02 - Makan Malam Keluarga

1888 Words
Trisya duduk di dekat jendela sambil matanya menerawang jauh ke depan. Dua dayang yang menemaninya pun sampai bingung dibuatnya. Mereka masih menyimpan rasa khawatir mengingat beberapa hari yang lalu, Trisya tampak seperti orang yang sangat terpukul. Dua dayang itu saling senggol, saling memberi kode agar mau bertanya paada Trisya. “No- Nona, ap- apa ada yang mengganggu pikiran Anda?” tanya salah seorang dayang. Trisya menoleh dan memperhatikan dayang itu dengan saksama. Dalam hati, ia menyayangkan kenapa penggambaran dayang Trisya dalam novel sama semua, kecuali satu orang yang merupakan kepala dayangnya. Kalau begini, bagaimana Trisya akan menyapanya? “Itu … aku …” “Apa Anda merasa sakit? Apakah ada yang sakit?” tanya dayang yang lain dengan nada khawatir. “Aku hanya merasa sedikit pusing,” jawab Trisya pada akhirnya. “Oh, kalau begitu saya mohon undur diri untuk membuatkan Anda teh, Nona,” balas dayang itu sembari terburu-buru keluar dari kamar Trisya. Trisya menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Ia bahkan tidak ingat detail alur yang ada pada novel itu. Terlebih, jika harus melihat dari sudut pandang Trisya yang hanya merupakan karakter antagonis dalam ceritanya. “Kenapa aku tidak terbangun sebagai Rania saja, sih? Dengan begitu aku tidak perlu khawatir akan mendapat akhir kisah yang tragis, kan?” gumam Trisya. “Ya, Nona?” Trisya menepuk bibirnya. Ia lupa jika masih ada satu orang lagi di ruangan ini selain dirinya. Orang yang tak seharusnya tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. “Apa kamu dengar aku bicara sesuatu? Sepertinya aku tidak berkata apa-apa,” ujar Trisya. “Ah, maaf,” ungkap dayang itu. Trisya kembali fokus menatap ke depan, hingga satu potongan adegan muncul di kepalanya. “Ah … itu. Kapan Layla akan kembali ke sini?” “Saya dengar, Nona Layla akan kembali sore ini,” jawab dayang itu. “Benarkah?” Trisya senang mendengarnya. Karena pokoh yang paling bisa ia percaya hanyalah Layla. “Oh iya, siapa namamu?” “Sa- saya, Nona?” Trisya mengangguk. “Jinni, Nona,” jawab dayang tersebut. “Baiklah, Jinni. Kau boleh keluar. Aku ingin sendirian hingga Layla kembali,” usir Trisya. “Tapi, Nona. Bagaimana jika kepala Anda mendadak sakit lagi atau-“ “Aku baik-baik saja, Jinni. Aku hanya ingin menenangkan pikiranku. Dan segera perintahkan Layla untuk ke kamarku setibanya dia di sini!” pesan Trisya. Tak sanggup menentang perintah Nona-nya, akhirnya Jinni pamit keluar. Dan sesaat kemudian, satu dayang yang tadi sempat pergi, kini kembali dengan nampan yang di atasnya ada secangkir teh bunga krisan. “Ini minuman Anda, Nona. Saya juga sudah berpesan pada yang lain untuk memanggil tabib. Apa ada hal lain yang Nona butuhkan?” “Apa? Tabib lagi? Tapi aku tidak apa-apa.” “Tadi Nona bilang-“ “Batalkan pemanggilan tabibnya! Aku mau beristirahat sendirian sampai sore!” “Tapi, Nona-“ “Ini perintah!” tegas Trisya. Setelah itu, dayang tersebut hanya bisa mengangguk pasrah sebelum akhirnya berpamitan pada Trisya. Dan di sinilah Trisya sekarang. Di kamar mewah berukuran cukup besar yang dipenuhi oleh barang-barang klasik mahal. Trisya memijat pangkal hidungnya yang terasa nyeri, sebelum akhirnya ia mengambil sebuah buku dari dalam laci. Tak lupa, ia juga mengambil pena bulu yang cantik. “Aku harus mencoba mengurutkan peristiwa-peristiwa yang aku ingat. Agar aku bisa mulai membenahi alurku sendiri,” ujar Trisya. Kemudian, ia mulai menulis dari titik di mana kisahnya dimulai. Sejak pertemuannya dengan Pangeran Terry, kemudian masuknya Adriana ke dalam kediaman Duke Gerald. “Jika Trisya sudah melewati ulang tahunnya yang ke tujuh belas dua bulan lalu, artinya pertemuan dengan Pangeran Terry sudah semakin dekat. Ah sial. Padahal aku berniat untuk bersenang-senang dengan gelar bangsawan dan uang melimpah ini dulu sebelum mulai serius dengan ceritanya,” kesal Trisya. “Tapi ngomong-ngomong, setampan apa sih Pangeran Terry, sampai-sampai Trisya yang secantik ini saja bisa tergila-gila padanya? Aaargh, tapi tetap saja dia orang yang berbahaya untukmu, Trisya. Apa pun yang terjadi kamu tidak mungkin akan jatuh cinta pada pria yang telah membunuhmu di kehidupan sebelumnya, kan?” *** Untuk pertama kalinya sejak terbangun sebagai karakter novel, Milla – Trisya akhirnya bersedia memenuhi panggilan ayahnya untuk makan malam bersama. Di sana sudah ada Duke Gerald dana Duchess Amara yang langsung menyapanya dengan ramah. “Selamat malam, Ayah, Ibu,” sapa Trisya. Ia sudah belajar banyak tentang tata krama dari Layla yang telah kembali sore tadi. “Selamat malam, putriku. Duduklah! Mari kita makan bersama! Ayah sangat rindu makan bersamamu,” balas Duke Gerald selaku kelapa keluarga. “Baik, Ayah,” balas Trisya. Trisya menyisir pandangannya ke segala sudut ruangan. Tampak beberapa dayang menunduk takut setelah kedatangannya. Belum lagi, Trisya menyadari adanya yang kurang dalam ruangan ini. “Ayah, Ibu, di mana Kakak?” “Kau mencarinya? Apa kau ada urusan penting dengannya?” tanya Duchess cepat. Trisya menyerit tidak mengerti. “Memang harus ada alasan yang jelas untuk aku bertemu dengan kakakku sendiri, Bu?” Seketika, semua yang ada di dalam ruang makan itu saling pandang. Sebelum akhirnya Duke memerintahkan para dayang untuk meninggalkan mereka bertiga. Trisya semakin merasa ada yang salah. ‘Apa aku telah melakukan kesalahan?’ “Ayah, apakah ada yang salah dengan kata-kataku tadi? Kalau begitu, aku-“ “Apa Darian membuat masalah denganmu? Dia tidak membuatmu kesal lagi, kan?” potong. “Apa?” kaget Trisya. “Anakku, kalian tidak sedang bertengkar lagi, kan? Apa Darian menyakitimu?” sambung Duchess. “Tidak. Tidak seperti itu, Ayah, Ibu,” jawab Trisya. “Lantas ada apa kamu tiba-tiba mencari kakakmu, Trisya?” “Ak- aku hanya mencarinya karena dia tidak ada di sini,” jawab Trisya seadanya. Membuat pasangan pemilik tempat tinggal ini menghela napas lega. “Kakakmu Darian sedang berada dalam perjalanan menuju ke istana untuk menjemput Pangeran,” jawab Duke Gerald. Ah … Trisya hampir saja lupa kalau kakak kandungnya itu merupakan salah satu orang kepercayaan raja yang kemungkinan akan diangkat menjadi menteri kerajaan di masa depan. “Oh, Pangeran akan pergi besok?” gumam Trisya. “Tidak, putriku. Ah setidaknya Ibu tidak boleh mengatakan ini sekarang. Tapi mengingat ini adalah kabar baik, Ibu pikir tidak apa-apa jika kau mengetahuinya,” ujar Duchess Amara. Trisya segera menatap ibunya. Penasaran dengan yang ibunya sebut dengan ‘kabar baik’ itu. “Besok pagi Pangeran akan berkunjung,” ucap Duchess Amara. “Berkunjung ke mana, Bu? Kenapa Ibu sampai menyebutnya dengan kabar baik?” bingung Trisya. “Tentu saja ke kediaman kita. Maka dari itu kakakmu menjemputnya sekarang,” sambung Duke Gerald. “Uhukkk” Trisya bahkan langsung tersedak salivanya sendiri saking kagetnya. Dan Sang Duchess pun segera membantunya minum agar Trisya lekas merasa lebih baik. “Pangeran akan ke sini? Tunggu! Pangeran siapa dan dalam rangka apa?” panik Trisya. “Tentu saja Pangeran Terry. Dia akan datang untuk menjengukmu,” jawab Duchess. “APA?!” Tanpa sadar Trisya sampai berteriak di depan orang tuanya. ‘Pangeran Terry akan datang? Tapi, bukankah pertemuanku dengan Pangeran Terry seharusnya terjadi beberapa bulan lagi?’ batin Trisya. “Trisyaa, kau terlihat tidak senang. Kau masih menyukai Yang Mulia Pangeran, kan?” “It- itu … aku … aku hanya …” “Tidak apa-apa. Ibu mengerti. Kamu pasti sangat senang sampai kesulitan mendeskripsikan rasa bahagia itu sekarang,” ucap Duchess yang membuat Trisya semakin melongo. Tunggu! Apa ia salah menduga? Pertemuan Trisya dan Pangeran Terry dalam awal cerita novel itu, ternyata bukan pertemuan pertama mereka? Lalu bagaimana dengan ucapan Trisya yang asli dalam mimpi? Seharusnya pertemuan mereka memang terjadi di taman, kan? “Trisya, apa kau baik-baik saja?” tanya Duke Gerald yang khawatir terhadap putrinya yang tiba-tiba terlihat murung. “Oh, aku tidak apa-apa, Ayah,” balas Trisya yang baru saja tersadar kembali dari lamunannya. “Kalau begitu, mari kita mulai makan malamnya!” Selesai makan malam, Trisya segera berpamitan pada orang tuanya untuk kembali ke kamar. Ia diikiti oleh Layla dan beberapa dayang pribadinya yang lain. Hingga ketika ia sampai di depan kamar, ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah pada dayang. “Biar Layla saja yang ikut masuk dan membantuku bersiap tidur. Aku mau langsung beristirahat setelah ini,” ujar Trisya. “Baik, Nona,” balas mereka serentak. Setelah itu, Layla pun mendampingi Trisya masuk ke kamarnya. “Apa ada yang mau Nona sampaikan pada saya? Apa ini terkait Pangeran Terry?” tanya Layla begitu mereka sampai di kamar. Trisya membanting tubuhnya ke kasur dan matanya menyorot lurus ke arah langit-langit. “Layla, apa kamu ingat, kapan pertama kali aku bertemu dengan Pangeran, dan seperti apa sikapku padanya?” “It- itu … itu … saya …” Layla tampak ragu. Membuat Trisya menghela napas panjang karena sepertinya ia mengerti kenapa Layla tampak sesulit itu untuk menjawab pertanyaannya. “Pasti sikapku sangat memalukan, ya?” tebak Trisya. “Ti- tidak, Nona. Hanya saja, pertemuan pertama kalian terjadi sudah beberapa tahun silam. Saat Anda berusia sepuluh tahun dan saya belum di sini. Saya hanya mendengar dari Duchess, kalau Nona saat itu terpesona dan sempat meminta untuk menikahi Nona. Lalu-“ “Ah … cukup! Aku tidak ingat kalau sikapku dulu sememalukan itu,” rengek Trisya. Jika benar apa yang Layla katakan tadi, lalu mau ditaruh di mana muka Trisya saat bertemu dengan Pangeran Terry besok? Di usia kanak-kanak saja Trisya sudah menunjukkan tanda kebinalan yang memalukan seperti itu, yang sudah pasti akan selalu diingat dan dipermalukan oleh Pangeran Terry. ‘Tidak masalah kalau dia tidak mencintaiku. Tapi kenapa harus ada memori sememalukan itu yang bahkan baru aku dengar sekarang? Aku pikir, pertemuan pertama kami akan terjadi di taman saat Pangeran menyelamatkan Trisya dari para penjahat. Ternyata aku salah. Jauh sebelum itu aku sudah lebih dulu mempermalukan diriku. Kalau begini, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan untuk memperbaiki imej Trisya di mata seluruh isi kerajaan ini, kan?’ sesal Trisya. “Trisya, kenapa kau sudah banyak berulah sejak kecil? Sangat menyusahkan.” Trisya sampai mau menangis rasanya. “Nona, tapi apa yang Anda katakan saat itu saya pikir bukan sesuatau yang memalukan. Biar bagaimana pun, Anda memang akan menjadi kandidat kuat menjadi pendamping Pangeran Terry, kan? Jadi saya pikir itu bukan hal yang memalukan,” ralat Layla. “Kau tidak tahu betapa terlukanya harga diriku, Layla. Rasanya aku tidak ingin menemuinya besok, jika diizinkan.” “Tentu Nona harus menjamu Pangeran, Nona. Pangeran datang untuk bertemu dengan Anda.” “Ya. Dan itu pasti karena perintah kerajaan, kan? Dia dan aku sama-sama terpaksanya melakukan pertemuan besok,” keluh Trisya. “Maaf, tapi apa Nona sudah tidak tertarik pada Pangeran? Bukankah-“ “Layla, tolong lupakan semua tingkah gilaku pada Pangeran dulu! Apa pun yang pernah aku katakan tentang Pangeran Terry, hilangkan itu dari ingatanmu, Layla!” potong Trisya sambil menutupi wajahnya dengan bantal. Diam-diam, Layla terkekeh melihat tingkah Nona-nya. Namun, bukankah ini sangat aneh? ‘Meski Nona dan Pangeran sudah lama tidak bertemu, tapi bukankah selama ini Nona menganggap dirinya sebagai calon pengantin Pangeran? Bukankah itu artinya Nona masih menyukai Pangeran? Tapi kenapa tiba-tiba-‘ “Layla, kau boleh keluar sekarang. Dan jangan izinkan siapa pun masuk. Aku mau merenungi nasib sialku sambil berusaha untuk tidur,” pinta Trisya. “Baik, Nona. Kalau begitu, saya izin keluar. Saya akan berjaga di depan kamar Anda,” balas Layla sebelum akhirnya benar-benar keluar dari kamar Nona-nya. Wajah Trisya memerah membayangkan seperti apa gilanya Trisya kecil dulu. “Sial. Dia yang berulah, kenapa kini aku yang harus menanggung akibatnya?” kesal Trisya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD