Mahapatih Garma Daksa Mulai Mencurigai Sikap Raja

1018 Words
Kali ini, Resi Mulawa tidak bertindak apa-apa. Ia hanya pasrah, karena hendak memulai sandiwara yang telah dirancangnya. 'Biarkan saja mereka menyakiti raga jelmaanku, karena wujud asliku akan segera pergi dari tempat ini,' kata Resi Mulawa dalam hati. Setelah itu, Resi Mulawa memejamkan matanya. Tanpa disadari oleh musuhnya, wujud aslinya sudah melesat jauh meninggalkan tempat tersebut. Tinggallah wujud jelmaan saja yang ada di hadapan Naluka dan kawan-kawannya. "Kau akan mati di tempat ini, Resi Mulawa!" bentak Naluka menganggap bahwa sosok yang ada di hadapannya adalah Resi Mulawa. Demikianlah, maka meluncur sebuah kekuatan besar dari tangan Naluka. Tiupan angin kencang bergelombang langsung memburu wujud jelmaan Resi Mulawa yang hanya diam saja di hadapan lawannya itu, ketika kekuatan besar itu menghantam tubuhnya, maka sang resi jadi-jadian pun jatuh bergelimpangan hingga kepalanya terputus dari tubuhnya. Tanpa disadari oleh Naluka dan kawan-kawannya, tubuh yang hancur dengan kepala terpisah, sejatinya bukan wujud Resi Mulawa yang sesungguhnya, itu hanya wujud bayangan yang dibentuk oleh pengaruh ajian Pancasona yang dimiliki oleh sang resi. Meskipun demikian, Naluka dan kawan-kawannya merasa bangga dan senang karena menganggap bahwa sang resi telah binasa. Lantas, Naluka tertawa lepas merayakan kemenangannya, "Hahaha!" "Kalian lihat, orang sakti ini sudah tewas di tanganku! Ini adalah bukti bahwa aku adalah seorang kesatria tangguh yang layak menduduki jabatan tinggi di kerajaan!" seru Naluka tampak jemawa. Setelah itu, Naluka langsung memerintahkan kawan-kawannya agar membawa jasad sang resi ke istana. "Kalian bawa tubuh dan kepala Resi Mulawa ke istana. Kita harus membuat laporan di hadapan para petinggi istana bahwa sang resi telah tewas oleh para prajurit kerajaan Dongkal!" "Lantas bagaimana dengan Ranubaya?" tanya salah seorang prajurit. "Buat laporan kalau Ranubaya telah diculik oleh para prajurit kerajaan Dongkal! Para petinggi istana pasti percaya, apalagi kita sudah jelas mendapatkan dukungan dari gusti prabu," jawab Naluka. "Baiklah," sahut salah seorang prajurit. Demikianlah, maka para prajurit itu langsung mengangkat tubuh dan kepala Resi Mulawa, dan langsung membawanya ke istana saat itu juga. Jasad yang berlumuran darah itu dibawa dengan menggunakan gerobak yang ditarik seekor sapi untuk dihadapkan kepada sang raja di istana kerajaan. Pada saat itu, Resi Mulawa yang sesungguhnya sudah bersama Ranubaya di kediaman Syaikh Abdul Aziz di desa Sindang. Mereka tengah berbincang-bincang sambil tertawa-tawa, karena berhasil mengelabui para prajurit kerajaan. "Resi memang cerdas dan memiliki kesaktian yang tinggi, aku salut padamu," kata Syaikh Abdul Aziz tersenyum sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. "Kau juga lebih sakti dariku, Tuan Syaikh," jawab Resi Mulawa penuh kerendahan. Syaikh Abdul Aziz dan Ranubaya hanya tersenyum-senyum saja, raut wajah mereka tampak semringah. Meskipun duka atas kematian Dwikarma Darmawangsa masih menyelimuti jiwa dan pikiran mereka. Ada hal lain yang membuat mereka senang, yaitu dapat mengetahui kejahatan Prabu Wisesa Darmawangsa yang selama ini disembunyikan. Sementara itu, ketika matahari hampir tenggelam, Naluka dan kawan-kawannya baru saja tiba di istana. Naluka pun langsung menghadap sang raja. Sementara itu, mayat yang dianggap raga sang resi sudah diurus oleh para prajurit, dan sudah siap hendak dikremasi sesuai keyakinan yang dianut oleh Mendiang Resi Mulawa. Naluka menyatakan bahwa tewasnya sang resi merupakan ulah dari para prajurit kerajaan Dongkal, dan mengabarkan pula bahwa Ranubaya telah diculik oleh para prajurit kerajaan tersebut. Hal itu, menumbuhkan kemarahan dari para petinggi kerajaan, sehingga mereka pun langsung mendesak Prabu Wisesa agar segera mengambil tindakan tegas terhadap para prajurit kerajaan Dongkal. Hal demikian, diungkapkan langsung oleh Mahapatih Garma Daksa kepada sang raja. "Mohon maaf, Gusti Prabu. Jika ini merupakan perbuatan para prajurit kerajaan Dongkal, sudah sepantasnya kita harus segera mengambil tindakan tegas terhadap mereka," ujar Mahapatih Garma Daksa. 'Akhirnya mereka percaya dengan kebohongan yang direkayasa oleh Naluka,' kata Prabu Wisesa dalam hati. Meskipun demikian, ia tetap berusaha menutupi sikap aslinya di hadapan Mahapatih Garma Daksa dan para petinggi istana lainnya. Seakan-akan, ia merasa berduka dengan kematian Resi Mulawa yang merupakan seorang penasihat kerajaan. "Baiklah jika memang seperti itu, aku akan menugaskan Senapati Gundiwa agar segera melakukan persiapan untuk menyerang pasukan kerajaan Dongkal yang berada di wilayah perbatasan," ujar Prabu Wisesa menanggapi usulan dari Mahapatih Garma Daksa. "Terima kasih, Gusti Prabu. Karena Gusti Prabu sudah menanggapi saran hamba," ucap Mahapatih Garma Daksa menjura kepada sang raja. Ia masih belum mengetahui kebusukan sang raja. Dengan demikian, Prabu Wisesa langsung memanggil Senapati Gundiwa, dan memerintahkan kepada Senapati Gundiwa agar segera memimpin pasukannya untuk bergerak ke wilayah perbatasan. Dengan tujuan utama yaitu melakukan serangan terhadap prajurit kerajaan Dongkal. Senapati Gundiwa sangat patuh kepada sang raja, sehingga dirinya langsung mengerahkan 5000 prajurit hari itu juga. Pasukan yang dipimpin oleh Senapati Gundiwa bergerak cepat menuju perbatasan. 'Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Naluka, bagaimana mungkin para prajurit kerajaan Dongkal dapat membinasakan Resi Mulawa dengan begitu mudah? Ini pasti ada sangkut-pautnya dengan kematian Kakang Dwikarma," kata Syaid Abdullah dalam hati. Syaid Abdullah merupakan seorang panglima muda dari angkatan khusus dari kesatuan prajurit panah kerajaan Bumiwana Loka. Syaid Abdullah merupakan keponakan Syaikh Abdul Aziz—mertua Mendiang Dwikarma Darmawangsa. Atas segala kecurigaan yang mencuat dalam pikirannya, maka Syaid Abdullah berencana untuk menyelidiki sendiri kasus kematian Resi Mulawa, dan juga tentang kematian Dwikarma. "Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah hamba boleh menyusul pasukan kita yang sudah berangkat ke perbatasan?" tanya Syaid Abdullah penuh hormat terhadap sang raja. "Tidak perlu! Kau tetap di istana saja, Panglima!" jawab Prabu Wisesa melarang Syaid Abdullah terlibat langsung dalam misi tersebut. "Baik, Gusti Prabu," kata Syaid Abdullah menjura kepada sang raja. "Sebaiknya, kau istirahat saja! Ada banyak tugas yang lebih penting untukmu nanti," perintah sang raja kepada panglima andalannya itu. Demikianlah, maka Syaid Abdullah langsung pamit kepada Prabu Wisesa dan Mahapatih Garma Daksa. Ia langsung keluar dari ruang utama istana untuk segera beristirahat di biliknya yang berada di area barak prajurit. "Sikap sang raja semakin membuat aku curiga," desis Syaid Abdullah sambil terus melangkah menuju barak. Mendengar keputusan dari Prabu Wisesa yang tidak seperti biasanya, Mahapatih Garma Daksa tampak curiga. Dalam benaknya pun berpikir, 'Kenapa raja melarang Panglima Syaid ikut ke perbatasan? Ada apa sebenarnya? Bukankah selama ini Panglima Syaid merupakan punggawa andalannya?' batinnya bertanya-tanya, karena keputusan raja terkesan mencurigakan. Dengan demikian, setelah berlalunya Syaid Abdullah dari ruangan tersebut, maka Mahapatih Garma Daksa langsung bertanya kepada Prabu Wisesa, "Mohon maaf, Gusti Prabu. Kenapa Panglima Syaid Abdullah tidak diikutsertakan dalam misi penyerangan ini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD