengenal Syaid Abdullah. Usai melaksanakan salat, Syaid Abdullah beristirahat sejenak di beranda Musala. Melepas rasa lelah setelah hampir satu jam lamanya menunggangi kuda dari istana hingga tiba di desa itu. "Apakah wilayah kademangan Martapura dalam keadaan genting? Sehingga desa kita kedatangan seorang petinggi prajurit?" desis salah seorang penduduk yang baru saja selesai melaksanakan salat berjamaah bersama penduduk lainnya. "Entahlah, mungkin punggawa itu sedang melakukan penyelidikan," sahut seorang pemuda yang berdiri di sampingnya, ia terus memandangi Syaid Abdullah yang tengah duduk di beranda Musala. "Semoga saja tidak terjadi apa-apa di wilayah kita." "Ya, aku pun berharap demikian." Setelah itu, mereka langsung melangkah meninggalkan Musala tersebut, dan kembali ke rumah mereka masing-masing. Setelah para jamaah Musala itu pulang semuanya, seorang pria paruh baya keluar dari Musala tersebut, dan ia langsung melangkah menghampiri Syaid Abdullah yang tengah duduk di beranda Musala. Dia adalah Ki Jafar, seorang sepuh pemuka agama di desa itu. Ki Jafar langsung berkenalan dengan Syaid Abdullah, ia merasa senang sekali karena Musala yang menjadi tanggung jawabnya disinggahi oleh seorang punggawa kerajaan. Hal tersebut langka dan menjadi sebuah kehormatan baginya dan juga penduduk desa tersebut. "Jadi, Raden ini adalah seorang panglima?" tanya Ki Jafar meluruskan pandangannya ke wajah Syaid Abdullah. "Benar, Ki," jawab Syaid Abdullah tersenyum sambil mengangguk pelan. "Sebenarnya Panglima ini hendak ke mana?" tanya Ki Jafar bersikap penuh hormat terhadap Syaid Abdullah. Syaid Abdullah menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Aku hendak menemui pamanku yang ada di desa Sindang. Beliau adalah seorang ulama besar di desa tersebut." "Maksud Panglima, Tuan Syaikh Abdul Aziz?" tanya Ki Jafar memandang lekat wajah Syaid Abdullah. "Benar, Ki," jawab Syaid Abdullah meluruskan pandangannya ke wajah pria paruh baya yang ada di hadapannya itu. "Mohon maaf, Panglima. Aku mendengar kabar dari keponakanku yang pernah tinggal bersama Tuan Syaikh Abdul Aziz, bahwa Tuan Syaikh Abdul Aziz sudah tidak ada di desa itu lagi. Bahkan, setelah beliau meninggalkan desa Sindang bersama keluarga dan santrinya, bangunan pesantren miliknya telah dibakar oleh orang-orang tidak dikenal," jawab Ki Jafar menuturkan berdasarkan keterangan dari keponakannya. "Memangnya Panglima tidak mengetahui hal itu?" sambungnya kembali bertanya. Mendengar apa yang dituturkan oleh Ki Jafar, Syaid Abdullah tampak kaget. Lantas berkata, "Aku sungguh tidak mengetahuinya, Ki. Karena sudah lama aku tidak berkunjung ke kediaman pamanku." Pria paruh baya itu menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata lagi, "Tuan Syaikh bersama keluarga dan para santrinya mengasingkan diri, karena mendapat ancaman dari orang-orang jahat." "Maksud Aki, ancaman seperti apa yang dialami oleh pamanku?" tanya Syaid Abdullah penasaran, dua bola matanya terus menatap wajah Ki Jafar. Ki Jafar tidak langsung menjawab pertanyaan dari Syaid Abdullah. Ia terdiam sejenak, seakan-akan ragu dan merasa takut jika harus mengatakan apa yang sebenarnya ia ketahui tentang Syaikh Abdul Aziz dan keluarganya. Dua bola matanya terus bergulir, seolah tengah mengamati keadaan sekitar Musala tersebut. Hal itu, menjadikan Syaid Abdullah semakin penasaran. Maka, ia pun kembali berkata, "Aku mohon, tolong katakan saja, Ki! Apakah ada dari pihak kerajaan yang mengancam keluarga pamanku?" desak Syaid Abdullah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD