BAB 4 (The Ice Girl)

1128 Words
"Kepergian sosok yang sangat kita sayang, membuat diri terasa kehilangan setengah dari kehidupan." -Lucia- *** "Cia!! Sini..." Panggilan itu membuat Luci menoleh. Ia tersenyum bahagia melihat seorang wanita cantik di gerbang sekolahnya. Luci melambaikan tangannya, "Sebentar bunda," ucap Luci yang kemudian berpamitan dengan seorang petugas kebersihan sekolah. Luci terlihat senang karna ini adalah hari pertamanya memasuki sekolah menengah atas. Siapa yang tidak bahagia dijemput oleh orang tuanya? Jordan dan Canita berdiri di seberang jalan. Laki-laki terlihat sibuk berbicara lewat telepon genggam yang melekat pada telinganya. Sepertinya sedang mengurus suatu hal penting yang berkaitan dengan perusahaan. Namun saat Canita ingin mengajaknya, Jordan tak sengaja berbalik mundur sehingga tubuh Canita sedikit sempoyong dan terdorong ke tepi trotoar jalan. Sebelum ia sempat berteriak, sebuah mobil pick-up menyambarnya dengan begitu kencang, sehingga mobil itu ikut terbalik karena tak sempat menghindar. "Ti-tidak.. BUNDAAAAAA!!!!!" Bughhh... Brakkk...... Teriakan kencang Luci dan suara tabrakan itu membuat Jordan menoleh. Darah mengalir deras di tengah jalan, tubuh wanita yang ia sayangi tergeletak tak berdaya, dan Luci yang berlari ke arah wanita itu. Semuanya berjalan begitu lambat di mata Jordan. Ia menghampiri tubuh istrinya dan termenung lama. "Tolong!!!!! SIAPA SAJA, TOLONG PANGGIL AMBULAN!!!! TOLONGG.." Luci berjongkok dan memeluk tubuh Canita erat. Tidak ada tangisan yang keluar, gadis itu masih tidak bisa berpikir jernih sehingga merasa Canita akan baik-baik saja. Darah ikut mengenai tubuhnya namun ia tak merasakan hal itu. Beberapa orang membantu memanggil ambulans serta polisi. Sebagian juga menghampiri mobil yang menabrak Canita. Keadaan mobil itu sangatlah buruk. Beruntung sang pengemudi dapat melindungi dirinya dengan baik sehingga tidak terluka begitu parah. *** Seorang ayah dan anak duduk dengan cemas di lantai koridor sebuah rumah sakit, dengan baju yang dipenuhi darah. Sesaat kemudian, dokter keluar dari ruangan operasi. "Bagaimana keadaan istriku, dok? Tidak terjadi sesuatu, kan?" Luci diam tak bisa berkata apa pun. Ia terus berpikir bunda-nya akan baik-baik saja. Luci menatap dokter yang bernama "Gustian" itu dengan penuh harap. Gustian menggeleng pelan, "maaf.. Aku sudah mencoba yang terbaik." ia menghela napas panjang dan menatap Luci. "Luka pada bagian kepalanya begitu dalam dan juga terjadi pendarahan hebat disana." Gustian merasa tak kuat untuk terus mengatakan hal ini, ia terus melihat Luci yang terus menatapnya. "Tulang leher, kaki dan rusuknya patah, jantungnya yang sudah lemah dari sebelumnya. Dan juga..." "Dan juga?" bayangan sebelum kejadian itu berputar lambat dalam ingatan Luci. Kepalanya terasa sangat sakit, tapi ia menahannya. "Canita mengalami 'Cedera Disk Hernia'. Cedera ini adalah perubahan posisi ruas tulang belakang yang tidak normal, jika dapat ditangani dengan tepat, hal ini juga akan menimbulkan komplikasi yang juga menyebabkan gangguan kesehatan lainnya pada tubuh pasien." Luci tak mampu lagi menahan sakit di kepalannya. Semua benda terasa berputar kuat hingga darah mengalir dihidungnya. Tapi sebelum kehilangan kesadaran, Luci melihat dokter Gustian dengan cepat menahan tubuhnya. "Luci? Luci!!" Tidak ada jawaban ataupun pergerakan. Gustian segera memanggil perawat dan membawa tubuh Luci untuk di periksa. *** Tubuh Luci terasa berat, matanya perlahan terbuka dan langsung menyadari dimana keberadaannya. "Bunda..." Mendengar suara Luci, Gustian segera memeriksa keadaannya. Ia merasa sangat lega, begitu menyadari keadaan Luci yang baik-baik saja. "Luci, apa kau bisa mendengar suaraku?" Luci mengangguk sebagai jawabannya. Gustian menghela napas panjang. Dan segera membantu Luci saat gadis itu hendak bangkit. "Terima kasih, dokter. Tapi,, bagaimana keadaan Bunda ku?" Gustian kembali menghela napas panjang, beban dibahunya terasa semakin berat melihat tatapan Luci yang penuh harap. "Maafkan aku, Luci.. Tuhan sangat menyayangi bundamu." Wuushhhh... Luci mematung, tak ada yang bisa ia dengarkan. Suara Gustian yang sedang menjelaskan, terasa begitu jauh dari telinganya. Dunianya terasa hancur seketika. Luci memandang kosong dinding di hadapannya, terasa berputar cepat membuat kepalanya terasa berat. "Luci... Luci.. Luci.. Bangun!" Suara keras Gustian, membawa keadaannya ikut bangkit. Luci memijat pelan pangkal hidungnya. Kepalanya berdenyut sakit serta jantungnya yang berdebar begitu kuat. "Apa kau baik-baik saja?" Gustian terlihat cemas. Ia takut apabila Luci mengalami shock dan kemudian merasa depresi berat. Untuk anak usia Luci, kehilangan kedua orang tua adalah hal yang sangat menyakitkan bagi mereka. Karena disaat inilah, para remaja bersemangat mencari jati diri dengan bimbingan orang tua mereka. Dengan perlahan, air terus mengalir dari matanya. Tangannya terkepal kuat dan melihat seluruh isi ruangan itu. Tidak ada Jordan disana, dimana sosok ayah yang ia perlukan saat ini? Apakah Jordan sedang sibuk mengurus pemakaman bunda-nya, atau sibuk karena hal lain. Gustian tak bisa menahan dirinya lagi. Laki-laki paruh baya yang masih terlihat tampan itu segera memeluk Luci erat. Ia tak berkata apa pun, hanya memeluk dan mengelus rambut gadis itu sayang. "Bun.. Bun.. Bunda.." Isak tangis pilu itu semakin keras. Luci menangis tersedu-sedu. Ia tak lagi mampu menahan, segala kesedihannya selama ini meluap begitu saja. Suara teriakan saling beradu di telinga Luci. Bayangan Jordan dan Canita yang tengah bertengkar hebat memenuhi isi kepala Luci. "Bundaaa...jangan tinggalkan Cia,..." Gustian menutup mata Luci dengan telapak tangannya. Membiarkan gadis itu mengeluarkan segala kesedihannya. "Bun-bunda... Cia hanya butuh bunda... Bunda jangan pergi...." Hanya dengan beberapa kata yang terus terucap dari bibir kecilnya, hal itu mampu membuat Gustian ikut menitikkan air matanya. "Bundaaa... Cia tidak memerlukan ayah, Cia hanya butuh bundaaa... Bundaa..." Kalimat yang sama terus terulang, hingga tak sadar. Gadis itu tertidur mungkin karena terlalu lelah menangis. Gustian menyeka air mata yang masih mengalir dari sudut mata Luci. Hanya melihat keadaan gadis kecil itu, membuat Gustian ikut merasakan beban berat yang dirasakan Luci. *** Seorang gadis terduduk lemah di samping gundukan tanah berukuran cukup besar. Tak ada lagi air mata, tak ada lagi kata-kata, dan tak ada lagi suara yang ceria. Tapi, yang tersisa hanyalah duka lara begitu sakit dalam jiwanya. "Maafkan Cia, bunda." gadis itu terus mengusap papan yang berdiri tegak, "selama ini, Cia belum mampu memberikan kebahagiaan untuk bunda... Maafkan Cia." Hati kecilnya berteriak keras ingin menangis, namun air matanya yang terasa sudah kering karena terus menangisi kepergian sang ibunda. "Berbahagialah disana bunda, jangan lagi menangis untuk ayah yang tak pernah menyayangi kita.." Luci menunduk sedih setelah mengucapkan hal itu. Sejak saat itulah, semua kehidupan Luci berubah. Setelah terdiam cukup lama, ia berdiri tegak dan mengusap tangannya. Tatapan dingin dan tajam terpancar kuat dari matanya. Luci menatap sekelilingnya yang terlihat sangat sepi. Jordan bahkan tak datang saat pemakaman Canita. Hal inilah yang membuat Luci semakin benci dengan ayahnya. Tangannya terkepal kuat hingga terlihat memutih. Tekatnya yang begitu kuat untuk hidup mandiri tanpa harus bergantung dengan Jordan. Ketika ia kembali ke rumahnya, tak lama Jordan masuk diikuti dengan 3 orang asing yang membuat Luci marah. Bunda-nya bahkan baru beberapa jam lalu dimakamkan, kini Jordan sudah membawa pengganti untuk ibunya. 'Laki-laki b******k!' teriak Luci dalam hatinya. Luci melangkah pergi dari sana tanpa menghiraukan Jordan yang sedang berbicara kepadanya. "Urus saja urusanmu. Jangan ganggu aku." Setelah mengatakan itu, Luci menyeringai kejam. Ia menaiki tangga menuju kamarnya. Terdengar suara Jordan yang marah karena sikapnya, tapi.. Apakah ia harus peduli? Luci rasa tidak. ----------------next*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD