7. Tertata Rapi Dalam Kerinduan

2160 Words
     Rasa semakin terbelenggu dalam kabut tebal seperti sikap dan mata itu, aku merasa Libra mulai menunjukkan sikap angkuhnya selama beberapa tahun terakhir karena memang dulu kami jarang sekali mengobrol, hanya ketika ada hal penting yang perlu dibahas saja dia mengajakku bicara juga saat gairahnya perlu diurus. Semakin aku bertindak nakal karena lebih dulu berbuat agresif, itu semakin menyakiti perasaan.      Aku bangun lebih awal dari biasanya, pertama kusiapkan semua kebutuhan Libra juga menemaninya sarapan dan setelah itu aku pergi lebih dulu tanpa berkata apapun karena aku malas peduli dengannya. Ini hal biasa yang terjadi di antara kami, tidak ada rasa ingin tahu satu sama lain dan sekarang aku malas bersikap manis setelah apa yang dia lakukan beberapa hari kemarin. Keterlaluan. Bisa-bisanya Libra merendahkan aku meski barang itu dibeli dengan hasil tabunganku selama beberapa bulan.      Sengaja aku meminta supir hanya mengantar ke rumah Nala, dan di sana tepatnya di sisi rumah mobil Haikal sudah menunggu dan aku langsung menemuinya. Di dalam mobil, sudah ada Mesya di jok belakang sedang mendengarkan musik tetapi gadis itu melepas earphone saat aku datang.      “Hai Mesya, hai sayangku,” aku menyambut kecupan mesra Haikal di bibir. “Udah lama nunggu ya?”      “Nggak kok kak, baru aja 10 menit yang lalu.” Mesya menjawab.      “Maaf ya, tadi soalnya aku…,” bukan saat yang tepat jika aku berkata mengenai tugas seorang istri di depan Mesya, gadis di belakangku itu tidak tahu jika aku sudah menikah. “Bangun kesiangan.”      “Tuh, sama. Kak Haikal juga kalau bangun harus dibangunin! Kalau ada Pak Bos telepon baru deh gugup!” Imbuh Mesya menunjuk Haikal.      Bos? Entah jika menyinggung soal Libra napasku langsung sesak, mual rasanya akan sikap itu. Tapi aku akan mencoba biasa karena hari ini hanya ada waktu bersama Haikal dan Mesya.      “Hari ini kita mau jalan-jalan ke mana?” Rasanya tidak sabar, sudah seminggu ini aku tidak bertemu dengan Haikal.      “Ke mana ya? Gimana kalau menikmati alam?” Haikal mengutarakan niatnya.      Ke luar kota? Segera aku meraih lengan kekar Haikal. “Sayang, aku nggak mungkin ke luar kota dong!”      Terlihat Haikal menatap Mesya dan mendekatkan wajahnya ke telingaku. “Dia mintanya kita jalan-jalan ke sana Ze, mau ya?”      “Nggak bisa Haikal… Nanti…,” aku menoleh lagi ke arah Mesya agar percakapan ini tidak didengar. “Mas Libra nyariin aku gimana?”      “Jadi sekarang kamu udah sanggup di sisinya terus?” Haikal memalingkan wajah.      Wajah dipenuhi bulu tipis itu aku belai dan memberinya kecupan di pipi. “Sayang, bukan gitu. Iya, aku juga mau ke sana. Tapi… Kamu juga harus urus diri kamu dong! Kalau Mas Libra tau kamu bisa… Dipecat!”      Jika saja sebatas dipecat mungkin itu tidak terlalu mengkhawatirkan, tapi tidak bisa dibayangkan Haikal dan Mesya terkena imbasnya. Atas perkataan ini juga priaku terlihat murung, tangannya sibuk menghidupkan mesin mobil.      “Gimana kalau kita… Jalan-jalan keliling Jakarta?” Haikal tersenyum tipis ke arahku.      “Loh, tadi katanya kita mau…,”      “Iya, tapi kakak ada urusan sore nanti! Kapan-kapan aja ya?” Aku tahu jika Haikal kecewa, tapi dia berusaha untuk tenang dan membatalkan acara ke puncak.      Wajah cantik nan lucu Mesya juga tampak benar-benar sedih, aku merasa tidak tega melihat semua ini. “Ya udah, ayo kita ke sana! Tapi besok kita pulang ‘kan?”      “Baby, jangan dipaksa aku…,”      “Nggak, itu bukan masalah kok. Ayo, kita habiskan waktu berlibur ke vila!” Segera aku menyela perkataan Haikal.      Tersirat keraguan dari wajah Haikal, tapi aku akan lebih merasa bersalah karena ini adalah impian Mesya karena dokter sudah mengizinkannya pergi sebentar menikmati udara segar, aku pun berusaha meyakinkan Haikal jika semua akan baik-baik saja karena sejujurnya aku sudah muak sekali harus terus berada di lingkungan Adelard, pikiranku juga butuh kesenangan walau sehari. [...]      Beberapa jam dalam perjalanan, aku dan Haikal tak banyak bicara. Kami sesekali saling menatap bertukar senyuman sambil dia terus mengecup tanganku, rasanya ini momen yang ingin terus aku lewati bersamanya.      “Akhirnya, sampai juga.” Di depan pintu gerbang tak terlalu tinggi, aku ingat jika vila itu tidak banyak berubah.      Suasana pertama kali saat aku resmi berpacaran dengan Haikal, dia mengajakku melihat-lihat betapa pemandangan dari perkebunan miliknya sangat indah. Aku tidak sabar ingin mengulang semua hal tentang kita berdua, tapi mataku terbelalak melihat papan bertuliskan jika perkebunan milik keluarga Rahadyan telah dijual.      Tak kuasa melihat apa yang sedang terjadi dan aku yakin itu semua dilakukan karena untuk menyicil hutang-hutang ayahnya kepada keluarga Adelard. Saat Haikal dan Mesya ke tempatku kami berjalan masuk ke vila, mataku tidak lepas dari papan di ujung jalan juga entah aku mencari tanda lain apakah vila ini juga dijual. Ingin rasanya bertanya kepada Haikal tapi aku tidak enak, biarlah waktu yang mengungkit dan dia akan membicarakan tentang ini dengan sendirinya.      Rumah terbuat dari kayu dan hanya memiliki 1 lantai itu seketika menyambut pikiran ini untuk tenang, sejenak melupakan pria menyebalkan itu namun rasa nyaman terganggu dari suara ponselku, terlihat nama Libra di sana dan aku membiarkannya saja sampai beberapa kali.      “Mau apa sih? Yang dicari kan bukan aku, tapi tempat nafsunya!” Rutuk ku kesal menonaktifkan ponsel.      “Ada apa sayang?”      Aku terkejut saat Haikal memelukku dari belakang. “Ah nggak kok, nggak ada apa-apa.”      “Kita barbeque an ya? Mau ‘kan?”      “Mau kak,”      Belum aku mengiyakan atas pertanyaan Haikal secara terang tapi Mesya lebih dulu menjawab, aku pun hanya tersenyum melihat mereka saling berlari kecil menuju vila. Di mana kebahagiaan itu tersirat arti yang luar biasa dan aku menginginkan sebuah hubungan keluarga, sudah lama rasanya Nadia dan Daniel jauh dariku tapi untuk menemui mereka itu tidak akan mungkin karena Libra.      Siang terlihat sangat mendung, aku khawatir jika hujan disertai petir datang tapi Haikal dan Mesya tetap melanjutkan acara barbeque. Dari jarak sekitar 50 meter aku memilih duduk di ambang pintu ruang tengah berhadapan langsung dengan teras belakang, sesekali aku menggoda Haikal dengan menunjukkan tali warna merah tua pada celana dalam brief low rise pemberian darinya, sikap itu sempat menggelengkan kepala sambil tertawa.      Rasa takut akan suara petir terlalu membatasi karna di luar mendung dan aku pun memilih untuk membaca majalah, tapi membosankan karena buku itu edaran lama. “Daerah sini mana ada yang jualan majalah, ini kan yang dibawa Haikal waktu itu.”      Bosan menunggu mereka asyik di luar sementara aku sibuk akan ketakutan mendung yang sudah aku alami selama sekolah menengah pertama, aku juga lupa apa pemicu dari fobia ini. Dulu Hendrick yang bisa membuatku nyaman saat datang hujan, tapi… Tiba-tiba aku memeluk tubuhku sendiri merasakan betapa hangat tangan juga dadanya yang bidang, segala marabahaya dari suara petir seakan musnah.      Sofa empuk menjadi tempat merebahkan kepalaku sambil melihat keseruan Haikal dan Mesya. Mereka kakak beradik yang sangat kompak, aku menyukainya saat diri ini butuh hangat keluarga. Lambat, perasaan ini merindukan dan entah aku mengantuk karena hawa dingin pegunungan. [...]      “Sayang, Hei!”      Seketika aku memburu tubuh di depanku. “Mas, aku takut! Tadi hujan ya? Ada petir ya? Mas, aku…,”      Mataku berair saat menemukan wajah lain yang baru saja aku anggap sebagai Libra. Sungguh mengapa ini harus melukai? Aku pun kembali memeluk Haikal dan membenamkan wajah ini di dadanya. “Maaf, aku pikir tadi ada petir.”      Rasa hangat telapak tangannya mempererat pelukan. “Nggak sayang, tadi cuma gerimis kok. Aku yang seharusnya minta maaf karena bikin tidur kamu keganggu.”      Kulihat lampu ruangan menyala, di luar sudah gelap. Aku tertidur di sofa. “Maaf sayang, aku… Tadi ketiduran. Maaf ya?”      Haikal mengecup kening ku. “Iya, jangan minta maaf. Kamu nggak salah kok! Sekarang kamu makan malam dulu ya?”      Pelukannya terlepas, tapi aku enggan beranjak dan justru duduk di pangkuan Haikal. “Emang acaranya udah selesai? Mana Mesya?”      “Tadi kita sempet makan bersama cuma… Aku nggak mau bangunin karena kamu pasti capek karena perjalanan ‘kan?” Haikal menyingkirkan beberapa helai rambutku menutupi wajah.      “Kok gitu? Harusnya aku ikut makan bareng dong! Ah kamu, nggak seru!” Aku kesal, kenapa Haikal harus mendukung rasa kantuk ku.      “Aku nggak tega sayang.” Ucap Haikal menahan pinggangku saat aku menghindar kecupannya.      Rasa kesal karena fobia ini juga mengapa aku tidak bisa menikmati suasana indah puncak saat barbeque, entah siapa yang harus disalahkan tapi aku mulai menyukai di mana Haikal menggendongku ke dapur.      “Tadi aku sisakan satu porsi kepiting buat kamu makan malam,” Haikal sangat senang saat aku menggerakkan kedua kaki dan bertingkah manja di pelukannya. “Sekarang, waktunya makan Baby!”      Rumah besar itu terlihat sepi, aku mencari-cari ke mana Mesya yang ada hanya tukang bersih-bersih vila di dapur tapi wanita itu kemudian pergi saat melihat aku dan Haikal di dapur. “Sayang, Mesya ke mana? Kok sepi sih?”      Haikal menarik kursi di bawah meja, dia membuatku duduk nyaman di tempat makan. “Tadi kita sempet nge-game, tapi abis itu aku suruh dia buat istirahat setelah minum vitamin. Nggak lama dia… Makan buah, dan tidur!”      “Nggak minum obat?” Mataku mengikuti arah ke mana tangan Haikal menyiapkan makanan untukku.      “Iya belum,” pria itu membelai rambut dan menyodorkan aku piring berisi nasi juga piring satunya masakan dari olahan kepiting. “Nanti kalau bangun baru aku suruh minum obat, biasa kan anak itu malem-malem pasti ngigau.”      Demi apapun rasa kepiting asam manis buatan Haikal sangat nikmat, aku lupakan apa itu mendung dan guntur jika malam ini datang. “Harusnya disuruh minum obat dulu sebelum tidur dan jangan sampai telat!”      Terlihat mata hijau kecoklatan itu mengedarkan pandangan, tak lama Haikal mengangguk lalu beranjak dari tempat duduk dan pergi meninggalkan dapur. Kulihat lagi postur tinggi tegap itu hilang meninggalkan jejak rindu yang masih aku rasakan, aku pun menyingkirkan piring dan menyusul Haikal ke kamar Mesya.      Begitu sabar, telaten ketika Haikal merawat adiknya yang tengah sakit parah. Aku membantunya menyingkirkan gelas juga baki di nakas dan setelah itu kami keluar karena Mesya harus beristirahat, ini adalah jam untuk Mesya merileksasikan tubuhnya.      “Makan nya udah?” Haikal bertanya, aku pun menggelengkan kepala.      “Kenapa? Nggak enak ya?” Tanya itu membuatku mengalungkan kedua tangan di tengkuk, aku mencoba meraih bibir itu tapi Haikal justru menghindar.      Aku mendengus manja, terus berjinjit meraih wajah Haikal tapi selalu gagal karena tinggi kita terpaut jauh. Aku yang sebatas pundaknya tidak cukup pintar mengecup bibir Haikal, tapi kemudian tangan kekar itu meraih paha yang seketika aku di pekukannya dengan kedua kakiku melingkar di pinggang.      “Aku merindukanmu sayang!” Bisik Haikal melumat dagu ku.      “Me too my Baby.” Ungkapku seraya mencekal wajah itu untuk memperdalam kecupan di bibir Haikal.      Katakan saja aku mulai tergoda begitu Haikal memperosokkan punggungku di dinding, tepat di depan kamar Mesya aku melihat sekitar apakah ada yang melihatnya tapi entah karena lidah itu melata di leher aku pun tidak peduli. Sampai ketika Haikal puas, dia membawaku berjalan ke arah kamar.      Perlahan aku menanggalkan kaos juga pembungkus dadaku, menggeliat genit ketika Haikal bernafsu menjerumuskan tubuhku di tepi ranjang menyisakan kedua kaki ini di luar tempat tidur. “Engh, yes… Sayangh…,”      Matanya berkilat tajam, Haikal menarik rok mini yang aku pakai dan membuangnya ke sembarang arah. Tak ingin kalah dari itu, aku segera merentangkan kaki sambil membelai bagian yang masih tertutup rapat oleh kain merah, aku mengusik bentuk milikku dengan jari tengah sambil meremasi bagian ujung dadaku sendiri.      “Lets play Haikal, ugh… Lakukan sekarang sayang!”      Wajah itu merendah demi memberikan dampak lain, aku merasakan betapa sentuhannya sangat terasa lembut namun memberikan efek ganas ketika lidah itu mendarat, mengulum apa yang sudah aku bebaskan dari celana dalam. Mataku menatap langit-langit begitu Haikal mencoba menyesap milikku tanpa ampun, aku pun menggeliat tak dapat menahan segala yang tertatih di sana, dadaku terus membusung serta tangan ini meremasi rambut juga sebelah kiri mencoba memainkan ujung dadaku.      Haikal bangkit, bibir itu terlihat mengkilat hasil dari jejak yang baru saja aku mahu. Tubuh dengan guratan otot di lengan juga perutnya yang membentuk keseksian itu merangkak, mendekati perut juga berujung mengulum dadaku dan sesekali Haikal menggigit kecil ujungnya di mana aku pasti akan merasa pandangan ini menghitam. Nikmat. Aku meremasi kain sprei begitu jemari besar itu berada untuk menumbuhkan dampak rasa luar biasa, terus mengulang dengan tempo menggila sampai aku berteriak.      “Oh… Safhira,” Haikal mulai membelai bagian inti dengan bentuknya mulai mengeras. “peluk aku sayang! Yes, mari bermain-main huh!”      “Haikal…,” aku melenguh panjang karena gairahnya telah berada di dalam sana dan mulai mengurung rasa ini tanpa ampun.      Tubuhku diguncang, diajak merasuki hawa begitu fantastis dan sulit aku tinggalkan. Aku melihat kedua mata itu, mengulum aroma bibirnya dengan lembut. Menarik, dengan gigitan pelan sambil aku mengabsen bagian-bagian gigi putih Haikal. Tapi entah suara desahanku tertanam akan rasa sesak di dalam rongga menyimpan degup jantung ini, aku memejamkan mata masih menikmati segala cumbunya tapi mata ini berseru dengan tangis tak bisa aku gapai artinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD