Mimpi Sesat yang Dianggap Sebagai Wangsit

1039 Words
Menjelang tengah malam, Prabu Wisesa Darmawangsa terjaga dari tidurnya. Ia bermimpi didatangi oleh seorang sepuh yang merupakan kakek buyutnya dari mendiang sang ayah—Prabu Ageng Parta Darmawangsa. Mimpi tersebut, dianggap sebagai wangsit oleh Prabu Wisesa, yang mengharuskan dirinya membunuh Dwikarma Darmawangsa yang tiada lain adalah adik kandungnya sendiri. ‘Kau harus membunuh adik kandungmu! Jika tidak ingin ada penghalang. Karena suatu saat nanti, Dwikarma akan mengkudeta pemerintahanmu di kerajaan ini,’ Begitulah pesan yang tersirat dari Resi Solamala di dalam mimpi yang dialami sang raja. Tentu, hal tersebut sangat mengganggu pikiran dan jiwa Prabu Wisesa. Meskipun hanya sebuah mimpi, namun sang raja sangat mempercayainya. “Aku yakin bahwa mimpi yang aku alami itu adalah wangsit dan isyarat dari Eyang Resi Solamala. Maka, aku harus segera melakukan titahnya,” desis Prabu Wisesa. “Jika tidak, maka akan ada malapetaka yang menimpa kehidupanku. Aku harus membunuh Dwikarma,” desisnya lagi sangat yakin tentang mimpi tersebut. Tanpa diketahui oleh sang raja, ternyata istrinya mendengar gumamnya. Sehingga, sang permaisuri langsung bangkit dari tidurnya, kemudian berkata, “Maaf, Kakang. Kau bicara apa? Apakah Kakang tega hendak membunuh adik kandungmu sendiri?” Mendengar perkataan dari permaisurinya, sontak membuat sang raja kaget. “Apa kau mendengar apa yang aku katakan tadi?” “Ya, aku mendengar semuanya,” jawab sang permaisuri. “Sebaiknya kau jangan turut campur dalam persoalan ini!” “Bagaimana mungkin aku tidak akan ikut campur, sedangkan Kakang hendak berbuat jahat terhadap adik kandung Kakang sendiri. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Kau benar-benar tega, Kakang!” “Jaga mulutmu!” Prabu Wisesa membentak dan menampar wajah istrinya dengan penuh emosi. Karena merasa takut, maka sang permaisuri pun langsung diam. Ia tidak berani berkata apa-apa lagi, hanya menangis menyesali sikap kasar suaminya. “Perlu kau ingat, jangan pernah kau berkata tentang hal ini kepada siapa pun! Jika ada yang mengetahuinya, maka aku akan mengusirmu dari istana, dan kau akan aku buat menderita!” ancam Prabu Wisesa bangkit dan langsung keluar dari kamar. Menjelang matahari terbit, Prabu Wisesa langsung keluar dari kamarnya hendak menemui Dwikarma di kediamannya yang masih berada di dalam lingkungan istana kerajaan. Tiba di depan istana kecil yang merupakan tempat tinggal Dwikarma, Prabu Wisesa mengetuk pintu dan mengucapkan salam, “Tok! Tok! Tok! Sampurasun.” “Rampes,” jawab Sandira—istri Dwikarma. Ia bergegas bangkit dan langsung membuka pintu kamarnya. Setelah pintu terbuka, Sandira langsung menjura kepada sang raja sambil menunduk penuh rasa hormat. “Bangunkan suamimu sekarang!” kata sang raja. “Baik, Raka Prabu,” jawab Sandira kembali melangkah masuk ke dalam kamar dan langsung membangunkan suaminya yang masih terlelap tidur. Tidak lama kemudian, Dwikarma keluar dari kamarnya dan langsung menghampiri sang raja yang sudah duduk di sebuah kursi yang ada di pendapa kediaman adiknya itu. Dwikarma menjura kepada sang raja, kemudian duduk di hadapannya. “Mohon maaf, Raka Prabu. Ada apa gerangan, Raka Prabu membangunkanku pagi-pagi sekali?” tanya Dwikarma dengan sikap hormatnya. Prabu Wisesa tersenyum lebar menatap wajah adiknya yang masih dalam keadaan mengantuk. Lantas, ia menjawab, “Aku akan mengajakmu pergi ke desa Sindang untuk menemui Narenda. Karena ada hal penting yang ingin aku sampaikan kepadanya, hal ini tidak dapat aku wakilkan kepada siapa pun, dan kita harus berangkat sekarang!” Meskipun masih dalam kondisi mengantuk, Dwikarma tidak dapat menolak ajakan kakaknya itu. Dengan demikian, ia pun langsung mandi, berganti pakaian, dan menunaikan ibadah Salat Subuh. Karena saat itu, Dwikarma sudah menjadi seorang Muslim semenjak menikahi Sandira yang merupakan putri seorang pemuka agama Islam di kerajaan Bumiwana Loka. Usai melaksanakan Salat Subuh, Dwikarma langsung pamit kepada istrinya. “Kakang berangkat sekarang, Nyimas,” ucapnya lirih sambil mencium kening sang istri. “Apakah Kakang tidak makan dulu?” tanya Sandira lirih. “Tidak perlu, Nyimas. Ini tugas penting, Kakang khawatir Raka Prabu akan marah jika terlalu lama menunggu,” jawab Dwikarma. Sandira hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa dirinya mengerti dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. Lantas meraih tangan sang suami, seraya menciumnya dengan sikap hormat. “Assalamualaikum,” pungkas Dwikarma. “Waalaikum salam,” jawab Sandira lirih. Demikianlah, Dwikarma dan Prabu Wisesa langsung berlalu dari hadapan Sandira, mereka keluar dari istana dengan menunggangi kuda mereka masing-masing. Berpacu di antara gelapnya pagi yang berkabut dingin. Sandira merasa cemas dan khawatir akan keselamatan suaminya, seolah ia memiliki sebuah firasat buruk yang akan terjadi pada Dwikarma. Sebagai Muslimah, ia pun berdoa memohon perlindungan kepada Tuhan semesta alam, agar suaminya dapat perlindungan dan terhindar dari marabahaya. “Ya, Allah! Hamba mohon lindungi suami hamba, agar tidak terjadi hal buruk terhadap dirinya,” ucap Sandira. Sejatinya, Sandira merasakan sesuatu yang aneh pada sikap kakak iparnya itu. Namun, ia berusaha untuk menepis prasangka buruk tersebut. Ketika menjelang matahari naik dua tombak, Prabu Wisesa dan Dwikarma sudah tiba di sebuah hutan yang masih berada di wilayah kerajaan Bumiwana Loka. Dwikarma merasa heran dan bingung, mengapa ia dibawa ke hutan tersebut. Dalam jiwa dan pikirannya bergelayut rasa penasaran. ‘Mengapa Raka Prabu membawaku ke hutan ini?’ Sehingga, ia pun segera mempercepat derap langkah kudanya mengejar kuda yang ditunggangi oleh Prabu Wisesa. Setelah kudanya berada dalam posisi sejajar dengan kuda sang kakak. Dwikarma bertanya kepada kakaknya, “Kenapa Raka membawaku ke tempat ini? Bukankah tujuan kita itu hendak berkunjung ke kediaman Narendra yang ada di desa Sindang?” Dwikarma meluruskan pandangannya ke arah Prabu Wisesa sambil mengerutkan kening. Sang raja hanya tersenyum, lalu menghentikan laju kudanya. Begitu juga dengan Dwikarma, ia langsung menghentikan langkah kudanya tepat di samping kuda yang ditunggangi oleh kakaknya. “Hutan ini adalah tujuan utama kita, Rai,” jawab Prabu Wisesa masih bersikap biasa-biasa saja, tidak menampakkan sikap yang membuat adiknya curiga. Lantas berkata lagi, “Berkunjung ke kediaman Narendra nanti saja!” Prabu Wisesa memang sangat pandai dalam menyembunyikan sikap aslinya. Sejatinya, ia sudah memiliki rencana jahat terhadap adik kandungnya itu. Sehingga dirinya membawa Dwikarma ke hutan tersebut. “Apa yang hendak Raka lakukan di hutan ini?” tanya Dwikarma mengerutkan kening, ia tidak mengerti dengan maksud kakaknya tersebut. “Di hutan ini aku ingin bertanya sesuatu yang sangat penting kepadamu, Rai,” jawab Prabu Wisesa menatap tajam wajah adiknya. Dwikarma merasa bingung dengan sikap kakaknya yang sedemikian rupa. “Kenapa tidak di istana saja, Raka! Mengapa harus di hutan ini?” tanya Dwikarma tampak penasaran. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD