5. Gairahnya Yang Berbahaya

2110 Words
     Pagi yang cerah, secerah ketika melihat halaman rumah sakit dipenuhi bunga berwarna tegas seperti ungu juga cantik nya anggrek di beberapa batang pohon, saat ini sejenak aku melupakan apa itu tentang Libra si tampan yang selalu membuatku ingin enyah dari muka bumi. Hari ini, Haikal sudah mempercayakan aku untuk menemani Mesya pergi cek up. Tapi priaku itu hanya ingin aku menjemput saja, dan aku datang lebih awal dari jam yang Haikal tentukan. Lagipula di butik juga tidak ada kegiatan lain kecuali aku menggila dengan Leonardo, tokoh dalam ceritaku yang menawan.      Sambil terus menoleh ke arah bunga-bunga di halaman, aku menemukan lorong Lily tempat Mesya melakukan cek up. Aku juga tidak sendiri, karena Nala bisa diandalkan untuk menemani segala aktivitasku. Selain menjadi model, Libra juga tidak masalah jika Nala menjadi asisten pribadiku. Ah, betapa sebenarnya ini hal paling menyenangkan selama aku tidak bertemu kedua warna berbeda mata indah itu.      Dari arah yang berlawanan aku menemukan Nala berlari ke arahku, rambut sebahu dicat warna biru tua itu Nala terlihat terengah-engah. "Telat 2 menit!" Kataku menunjukkan arloji kepadanya.      “Kamu ini, mentang-mentang aku nggak ada kerjaan masih aja kasih aku dikasih tugas buat temenin ke sini.” Rutuk Nala mengatur napas.      “Nala sayang… Kan emang tugas kamu ini temenin kemanapun aku pergi.” Betapa percaya dirinya aku ketika merangkul pundak Nala.      “Dasar manja!”      Aku pun merindik dari celah pintu yang sedikit terbuka tapi aku ragu untuk masuk. “Biarin, Haikal suka kalau aku manja.”      “Iya, kalau nggak suka nanti kamu marah!” Jawab Nala masih saja terengah-engah.      “Lagian kan aku mau minta ditemenin sama siapa lagi? Cuma kamu yang buat aku nyaman.” Aku memelas, tapi itu kenyataan semenjak SMA Nala adalah teman baikku.      “Mulai, mulai… Melankolis. Kamu itu cocok jadi artis sebenarnya, berperan sebagai wanita paling menderita dan sering ditindas.”      Tawa itu tidak terlalu keras, tapi aku memukul paha Nala agar suaranya tidak mengganggu pasien lain. Ucapan itu seperti sedang menggambarkan keadaanku saat ini, tapi bukan saatnya hari ini kembali memikirkan hal menyebalkan itu. Aku pun duduk di ruang tunggu karena kulihat perawat juga dokter masih melakukan tugasnya, perasaan mengenai masalah Haika dan Libra masih terpatri jelas di ingatan.      “Ze, Haikal beneran jadi CEO di AD Corp ya?”      Baru saja aku menghindar dari ingatan ini tapi Nala sudah mengungkit tentang Haikal. “Iya, emang kenapa?”      Nala menarik napas panjang. “Masih nggak percaya aja aku, kok bisa ya ini kebetulan yang beneran ada? Pertama, Haikal jadi partner suamimu. Kedua, jadi CEO dadakan di AD Corp. Ketiga, kalian jadi threesome.”      “Sembarangan!” Aku memukul pelan bibir Nala.      Wajah itu terlihat serius, Nala mengubah posisi tubuh saat duduk dan kita saling duduk berhadapan. “Ze, nggak ada apa-apa kan antara Haikal sama Bos?”      Seketika napasku sesak, bagaimana aku bisa menceritakan semua ini kepada Nala sementara permasalahan Haikal dan Libra bukan perkara enteng. Aku pun memilih diam dan hanya mengangkat kedua bahu, jawaban yang sangat dibenci Nala tapi kulihat lagi dia masih dengan pikirannya tentang ini.      “Soalnya… Mereka kan kenal udah lama, sedangkan kamu… Sama Haikal baru 1 Tahun. Ih, kok pikiran aku jadi aneh gini sih Ze?” Ungkap Nala menggaruk kepala.      “Memang kamu aneh!” Ungkapku menghalau pikiran mengenai Libra atau Haikal, aku pun langsung beranjak dari tempat duduk saat melihat perawat keluar dari ruangan.      Masih dengan perasaan kacau saat menyambut Mesya yang baru saja bangun dari tempat tidur ketika aku masuk, gadis ceria nan lucu itu seketika menyambut ku dengan pelukan di pinggang. “Kakak, udah lama nungguin Mesya ya?”      “Nggak kok sayang, baru aja kakak dateng. Gimana hari ini? Mau kakak bikinin bubur kacang hijau sama ketan hitam lagi?” Aku menawarkan makanan kesukaan Mesya semenjak berada di Indonesia.      “Wah mau kak,” terlihat gigi itu rapi saat tersenyum. “Kapan? Nanti kalau di rumah ‘kan?”      Tanpa aku sadar air mata ini menetes, yang ada di kepala tentang bagaimana perbuatan Libra. Bisa saja pria itu merenggut apa kebahagiaan singkat di usia Mesya yang hanya sementara menurut dokter. Aku terisak tidak sanggup mengartikan semua ini, juga menghalangi usaha Libra pasti tidak akan sanggup.      “Kak, kenapa?” Mesya menghapus air mataku di pipi.      “Enggak, kakak cuma…,”      Sungguh perkataan apapun tidak mengurangi beban meski aku berusaha melupakan. Mesya pun kembali memeluk sambil terus mengusap punggung juga lenganku. “Kakak jangan sedih, kalau kak Haikal nyakitin perasaan kakak bilang sama aku ya!”      Terpaksa aku tertawa kecil di sela-sela tangis. “Enggak sayang, kita baik-baik aja kok. Cuma kakak bangga. Kamu itu pinter, cantik juga… Kuat!”      “Kakak juga, udah pinter cantik banget lagi orangnya! Pantes kak Haikal tergila-gila sama kakak.” Jawab Mesya tertawa lirih melihat sekitar.      “Ah kamu, sekolah dulu yang rajin jangan mikir macam-macam!” Terkadang gadis yang masih duduk di bangku kelas 8 itu membuatku terhibur.      “Sekolah sambil belajar pacaran!”      Sontak aku meremasi pipi Mesya. “Udah, kita pulang ya! Nanti kakak masakin makanan yang enak buat kamu.”      Jujur saja setiap kali melihat Mesya aku teringat Nadia. Adik kandungku yang terakhir, dia sedang melanjutkan pendidikan menjadi dokter di Inggris sementara adikku yang laki-laki, Daniel sudah bekerja di perusahaan AD Entertainment di New York. Betapa aku sangat beruntung bukan? Segala hidupku berada di tangan keluarga Adelard, bahkan aku dulu tidak bisa membantah saat Hendrick menjodohkan aku dengan Libra. Dulu kami sebatas mengenal saja, karena aku sempat ketakutan melihat warna mata itu lain dari kebanyakan orang juga cara dia Libra menatapku sangat tidak ramah. Tapi kini, entah aku gemar sekali melihat matanya.      Setelah Mesya sanggup berjalan karena dia sering berkata kakinya terasa kaku, segera kami bertiga pergi ke swalayan untuk membeli bahan-bahan makanan. Sengaja aku belanja banyak untuk memenuhi isi kulkas nanti di rumah Haikal, juga makanan kesukaan priaku. Udang juga kepiting karena Haikal gemar sekali memasak, bahkan rasanya jauh lebih nikmat daripada masakanku. [...]      Seharian ini aku hanya sibuk dengan Mesya, keseruan kami pun tak bisa ditolak karena dia tidak memiliki kakak perempuan juga aku sudah menganggapnya seperti adik kandungku seperti Nadia dan Daniel. Tapi aku pulang tanpa menunggu Haikal saat Mesya sudah tidur, dan hanya menggunakan taksi karena Nala harus kembali ke rumah tepat waktu.      Aku melepas tali sebagai aksesoris di leher saat masuk ke dalam rumah, sambil membuang kasar tanpa aku sadar rupanya keluarga asing itu sedang berkumpul di ruang tengah sambil menikmati kopi. Aku juga melihat Libra duduk sambil mengangkat kaki kirinya, tangan terdapat tato burung hantu itu berada di punggung sofa menunjukkan tatapannya yang khas mengerikan.      “Hai Safhira, udah pulang Nak? Sini, duduk! Liat nih, Mami kamu bikin kue kacang. Enak loh.” Hanya Hendrick yang menyambut kedatanganku.      Orang yang menjadi waliku sejak SMA itu paling setia menyapa dan memasang wajah ramah, tapi aku tahu apa dibalik kebaikan mereka menyimpan sifat yang berbahaya, cintanya menanggung kengerian. “Hai Pi, maaf sepertinya aku pulang telat!”      “Memang, kan seharusnya kamu yang bikin camilan buat kita santai pas malem.” Tatia ikut andil menyapa dengan intonasinya seperti biasa.      Rasanya aku ingin mengabaikan, tapi bagaimana pun Tatia orang tuaku. “Maaf Mi, tadi… Aku ada sedikit urusan.”      “Urusanmu itu kan cuma mengkhayal sambil minta uang sama Libra.” Lagi, Tatia menanggapi.      Aku melihat Hendrick membelai punggung Tatia, dan memang wanita itu diam seketika tapi pandangan ini beralih sapa karena Libra hanya diam sambil menatap ke layar televisi. Aku meletakkan tas ke samping tempat duduk dan langsung memeluk lalu mengecup pipi Libra. Mulai aku berbuat mesra lebih dulu, rasa jijik pun aku abaikan.      “Mas tadi pulang jam berapa?” Tanyaku memelintir kancing kemeja Libra.      Wajah itu menoleh, Libra tersenyum miring sambil menyambar bibirku sekilas. “2 jam yang lalu.”      Terpaksa aku mengumbar senyum nakal ketika menjatuhkan wajah di pelukan Libra. Rasanya memang menenangkan, tapi selalu saja aroma tubuhnya mengundang makna lain di pikiranku. Sempat aku tergoda untuk lebih lama melihat kedua mata itu, tapi sial aku sudah kepergok Tatia yang terus saja menatap sengit.      “Mas, aku ke kamar dulu ya?” Bukan aku tidak menghormati tapi lelah bisa saja enggan menerima perkataan apapun dari Tatia.      Rupanya Libra tidak memberi ijin karena tangan kirinya seketika mencekal pinggang, meski tanpa perkataan apapun aku memahami saran yang menurut Libra ini baik untukku di depan Tatia. Tak lama aku melingkarkan lagi kedua tangan di perut Libra, menyambut lagi rasa tebal nan keras di bibir kecupan itu.      “Oh ya Safhira, tadi Papi liat kamu di rumah sakit. Kamu baik-baik aja kan Nak?”      Seketika aku terkejut saat Hendrick bertanya demikian. Rumah sakit? Itu saat aku menjemput Mesya, tapi mana mungkin penjelasan ini secara gamblang karena mereka mengenal gadis itu. Sial. Kenapa aku bisa ceroboh seperti ini?      “Papi sepertinya kenal sama gadis yang… Di mana ya? Yang jadi model pakaian olah raga AD Management, tapi lupa siapa. Ah benar-benar lupa.” Sambung Hendrick mengulang.      “Nala Pi,”      Sedikit lega karena Hendrick hanya melihat Nala, tapi aku sanksi jika Hendrick mencoba untuk memancing aku berbicara sebenarnya. “Tadi Safhira cuma anter Nala, katanya dia sering lemes sama kunang-kunang.”      “Bener kamu baik-baik aja?” Tetiba Libra menangkap wajahku, melayangkan pandangan dengan mata itu lagi.      Aku tersenyum manis. “Iya, aku baik-baik aja kok Mas.”      Sedikit tenang karena bisa membuat alasan, ini sebagai peringatan bahwa aku harus bertindak secara hati-hati karena bisa mengakibatkan bahaya di keluarga Haikal nanti. Tapi lain dari ketika Libra bertanya mengapa akhir-akhir ini dia sering memandangku dengan tatapan tajam, tidak seperti biasanya lebih hangat dan menenangkan.      Berusaha agar terlihat biasa aku pun mencicipi kue buatan mertuaku yang memang sangat enak, aku saja tidak dapat resep yang pas meski bahan-bahannya sama persis. “Em… Enak Mi, ini resep kue kacang baru ya? Rasanya beda dari yang biasa Mami bikin, ini… Lebih gurih dan manisnya nggak terlalu.”      Belum aku mendapat jawaban Tatia pun sudah berlalu begitu saja, aku paham dia sangat membenciku tapi bukan masalah karena Hendrick masih menyayangiku seperti putri kandungnya karena keluarga Adelard hanya ada 4 bersaudara dan semuanya laki-laki, Libra anak tertua. Sebenarnya hanya sosok Libra lah yang bisa Hendrick percaya karena dia pria bertanggung jawab bahkan penurut, juga paling misterius dari adik-adiknya dan jarang bersahabat atau bercanda.      “Tadi Papi liat Mami kamu cuma tambahin keju sama… Apa ya tadi? Lupa, maklum Papi kan udah tua jadi pikun.” Justru Hendrick yang kembali menjawab dengan logatnya yang masih terdengar kesusahan.      “Wah, nanti aku mau coba deh Pi. Siapa tau kan…,” aku melirik ke arah Libra yang sibuk dengan acara di televisi. “Mas Libra juga suka, jadi mau makan masakan aku.”      Libra melirik sekilas, memang itu kenyataan yang ada. Sering Libra mengabaikan masakan buatanku tapi resep Tatia bisa membuatnya makan begitu lahap bahkan sampai aku suka melihat cara dia menikmati hidangannya. Aku diam saat pria itu hanya menanggung acara di depannya, saat Hendrick beranjak pun aku segera meletakkan piring ke meja lalu bangun dari tempat duduk. Namun aku gagal melangkah karena Libra menjerat tanganku, menarik kasar hingga aku jatuh ke pelukannya.      Lagi, kedua warna itu menenggelamkan tatapan dalam ruangan minim cahaya tapi aku berusaha untuk tenang agar tidak memperingatkan Libra jika aku memiliki sesuatu yang tersembunyi. Ku rasakan saat ini tangan Libra menyusup masuk ke dalam blazer yang aku kenakan, dan tanpa menunggu sesuatu lagi aku melepas kain tebal di tubuhku dan membebaskan beberapa kancing kemeja hitamku.      “Engh Mas…,”      Segala kecupannya mendarat seperti duri memburuku, hangat tangan itu kasar seperti batu hendak meremukkan tubuh ini walau Libra membelainya sangat lembut dan lidah itu mulai liar di dadaku, tanganku pun membimbing wajahnya terus berada dan memang dia sangat pintar membuat aku mabuk.      Tidak ada siapapun saat ini, Libra menelanjangi bagian tubuh atas. Aku mulai merasa ini terlalu sia-sia untuk dihindari karena rahang berbulu itu terus mengusik bagian kulit leher dan perut. “Aahh, sayangh… Yes, Papa… Terus!”      Tangan Libra menanggung pinggang dan punggung ku ke atas, ia berjalan pelan menaiki anak tangga tapi aku hanya sibuk melumat bahkan sesekali menarik bibir terasa hangat suamiku. Mengulum lidahnya saat menjulur dan aku akan tersenyum genit saat Libra menjilat dadaku, terus hingga aku merasa enggan berlama-lama atas permulaan ini.      Tidak peduli terhadap apapun meski aku memang enggan menolak segala sentuhannya, reaksi ini berbeda jauh dengan naluri ku yang membenci sikap dingin Libra juga ingin segera mengakhiri pernikahan ini tapi bukan tentang pesonanya saat sedang bernafsu tinggi. Apa lagi saat sikapnya kasar melemparku ke ranjang, aku akan segera melepas celana dan menyisakan pakaian dalam kesukaannya. Sungguh tubuh ini haus melihat kedua matanya yang sangat tertarik saat aku menggeliat, menggoda segala gairahnya yang berbahaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD