Sandira dan Resi Mulawa Mulai Mencurigai Sikap Sang Raja

1004 Words
Mendengar perkataan dari Dwikarma, Prabu Wisesa tertawa lepas, “Hahaha!” ‘Rencana apa yang hendak dilakukan oleh Raka Prabu terhadapku?’ kata Dwikarma dalam hati. Dwikarma mulai rancu terhadap kakaknya, karena selama kematian Prabu Ageng Parta Darmawangsa. Prabu Wisesa selalu bersikap sinis terhadapnya, bahkan sering memancing pertengkaran. Seakan-akan, berusaha dengan pelan untuk menyingkirkan dirinya dari istana. Meski demikian, ia tetap bersikap tenang dalam menghadapinya, dan berusaha membuang jauh-jauh kecurigaannya terhadap kakak kandungnya itu. “Apakah kau siap menjawab pertanyaanku, Rai?” tanya Prabu Wisesa menatap tajam wajah adiknya. “Tentang apa, Raka? Katakan saja!” jawab Dwikarma lirih. “Apakah kau menerima secara tulus kedudukanku di istana sebagai raja?” tanya Prabu Wisesa. Mendengar pertanyaan tersebut, Dwikarma merasa terkejut. Apa yang sebenarnya terjadi? Sehingga dirinya berpikir, ‘Untuk apa Raka Prabu bertanya hal seperti ini?’ Lantas, ia menghela napas dalam-dalam. Kemudian menjawab pertanyaan itu dengan sikap penuh hormat terhadap sang kakak, “Sedari awal aku tulus dan mengakui kedudukan Raka sebagai raja di kerajaan ini. Tak ada sedikit pun kerancuan dalam jiwa dan pikiranku ini. Sebagaimana yang telah aku katakan di hadapan dewan kehormatan istana dan para petinggi kerajaan!” tegas Dwikarma. “Apakah kau yakin dengan perkataanmu itu?” tanya sang raja lagi. “Yakin, Raka Prabu,” jawab Dwikarma menjura kepada sang raja. Meskipun demikian, Prabu Wisesa masih merasa ragu akan ucapan adiknya itu. Tidak sedikit pun tumbuh kepercayaan dalam dirinya terhadap pernyataan Dwikarma yang memang berkata sejujurnya. Karena Dwikarma tidak pernah menginginkan untuk menduduki jabatan tinggi di istana, apalagi menginginkan untuk menjadi seorang raja. Terlepas dari itu semua, jiwa dan pikiran sang raja memang telah terpengaruh dengan mimpi yang dialaminya. Dan tetap meyakini bahwa mimpi tersebut adalah wangsit yang harus ditaati. Menyingkirkan, bahkan membinasakan adiknya itu adalah tujuan utamanya. Setelah itu, Prabu Wisesa berkata lagi, “Kau jangan kaget, Rai! Aku telah mendapatkan wangsit dari Eyang Resi Solamala.” “Wangsit tentang apa, Raka?” tanya Dwikarma memotong perkataan sang raja. Seketika itu, sikap Prabu Wisesa mendadak berubah menjadi sangar dan garang terhadap adik kandungnya itu. “Menyingkirkanmu!” jawabnya bernada tinggi. Tak karuan, Dwikarma merasa kaget dan tercengang mendengar perkataan dari kakanya itu. “Aku tidak percaya, jika Eyang Resi Solamala memberikan wangsit seperti itu kepada Raka,” kata Dwikarma turun dari kudanya dan berdiri tegak menghadap sang raja yang masih duduk di atas pelana kudanya. “Ini adalah takdir, kau tidak dapat menghindarinya! Dalam mimpi itu, Eyang Resi mengatakan bahwa kau ini adalah benalu di istana, tentu suatu saat nanti kau akan menjadi bumerang yang berbahaya bagi kedudukanku!” bentak Prabu Wisesa mulai menampakkan kebencian terhadap Dwikarma. “Raka Prabu tidak perlu repot-repot untuk menyingkirkan aku dari istana. Aku akan membawa pergi istri dan putraku dari istana, jika Raka Prabu menginginkan itu!” kata Dwikarma menegaskan. Sejatinya, ia sudah paham akan adanya rencana jahat di dalam pikiran kakaknya. “Harus kau ketahui, bahwa aku akan menyingkirkanmu bukan hanya keluar dari istana saja. Namun, aku akan menyingkirkanmu dari dunia nyata ini!” Prabu Wisesa langsung turun dari kudanya, kemudian melangkah mendekati Dwikarma sambil menghunus pedangnya, dan menudingkan ujung pedang tersebut ke arah Dwikarma yang sudah tampak ketakutan. Lantas, ia mengangkat pedang tersebut, dan mengayun-ayunkannya. Keringat dingin mulai bercucuran dari kening Dwikarma, ia mulai takut melihat sikap kakaknya yang tiba-tiba berubah menjadi garang. Namun, ia tidak berani melakukan perlawanan terhadap kakak kandungnya itu. “Apa salahku, Raka?” tanya Dwikarma tampak gemetaran. “Ini adalah hari terakhirmu menghirup udara segar, Rai.” Prabu Wisesa langsung menyabetkan pedangnya tepat mengenai lengan kiri Dwikarma, dan berhasil menggores tipis lengan adiknya itu, sehingga mengeluarkan darah segar. Dwikarma surut beberapa langkah ke belakang. “Hentikan, Raka! Aku mohon, jangan bunuh aku!” ucap Dwikarma berharap agar Prabu Wisesa menghentikan tindakannya. Namun, Prabu Wisesa tidak mengindahkan permohonan ampun dari adik kandungnya itu. Dengan gerakan cepat, ia kembali menyabetkan pedangnya hendak menyasar kepala adiknya itu. Namun, Dwikarma tak hanya diam saja. Ia bergerak cepat dalam menghindari serangan brutal yang dilakukan oleh Prabu Wisesa. Dwikarma surut beberapa langkah, kemudian berkata, “Aku tidak ingin bertarung denganmu, Raka Prabu. Mengertilah! Aku ini adik kandungmu, bukan musuhmu.” Meskipun demikian, Prabu Wisesa tidak mau peduli dengan perkataan adiknya itu. Dengan serta-merta, ia kembali mengayunkan pedangnya dan menyabetkan pedang tersebut tepat mengenai kepala Dwikarma, sehingga menyebabkan tubuh adiknya itu jatuh tersungkur. Tidak berhenti begitu saja, Prabu Wisesa langsung menghentakkan kakinya ke bagian perut Dwikarma. “Kau harus mati di tanganku!” bentak Prabu Wisesa. Setelah itu, ia langsung menusukkan pedangnya ke bagian lambung Dwikarma tanpa rasa belas kasihan sedikit pun. Hingga pada akhirnya, Dwikarma mengembuskan napas terakhir dengan mengucapkan takbir, “Allahuakbar!” Sungguh naas nasib Dwikarma harus binasa di tangan kakak kandungnya sendiri tanpa melakukan perlawanan sedikit pun. “Akhirnya benalu ini sudah aku binasakan. Jadi, tidak akan ada lagi penghalang yang akan mengganggu kedudukanku sebagai penguasa tunggal di kerajaan ini,” desis Prabu Wisesa, kemudian tertawa lepas melihat jasad adiknya yang sudah terbujur kaku berlumuran darah, mengalir deras dari perut dan mulutnya. Prabu Wisesa benar-benar sudah dirasuki iblis yang bersembunyi di balik amarahnya, tidak memikirkan dosa dan akibat yang akan menimpa dirinya kelak di kemudian hari. Sungguh kejam, adik kandungnya sendiri sudah dibinasakan dengan cara keji. Ia tidak pernah memikirkan nasib Sandira dan putranya yang masih kecil. Setelah itu, Prabu Wisesa langsung menyeret tubuh Dwikarma dan melemparnya ke dasar jurang yang tidak jauh dari tempat dirinya membinasakan adik kandungnya itu. Setelah berhasil membunuh adik kandungnya, Prabu Wisesa pulang ke istana dengan membawa kabar duka. Kebohongan pun direkayasa sedemikian rupa, di hadapan Sandira dan para petinggi kerajaan, sang raja mengatakan bahwa adiknya tewas karena serangan mendadak dari orang-orang tidak dikenal, yang secara tiba-tiba menghadang perjalanan mereka. Bahkan, ia pun melukai tangannya sendiri dengan pedangnya sebagai pembuktian bahwa dirinya pun telah mendapatkan serangan dari para penjahat itu. “Lantas, di manakah jasad suamiku, Raka Prabu?” tanya Sandira berurai air mata. Prabu Wisesa menghela napas dalam-dalam, kemudian menjawab pertanyaan adik iparnya itu, “Jasad suamimu dilemparkan ke dasar jurang oleh orang-orang yang telah melakukan serangan terhadap Raka dan Dwikarma.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD