8. Lamaran Haikal

2405 Words
     Cinta mengulang rasa dari mana sebuah ikatan mampu terbentuk, dua hati saling menjabarkan mengenai kesanggupan bersama dalam mahligai sebuah hubungan. Bukan tragedi jika rasanya akan terbentuk sebuah kesakitan, terus beranjak memberikan pengalaman pada setiap insannya. Indah, terlihat elok karena sorot mata nya salin terpikat akan janji. Itu hanya untaian, bukan makna yang sedang berlaku atas diriku.      Aku menutup kasar laptop saat imaginasi mengenai Leonardo tiba-tiba kandas melihat gelagat itu berada di area parkir butik, aku malas menjelaskan mengapa 2 hari ini aku tidak pulang. Ya, Libra memang tidak peduli tapi rupanya pria itu mencariku ke rumah Nala dan membawa 2 petugas kepolisian. s**t!      Pintu terbuka, aku diam tanpa meninggalkan kursi putar yang sedang aku duduki. Aroma citrus itu langsung menyerang pikiran, jejak kaki dari sepatu pria sangat dekat tapi aku masih saja asyik dengan pemandangan di luar. Tapi tidak ada suara apapun dari mulut Libra, dia hanya berdiri sambil melingkarkan tangan di perut, gayanya santai dengan kaos lengan panjang berwarna hijau tua itu menatap tanpa permisi.      Lama aku diam sambil mengatur napas, tapi karena merasa penasaran dengan apa yang akan Libra lakukan aku pun bangkit dan duduk di tepi meja kantor. Kami saling berhadapan tapi tetap saja Libra enggan bertanya apapun padaku, dia hanya mendekat dan terus membuat jarak kami jelas saling menatap.      Sekali lagi, tidak ada situasi yang sempat aku pikir ini akan menjadi pertengkaran kita berdua. Libra menyusupkan wajah di caruk leher juga kedua tangannya mengusung pinggangku, kini aku berada di pelukannya. Tak ada suara, tapi kecupan Libra seperti musibah yang sedang menyerang.      “Menurut cyber yang Mas bayar mahal kemarin ada mobil hitam berhenti sekitar 10 menit di depan rumah Nala,” Libra menyusun sentuhan lain di punggung dan melepas kaitan bra-ku. “Lalu ada kamu masuk, dan 5 menit kemudian mobil itu pergi meninggalkan kawasan Jakarta. Dari berita itu… Apa kamu mau jelasin semuanya, Honey?”      Napas ini seperti dicekal tangan kuatnya, aku diam merasakan sentuhan Libra mengusung tuntutan. “A… Aku…,”      “Mas belum suruh mereka cari plat nomornya, tapi nanti kalau ketemu… Kamu janji sanggup jelasin semua ya!” Libra menatapku dengan rona mata itu lagi, cantik nan mematikan. “Sayangku….”      “Maaf kalau aku pergi… Nggak minta ijin dan… Nggak jawab telepon Mas kemarin, aku… Cuma kesel, aku marah tapi… Nggak akan ada gunanya ‘kan?” Begitu alasanku jelas, jujur air mata ini tak bisa ditahan karena aku merasa takut jika sebenarnya Libra sudah tahu mengenai hubunganku dengan Haikal.      “Masalah barang yang kamu beli pakai uang tabunganmu itu hm?” Lembut, tapi suara Libra seperti menggema di telinga.      Justru Libra memperjelas perkara ini, aku diam malas melihat wajahnya yang tampak tenang namun menyembunyikan sesuatu di baliknya. Sampai tangan Libra lebih tegas masuk ke dalam pakaianku, tapi tetap saja tidak sedikit pun aku menanggapi.      “Jadi hadiahnya nggak bagus walau sama persis dan kamu nggak suka?”      Ucapan itu hanya aku beri tanggapan berupa gelengan kepala, Libra pun merendah dan kini wajah kita saling berhadapan tepat mengenai sasaran kedua warna berbeda matanya. “Bagus, lebih bagus dari yang aku beli kok.”      “Terus?” Libra mengusik lagi ketenanganku.      “Nggak ada,” aku menoleh demi menghindari tatapan itu. “Sama sekali nggak ada apa-apa!”      Libra meraih dagu lalu mengunci wajahku, kembali aku menemukan sapaan dalam sorot mata yang terlihat begitu cantik ketika sinar matahari dari balik kaca mengenainya. “Mas cuma butuh jawaban kamu suka atau nggak sama hadiahnya?”      Napasnya begitu dekat, mengumbar aromanya yang hampir sama seperti saat Sarah mabuk karena Leonardo. Tidak! Aku merasa Libra seperti racun yang siap melumpuhkan setiap sel-sel saraf. “Aku… Suka sama hadiahnya.”      “Kalau gitu jangan beli barang dari uang tabunganmu sayang, dan… Jangan beli yang tiruan!” Ucap Libra melepas wajahku dan berbalik arah.      “Mas malu kalau istrinya keliatan nggak berkelas ya? Tapi kenapa? Bukannya semua orang tau kalau aku… Cuma anak pungut Tuan Hendrick dulu? Apapun yang aku pakai, mahal atau murah itu nggak bisa hilangkan jati diriku Mas.” Entah kekuatan dari mana aku bisa mengatakan isi hati ini, tapi aku juga merasa sesak.      Aku malu mengakui jika diri ini sangat lemah dalam bersikap, dulu aku tidak peduli akan sikap Libra tapi mengenai usahanya menghancurkan Haikal perlahan terus terang aku terpuruk. Ini tidak adil, kenapa kuasa selalu berada paling hebat di kehidupan ini? Bukankah Libra pria yang lembut dan penyayang?      Diam. Aku pasrah saat Libra menoleh, seakan siap menyerang atas perkataan barusan. “Honey, kamu tau kualitas? Sangat menyayangkan kalau uang yang kamu kumpulin cuma buat beli barang-barang tiruan, percuma! Dan lagi, seenggaknya kamu bisa menghargai dirimu sendiri!”      Ucapannya. Dia mengatakan tentang aku menghargai diri sendiri? Apa maksudnya? Seketika aku berpikir keras. Libra pun berjalan menjauh tapi kemudian dia berhenti di ambang pintu dan menatapku dengan seulas senyum, aku hanya bisa memegang sisi meja tanpa berdaya berbuat apapun karena takut jika Libra berbuat hal tak terduga.      “Bunga itu cocoknya di sebelah kanan, nggak jadi penghalang pas cahaya matahari masuk! Jadi kamu lebih leluasa menikmati hangat cahaya itu waktu pagi! Dan… Vas nya ganti yang lebih kecil!”      Warna ungu bunga Lavender pemberian Haikal, aku tidak pernah mengubah posisinya saat pertama berada di sana. Aku melihat Libra pergi begitu saja, tapi aku masih tidak mengerti mengapa pria itu detail mengamati ruanganku.      Aneh. Gumamku dalam hati melihat letak vas bunga yang menurutku itu cukup besar untuk berada di meja. Aku mengubah posisi bunga seperti yang Libra katakan, meski tidak mengganti ukuran vas tapi aku lihat memang letaknya sangat sempurna, cahaya akan lebih jelas menerangi sekaligus hangatnya bisa mengenai seluruh sudut ruangan.      Pintu sudah tertutup rapat, tapi entah aku ingin melihat postur tinggi tegap itu berlalu dari arah halaman parkir. Di jendela, aku bersembunyi di balik gorden sehingga aku leluasa melihat Libra sempat menerima panggilan telepon. Tak lama pria itu pergi dengan mobil kesukaannya. Aku, tersenyum untuk pertama kali untuk suami yang selalu memberiku perasaan dingin tak tersentuh. [...]      Sehari tanpa menuangkan hobi mengenai Leonardo rasanya ada hal yang kurang di dalam perasaan ini, selama bekerja aku memang seperti tidak bisa apa-apa dan hanya mengandalkan segala urusan butik kepada sekretaris pribadi Libra. Bukan, lebih tepatnya sekarang menjadi tangan kananku. Meski aku ada Nala tapi tetap saja teman baikku itu merupakan model profesional di AD Management, aku tidak bisa selalu memberi Nala beban masalah butik atau hal lainnya.      Sore ini, aku membiarkan ponsel tetap menyala karena Libra seperti telah memberiku peringatan. Dan lagi, entah hawa apa yang telah merasuki jiwanya karena Libra akan menjemputku hari ini. Aku pun hanya mengiyakan daripada harus beradu argumen seperti pagi tadi.      Kulihat pegawai juga kasir masih berada di dalam ruangan, aku pun meminta salah satu dari mereka memesan makanan dari restoran biasa. Aku tahu mereka pekerja yang gigih dari awal butik ini berdiri merekalah yang sudah menermaniku, suka dan duka selama 6 Tahun dilalui dengan kesetiaan mereka di mana aku dulu yang hanya menemani Tatia mengembangkan bisnis ini hingga aku menjadi pemilik sah.      Hari semakin sore, aku tidak pulang malam kali ini dan memutuskan segera keluar dari kantor. Berjalan ke arah pintu utama karena sebentar lagi Libra datang dan aku tidak ingin dia menunggu lama, malas kalau saja pria itu mengeluh. Aku lihat kurir pengantar makanan datang juga supir taksi yang rupanya sedang menungguku.      “Tapi Pak, maaf saya tidak pesen taksi kok.” Aku beralasan, dan karena tidak enak aku pun mengambil uang sebagai ganti waktunya datang ke butik.      “Hai sayang.”      Bola mataku hampir mencuat saat melihat senyum Haikal ada di antara topi hitam yang terlepas, aku pun cemas dan rasanya ingin musnah secepat mungkin atas tingkah konyolnya menyamar sebagai supir taksi. “Hai...kal? Kamu… Kamu ngapain di sini?”      Kamera pengintai di atas pintu sudah pasti menangkap wajah Haikal, dan aku segera menghalangi titiknya dengan sedikit bergeser lebih dekat dengannya. Seketika aku terkejut lagi karena tiba-tiba saja Haikal mengenakan cincin di jari manisku. “A… Apa ini?”      “Baby, kamu mau kan nikah sama aku?”      Sungguh dadaku terasa menyempit saat bernapas, sama sekali tidak ada perasaan haru atau bahagia mendengar lamaran Haikal ketika melihat mobil Libra berada di depan gerbang, aku tidak dapat berdiri bahkan tanganku seketika dingin. “Haikal, kenapa kamu lakuin ini sih?”      Haikal pun menoleh sekilas melihat mobil Libra. “Kenapa? Kamu nggak mau jadi istriku?”      “Plis Haikal, ini bukan saatnya kita saling berdebat! A… Aku harus pergi!” Langkahku terhalang oleh posisi tubuh Haikal di depanku.      “Jawab Ze! Kamu mau kan jadi istriku?”      Mataku liar, jantungku terasa ingin meledak saat Libra keluar dari mobil dan berjalan ke arahku. “Iya. tentu dong aku mau. Tapi… Kita bahas ini nanti ya sayang! Ada… Mas Libra dan aku harus pulang, maaf.”      Sebenarnya aku tidak tega tapi ini harus karena akan sangat berbahaya jika Libra melihat Haikal, aku segera berlari kecil menghampiri Libra agar dia tidak bertemu dengan priaku. Dan saking merasa takut aku pun melepas cincin dari Haikal tapi betapa menyesalnya aku tidak sengaja menjatuhkan cincin itu mengenai daun yang berserakan, dan tidak ada waktu aku memungutnya.      “Hai Mas, tumben sih hari ini pulang cepet?” Aku langsung mengalungkan tangan di tengkuk Libra, menghalangi pandangannya agar tidak bertemu dengan Haikal.      “Iya, udah nggak ada kerjaan lagi.” Libra hanya sibuk dengan mengecup kedua pipiku.      Aku tersenyum juga melenggok manja dan segera membimbing Libra untuk menjauh dari butik. “Tapi… Aku laper, kita mampir dulu ke restoran biasa ya?”      “Tapi Honey…,”      “Udah, ah! Nggak ada tapi, tapi segala!” Sempat aku menoleh ke tempat Haikal berdiri, perasaan ini merasa hancur sudah menyakitinya.      Terlalu singkat aku mendengar ungkapan manis sebuah lamaran seorang pria pertama kalinya, tangis ini pun hampir pecah tapi sebisa mungkin aku harus mengendalikan diri dan memang bersikap aneh di depan Libra sudah menjadi tugasku agar Haikal tetap aman, karena tidak mungkin aku membiarkan Libra bertindak leluasa atas hutang orang tuanya. Itu sama saja akan menghancurkan diriku sendiri.      “Memangnya kita mau makan apa?” Tanya Libra menghidupkan mesin mobil.      Dari kaca mobil aku hanya bisa melihat Haikal mengambil cincin yang sempat terjatuh, aku pun tertunduk lemas tanpa ingin berbuat hal lain. “Terserah Mas aja, aku ikut!”      “Loh, tadi bukannya Mama yang laper ‘kan? Kalau kita ke…,”      “Iya tapi Mama maunya Papa yang milih tempat.” Lirih aku menjawab, rasanya sangat sakit mengenai hari ini.      “Ya udah, kita ke restoran Jepang aja ya? Papa kangen masakan negara itu.” Ungkap Libra membelokkan mobil ke kanan dan menjauhi butik. [...]      Sepanjang kebersamaan aku dengan Libra tidak sedikit pun kami berbincang sesuatu, bahkan aku masih mengingat apa yang Haikal lakukan beberapa menit lalu. Aku merasa tidak berguna sebagai seorang kekasih, harusnya ini saat paling tepat aku bisa mewujudkan mimpi bersamanya. Tapi tidak mungkin mengingat jika Libra memegang kendali atas segala sesuatu tentang Haikal.      “Kita ke bandara sebentar ya?”      Terkejut akan suara Libra, aku segera mengatur kembali perasaan. “Memangnya kita mau ngapain ke sana Mas?”      “Antar Papi sama Mami pulang.” Jawab Libra singkat, wajahnya sibuk melihat jalanan.      Setiap saat Hendrick dan Tatia datang lalu pergi, ada tersirat perasaanku yang siap menanggung perasaan rindu tapi juga aku merasa sedikit tenang karena Tatia tidak bisa terus mengintai kegiatanku. “Oh gitu, iya deh. Tapi… Habis ini aku… Mau ke rumah Nala ya?”      “Nggak! Kamu pulang! Kalau perlu jangan berteman lagi sama dia!”      Pernyataan Libra membuatku terkejut. “Maksud Mas apa? Kenapa aku nggak boleh temenan sama Nala lagi?”      “Dia nggak baik buat kamu Honey!” Ucap Libra lagi tanpa beban.      “Kenapa Mas bisa punya alasan begitu? Apa salah Nala?” Aku menjawab dengan nada yang hampir berteriak.      Sepi, Libra tidak mengatakan alasan apapun mengenai Nala. Pria itu sibuk memperhatikan jalan sambil melihat ponselnya berkali-kali, aku yang ingin tahu mengapa Libra melarangku berhubungan dengan Nala pun hanya bisa menunggu sampai mobil berada di bandara.      Terlihat Libra keluar terburu-buru tanpa peduli aku yang sedang mengatur langkah kaki karena hak tinggi yang kupakai sedikit membuat kaki ini kesulitan berjalan cepat, dengan perasaan kesal aku segera menyusul Libra ke tempat Hendrick dan Tatia menunggu. Dari kejauhan aku dapat melihat kedua orang tua asuhku melambaikan tangan, bukan ke arahku melainkan putra sulungnya.      “Nak, akhirnya kamu ke sini. Mami pikir kamu nggak akan dateng loh!” Tatia memeluk tubuh tinggi Libra sedikit kesulitan, aku hanya menunggu apa yang akan wanita itu katakan padaku.      “Mami hati-hati ya di jalan! Salam buat ketiga adikku.” Ucap Libra tersenyum kecil.      Entah apa yang membuat Tatia selalu saja menangis ketika berpisah dengan Libra, kasih sayang itu sangat dalam dan aku juga menginginkan hal itu walau sekali. Tapi tidak akan mungkin, aku pun menyambut pelukan Hendrick yang menenangkan.      “Safhira, jaga diri kamu baik-baik ya sayang! Maaf kalau selama Papi di sini merepotkan kalian.” Ucap Hendrik mengusap kedua sisi wajahku.      “Enggak kok Pi, sama sekali nggak ngerepotin. Aku seneng masih bisa ketemu Papi,” kupeluk lagi tubuh Hendrick yang tidak seperti dulu, saat ini dia sudah semakin tua. “Di sana Papi juga harus jaga kesehatan ya!”      “Pasti Nak, dan… Jaga Libra untuk Papi ya!”      Satu kali dalam banyak kesempatan saat aku dan Hendrick berpisah, entah mengapa ucapan itu selalu keluar. Untuk apa aku menjaganya? Bukankah seharusnya Libra bertindak demikian karena aku ini istrinya? Ah, kenapa aku harus memiliki perasaan menuntut sedang pria itu sama sekali tidak peduli denganku.      Melihat keberadaan Tatia, aku hanya mendekat perlahan dan mengecup tangannya. “Mami, hati-hati ya! Jaga kesehatan!”      Paras cantik itu diam, tapi kemudian Tatia tersenyum kecil untukku. “Jangan bebani pikiran Libra ya! Mami minta tolong sama kamu Safhira.”      Sungguh aku tidak pernah tahu mengapa Tatia selalu berkata aku ini hanya beban untuk Libra, tapi sudah pasti aku hanya mengangguk singkat dan memeluk Tatia. “Iya, Mami jangan khawatir!”      Kulihat Libra menatap kosong ke arah Hendrick dan Tatia berjalan menjauh, semakin hilang dari pandangan saat pesawat akan berangkat. Segera aku berjalan meninggalkan Libra tapi entah kenapa perasaan ini janggal dan benar saja saat aku melihat lagi ke tempat dia berdiri aku menemukan prasangka sulit, wajah tanpa ekspresi itu masih saja melihat ke arah kedua orang tuanya pergi.      “Dasar anak Mami!” Ungkapku lirih dan melengos begitu saja, aku masih kecewa dengan sikap Libra akhir-akhir ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD