4. CEO AD Corporation

2052 Words
     Satu hal yang aku tahu adalah wanita egois. Ya, aku sadar di mana makhluk cantik ini akan mengerti mengenai perasaannya saja termasuk aku menginginkan sebuah rumah tangga harmonis, bukan berarti Libra pria yang jahat dan kasar tapi justru kelembutannya membawaku pada arti menyakitkan dari sikap-sikapnya yang tidak peduli.      Setelah kejadian di pesta ulang Tahun temannya, terus terang aku mulai tidak suka saat Libra mengajakku pergi ke acara resmi seperti malam ini, di mana AD Management mengadakan makan malam bersama para karyawan termasuk Haikal. Lagi? Kami harus bertemu dalam keadaan menahan diri dari saling menyapa. Ya, aku harus tetap berada di samping Libra dari sore tadi ketika sampai di lokasi.      Selama 15 menit aku duduk di kursi bartender, di sini minuman apapun tersedia dan tidak hanya alkohol atau minuman soda saja. Aku menikmati kafein karena ini ampuh menghilangkan rasa pening, juga karena aku bosan terus-terusan di dekat Tatia yang memasang wajah tidak suka.      “Karamel Mas 1!”      Suara Nala terdengar sambil mengacungkan jari telunjuk, ia selalu mengusik lamunan tapi aku senang dia kembali dari luar kota. “Hei, pulang kapan?”      “Tadi siang, abis bos minta aku pulang cepet-cepet. Katanya ada pesta malam ini,” Nala duduk tepat di sebelahku. “Emang ada apa sih Ze? Suamimu kayaknya rajin banget bikin pesta?”      Entah mengapa Nala berkata demikian. Pesta? Selama ini yang aku tahu Libra hanya membuat pesta untuk momen tertentu saja. “Aku juga nggak tau kenapa Mas Libra bikin pesta begini, tadi bilang cuma makan malam biasa.”      “Loh, emangnya kamu nggak pernah tau kalau tiap bulan dia bikin pesta buat para karyawan AD Management?” Nala menyeruput karamel miliknya.      “Nggak tau, emang sesering itu?” Tentu saja aku tidak pernah tahu urusan Libra, dia tertutup.      “Udah 5 bulan ini kalau nggak salah, aku sempet ijin sekali karena ada urusan keluarga.” Jelas Nala sibuk menatap wajahku.      “Terus selama 5 kali ini Mas Libra bikin kejutan apa? Maksudku… Dalam rangka apa pesta ini dibuat?” Aku penasaran.      “Kemarin… Salah satu OB naik pangkat jadi pemimpin utama buat para OB lain, dan sebelum-sebelumnya ya… Ada yang naik jabatan!”      Aku mengangguk paham. “Oh, mungkin malam ini ada yang naik jabatan kali.”      “Mungkin aja bos mau memperkenalkan calon model Internasional AD.” Goda Nala mengusik lenganku.      Malas jika mengingat hal di mana Libra memintaku menyetujui tentang itu. “Kamu seneng banget aku dapat musibah itu?”      Nala memelukku. “Bukan gitu Ze, abis aku kaget aja bos sendiri yang milih kamu jadi modelnya loh. Nggak main-main tau, kayaknya selama aku kerja di sini belum pernah ada model yang dipilih bos langsung. Gila aja.”      Entah itu pujian karena kagum atau Nala sedang menggodaku. Tidak! Aku merasa Libra keterlaluan jika melanjutkan kontrak ini. Baiklah, itu hal biasa ketika wanita mengenakan pakaian seksi saat berpose karena pekerjaan. Tapi posisiku adalah istrinya, apa dia benar-benar rela melihat tubuhku menjadi objek sebuah produk mereka dan lagipula ini bukan negara asalnya.      “Terus gimana? Kamu terima kontrak itu?” Nala bertanya.      Aku menggeleng lemah. “Mas Libra belum kasih liat surat kontraknya.”      “Kamu… Terima nggak?” Antara bertanya, juga Nala seakan tidak setuju.      “Menurut kamu?” Rasa kafein semula membuatku tenang, tapi mengingat hal itu kepalaku berat dan mual rasanya jika aku harus menjadi model lingerie.      Lama aku dan Nala saling menatap entah apa yang kami pikirkan memang tidak menyangka jika Libra punya ide yang sama dengan CEO gila itu, bukankah itu hal sembrono karena sudah memilih tanpa perundingan lebih dulu? Aku muak sekaligus ingin mencabik-cabik wajah CEO itu.      Pesta semakin menentukan inti, saat ini terlihat Libra berjalan ke arahku. Setelan rompi kotak-kotak berwarna krem dipadupadankan dengan celana chino putih, dasi slim ukuran 3 inci warna hitam dilengkapi kemeja putih Libra terlihat sangat profesional. Kesannya semakin kental dengan sepatu coklat tua, dia tidak pernah banyak argumen jika aku yang memilih pakaian untuknya.      Pria itu jarang tersenyum, hanya menyisihkan sisi bibir tanda Libra baik-baik saja. Dia datang langsung memutar tempat duduk yang aku tempati, hal ini tentu membuat kita saling berhadapan. Aku berusaha seperti tidak terjadi apa-apa meski sangat kecewa padanya dengan melingkarkan tangan di pinggang demi menyambut kecupannya, sungguh aroma napas itu merasuk tanpa permisi. Hanya melumat memberi jejak basah di bagian warna merah tua bibirku.      “Ayo sayang, kita harus temui tamu-tamu!” Ucap Libra sedikit membantuku turun dari kursi panjang bartender.      “Mas…,”      “Ya?”      Aku melingkarkan tangan di lengan Libra. “Aku mau tau pesta ini dalam rangka apa?”      Dari belakang Nala melempar sedotan mengenai punggung dan aku tidak menggubris karena Libra pasti malas dengan sikap tidak jelas ku yang terkadang konyol. Aku hanya sibuk menunggu jawaban Libra, tapi pria itu sibuk mengangguk membalas sebuah sapaan.      “Nanti Mama juga tau.” Seulas senyum itu bukan untukku, melainkan karyawannya.      “Ya… Aku mau taunya detik ini Mas!” Aku memberanikan diri untuk bertingkah manja, hanya penasaran apa Libra suka atau sebaliknya.      Sekilas wajah itu menoleh, demi apapun aku takut jika Libra menganggapku seperti terkena sindrom langka karena biasanya sikap ini hanya menyeimbangi sikap dingin Libra. Tapi siapa peduli? Aku yakin pria suka dengan cara manja seperti ini, walau sebenarnya aku jijik.      “Ada CEO baru di AD Corp.”      Terkejut bukan main saat bersamaan Libra menjawab juga Haikal berada di tengah-tengah para petinggi perusahaan. Orang-orang pun mengutarakan antusias dengan mengucapkan selamat kepada Haikal, sementara Libra mengajakku ke area dansa. Dia memilih pose aku membelakanginya, melingkarkan tangan di perut juga wajahnya menyuruk ke leherku.      “Haikal? Dia… CEO baru?” Tanyaku menikmati musik juga tangan Libra yang menuntunku bergerak ke kiri lalu kanan.      “Ya, Mama suka ‘kan?”      Terus terang aku terkejut atas jawaban juga pertanyaan Libra. “Kenapa... Mas harus tanya aku?”      “Cuma minta pendapat, nggak boleh?” Libra seperti sedang bermain-main atas pertanyaan ini, atau memang karena aku memiliki perasaan takut dia tahu mengenai Haikal? Entah.      “Bukannya Haikal itu partner? Dia melanjutkan bisnis orang tuanya?” Memang Haikal bercerita hanya ingin memperluas bisnis kedua orang tuanya dengan AD Corp.      Libra sibuk mengecup pundak dan pipiku, dia sempat genit membelai paha tapi kemudian fokus melihat ke arah Haikal dan Hendrick, mereka terlihat sangat akrab. “Honey, kamu tau dari mana tentang hal itu hm?”      Sial. Libra tidak pernah memberitahu secara detail, ini karena Haikal yang memberitahuku. “Oh itu… Aku… Tau dari kalian, maaf karena sempat nggak sengaja denger pas kalian ngobrol.”      Napas di sisi wajahku terdengar sangat teratur, jujur saja aku mulai menggigil karena ini. Bagaimana jika Libra tahu? Selama ini hanya Nala saja yang tahu tentangku juga Haikal, kami bertemu karena dulu pria berdarah Maroko itu pernah membaca salah satu novelku. Kami merupakan penulis dan pembaca yang saling berkenalan, lalu dekat hingga kami pacaran.      Rasanya aku ingin musnah, tapi melihat Haikal dengan setelan jas merah tua itu seperti aku mulai menyukai warna favorit Libra. Tapi tidak! Aku berusaha untuk tidak memiliki kesamaan dengannya.      “Jadi, dulu Mas sama orang tua Haikal memang saling kenal. Karena Papi.” Suara Libra mulai membuat telingaku panas, bukan karena tertarik akan perbincangan ini tapi aku merasa Haikal menyembunyikan sesuatu.      “Mama nggak paham Pa. Maksudnya… Kalian saling kenal dari Papi?” Aku menjelaskan, juga memastikan benar atau salah.      “Mas dan orang tuanya Haikal kenal baik. Tapi PT mereka menipu perusahaan sampai 100 Juta dolar Amerika Serikat, Haikal berjanji akan mengembalikan semua kerugiannya dan bekerja di AD Corp tanpa digaji, agar Mas mencabut tuntutan terhadap orang tuanya!” Terang Libra seketika aku melepas dan menatap wajahnya, terlihat senyuman itu picik.      Hampir napasku hilang, betapa Libra sedang menghukum Haikal dengan cara memperkerjakan dia tanpa upah. Aku menahan diri untuk tidak terlihat marah, juga sedikit kecewa karena Haikal menyembunyikan ini dariku.      “Mas yakin ini… Cara yang tepat?” Aku berharap Libra merubah pikirannya.      Tangan besar itu memeluk pinggang dan menyusupkan wajahnya di leherku, mengulang gerakan yang sempat terjeda. Tidak ada jawaban lain sampai aku melihat Haikal berjalan melewati tempatku bermesraan, dia menundukkan kepala singkat sebagai tanda hormat kepada Libra.      “Mas nggak main-main tentang mereka! Sekali ingkar, hidupnya nggak akan pernah tenang karena perusahaan mereka dijual saja tidak menutupi kerugian AD Corp!”      Aku menangis. Tapi hanya mengerjap cepat saat menahan sesak di dadaku membayangkan tentang biaya Mesya berobat, dan berharap Libra tidak tahu betapa aku menderita atas keputusan ini. Pelukannya terasa sangat menyakiti meski belaian tangan Libra lembut mengikuti ke mana rambutku terurai. 100 juta dolar Amerika serikat? Haikal bekerja tanpa digaji? Sampai kapan? Seumur hidupnya?      “Mas…,” Libra hanya menjawab seperti biasa, aku pun melihat kedua warna berbeda matanya. “Udah makan?”      Betapa aku ini dungu bertanya demikian. Libra pun diam dan hanya sibuk dengan leherku, sesak ketika tangan itu mendekap tubuh ini. Ingin aku berteriak betapa semuanya sangat kejam, termasuk suamiku sendiri. Tapi ini bukan sepenuhnya kesalahan Libra, orang tua Haikal yang sudah membuat ulah dengan keluarga Adelard.      Pesta yang tengah aku nikmati memberi kabar bahagia karena Haikal dapat kepercayaan menjadi CEO, sekaligus aku tahu jika penderitaannya bertambah karena tugas yang tidak digaji. Bagaimana dengan Mesya? Dia belum sembuh sepenuhnya dan masih butuh banyak biaya.      “Sebenarnya Mas nggak mau cerita,” Libra terus membimbing tangan dan pinggangku menari mengikuti nada musik yang berlangsung. “Tapi karena dia masuk ke keluarga Adelard, Mas cuma mau kamu hati-hati sama Haikal!”      Siapa yang harus dipercaya? Libra tak jauh lebih berbahaya yang baru aku sadari selama 3 Tahun ini, memang bisa saja Haikal terseret kasus kedua orang tuanya tapi Libra seperti sengaja mempermainkan, sikap ramah terhadap Haikal hanya kedok belaka. Ingin rasanya aku menghancurkan mulut itu saat berkata, tapi sadar jika diri ini hanya bergantung sepenuhnya kepada Libra dan aku semakin takut jika dia tahu mengenai hubunganku dengan Haikal. Aku diam tanpa berkata apapun lagi sambil menyanggupi segala kemesraan ini, kecupan juga tatapannya terlalu menyakitkan tapi rasa aku terima dengan hati hancur. [...]      Acara kunikmati dengan pemandangan hampa meski titik kecil dari dekorasi itu sangat indah, aku tahu bagaimana Libra seseorang dengan seleranya yang tinggi tapi hampir saja aku mengagumi sosok itu, dia rela bergabung dengan para karyawan biasa hanya untuk pesta peresmian Haikal menjadi CEO. Tapi melihat lagi betapa pria di sampingku memiliki sifat keji, dari balik senyum juga kelembutan yang diberikan Libra lebih berbahaya dari perkiraanku.      Dari kejauhan, aku melihat Haikal hanya menatap sekilas. Berulang kali seakan ada perasaan lain karena Libra terus saja berbuat mesra. Tapi aku segera menghindari tatapan Haikal karena tidak ingin hanya karena ini Libra curiga.      “Safhira?”      Tangan Hendrick di pundak membuatku terkejut, aku bahkan tidak sadar jika mertuaku berada di samping tempat aku duduk. “Ah iya Pi, kenapa?”      “Loh kok kenapa? Dari tadi Papi tanya kamu loh?”      Benarkah? Seketika aku melihat ke arah Libra yang tengah mengamati wajahku. “Maaf, aku… Um, cuma… sedang menikmati lagu nya.”      Tepat di depan kami berkumpul, penyanyi sedang melantunkan lagu yang terdengar merdu. Ini memang alasan tepat lagipula Libra tahu jika Hendrick selalu berkata pelan bahkan hampir tidak terdengar, tapi aku kini dikejutkan saat Libra meraih dagu dan membuat wajahku mendongak, mata itu jelas berkilat tajam.      “Honey, kamu sakit?”      Mataku mengerjap cepat tidak kuat dengan tatapan Libra. “Enggak kok, cuma ngantuk.”      Entah aku seperti lihai sekali membuat alasan tanpa bersalah hanya tersenyum manja di mana sebenarnya aku muak, tapi Hendrick dan yang lain tertawa lantang tapi lain dengan pria di depanku. Wajahnya semakin dekat, jarak kami pun hanya sebatas satu jari dan ujung hidungnya bersentuhan dengan pipiku.      “Bohong itu nggak baik sayang!”      “Oh ya?” Aku mengalungkan tangan ke tengkuk sambil melekatkan bibirku di daun telinga Libra. “Cuma kode, biar Papa ajak pulang. Dan… Kita bisa berdua aja di rumah.”      Jelas sisi bibir itu terangkat. “Hm… Boleh, tapi di sini juga ada hotel.”      Sesak aku menahan segala sikap ini, tapi aku harus lebih mahir menjaga keadaan. “Itu… Lebih baik sayangku!”      Kedua matanya liar, bangkit dan memberikan tangannya agar aku menggapai. Kami berjalan tanpa peduli pesta sedang berlangsung, sempat melewati tempat Haikal tapi aku sibuk menatap Libra saat dia terus mengecup pipiku. Aku berlalu meninggalkan luka di antara hati ini dan Haikal, karena pilihan sudah seharusnya aku lakukan karena Libra suamiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD