Keberuntungan Seorang Gadis

1696 Words
Meskipun berada di dalam aula, pancaran panas sinar matahari masih mampu menembus dinding yang melindungi para mahasiswa. Melisa berserta mahasiswa lainnya berbaris dengan posisi menyerupai tentara sarden. Persediaan oksigen dalam ruangan seakan menipis. Suasana aula drama semakin panas dan membuat tubuh Melisa mulai mengalami dehidrasi. Seorang gadis berwajah Korea terus memelototi Melisa, meski Melisa berpendapat cara gadis itu melihatnya sangat menggelikan. Melisa bahkan bisa melihat dua buah tanduk iblis khayalan mulai tumbuh di atas kepala sang gadis. Wajahnya terlihat merah merona karena udara panas. Dengan napas memburu akhirnya si gadis memanggil mesra, ″Melisa Candrawati, maju!″ Itu cukup mesra, jika saja kedua matanya tidak terlihat seperti akan mencelus keluar. Melisa tidak menyangka bahwa di hari pertama ospek, dia mendapatkan sepupunya yang bernama Ella sebagai kakak pendamping. Satu hal yang bisa Melisa pastikan: Ella membencinya. Melisa hanya bisa berharap agar Ella tidak merencanakan tindakan kriminal selama ospek. Melisa sangat paham bahwa Ella bisa melakukan apa saja pada semua yang dianggap sebagai penghalang. Melisa dari awal memang tidak terlalu bersemangat mengikuti ospek. Baginya acara pengenalan mahasiswa baru dengan lingkungan kampus bisa dilakukan oleh setiap mahasiswa junior secara individu tanpa perlu bantuan ataupun tuntunan dari mahasiswa senior. Melisa ngeri dengan kegiatan yang sebenarnya tidak termasuk dalam ospek. Para senior bisa saja menggunakan acara ospek sebagai ajang balas dendam. Hal mengenai ″acara membalas dendam″ sebenarnya dilarang oleh pihak kampus, namun masih saja para senior bisa melakukan ″ajang balas dendam″ dengan cara berbeda. Mereka tidak memukul atau menendang junior. Mereka melakukan pelampiasan dengan cara yang terbilang lumayan halus, katakan saja bentakan dan hukuman. Melisa menyebut hukuman dari senior sebagai beban hidup. Dan, Melisa sangat malu mengenakan perlengkapan ospek yang diwajibkan: seragam hitam putih, topi dari koran, kalung rempah-rempah, dan papan yang dituliskan dengan nama mahasiswa tersebut. Di saat seperti ini Melisa merasa ilmu menghilangkan hawa keberadaan sangat dibutuhkan. Kebanyakan mahasiswa yang sering menjadi sasaran ospek adalah mereka yang mempunyai kelebihan; lebih cantiknya, lebih tampannya, dan lebih terkenal. Poin pertama dan kedua bisa sangat menguntungkan, tapi poin terakhir itu relatif. Lihatlah pada kasus Melisa yang menjadi target ospek hanya karena sebuah insiden. Saat permainan, Melisa mendapat hukuman menyatakan cinta pada senior yang dianggapnya paling tampan. Tanpa ragu Melisa melakukan pernyataan cinta pada seorang senior bernama Dimas. Sialnya, senior yang dipilih Melisa itu sangat populer. Bahkan Ella ternyata juga menaruh hati kepada Dimas. Hal yang semakin memperburuk keadaan Melisa. Maka, di sinilah Melisa berada. ″Melisa Candrawati! Dengar!″ bentak si gadis. Suaranya menggelegar bagai petir dan guntur. Melisa menduga gadis yang membentaknya mungkin merupakan seorang demigod—manusia setengah dewa—keturunan langsung dari Zeus sang penguasa petir. Melisa mulai memandang keadaan sekitar: nampaklah wajah-wajah pucat pasi yang dihiasi keringat dingin, cengiran para senior yang merasa penderitaan junior merupakan sebuah hiburan, lalu senyum cemerlang Dimas. Melisa merasa seperti melihat oasis di tengah-tengah padang pasir. Teduh, menenteramkan, menyejukkan jiwa yang kering kerontang, bahkan rasa lelahnya langsung lenyap hanya karena senyum Dimas. ″Sudah maju saja, jangan melawan. Ingat, kita ini mahasiswa baru,″ bisik Bety yang ada di samping Melisa. Bety terlihat lebih pucat daripada Melisa. Bulir-bulir keringat dingin mulai keluar dari keningnya. Melihat kecemasan sahabatnya, Melisa ingin berkata, tenang saja aku bisa mengatasinya. Namun keinginannya menguap mendengar raungan senior. ″Maju! Atau perlu saya tarik?″ Mahasiswa junior mulai penasaran dengan tindakan selanjutnya yang akan dilakukan Melisa, sementara beberapa senior yang melihat keberanian Melisa mulai saling memasang taruhan mengenai berapa lama Melisa sanggup bertahan dari tekanan. Melisa mulai menyisir keadaan sekitar dan yang dia temukan: berbagai macam pasang mata yang siap menelan Melisa bulat-bulat dan suasana yang membuatnya merasa seperti seorang pesakitan. Melisa merasa telah salah memilih jurusan untuk kuliah. Beberapa detik berlalu, Melisa masih diam mematung di tempat, ragu antara maju menuruti kehendak si senior galak atau nekat dengan diam seribu bahasa mengabaikan komando. Akhirnya Melisa berucap, ″Saya sepertinya sudah paham dan tidak perlu maju.″ Ups, kesalahan besar. Si senior mulai memamerkan deretan gigi putihnya dan menggeram, ″Berani membantah senior?″ Dua orang gadis yang Melisa tebak sebagai pengikut senior ganas menatapnya dengan pandangan mencemooh. Di belakang mereka bertiga, Ella terlihat puas dengan penderitaan sepupunya. Tentu saja Ella sangat menikmati apa yang dirasakan oleh Melisa. Tidak ada yang lebih membahagiakan di dunia ini melihat saingan cintamu jatuh tersungkur. ″Sudahlah Mona, hukum saja,″ ucap gadis berambut keriting. ″Mungkin dia perlu pelajaran tambahan.″ ″Tentu saja, dia memang perlu pelajaran lebih.″ Lain kali Melisa akan mengingat sebuah pepatah bijak, mulutmu harimaumu. *** Sedari tadi Melisa merasa setiap langkahnya selalu diperhatikan. Tentu saja Melisa paham betul dengan arti tatapan yang ditujukan padanya. Menilik situasi yang dialaminya saat ini: Satu tangan membawa kain pel sedang sisi lainnya tengah menenteng ember, ditambah dengan tulisan ″saya mahasiswi nakal yang tidak patuh″ tergantung jelas di leher Melisa. Rasanya Melisa ingin segera mencari kanal terdekat dan melakukan terjun bebas. Melisa hanya bisa menghela napas mendapati apa yang dialaminya. ″Pasti repot.″ Ketika Melisa membalikkan badan dan tepat seratus delapan puluh derajat, Dimas sudah berada di belakangnya. Sungguh ini merupakan pemandangan yang menyejukkan mata Melisa. ″Ya?″ ucap Melisa dengan wajah yang masih terlihat lelah, mengenaskan, berkeringat, dan menyedihkan. ″Lihat,″ ucapnya sambil menunjuk peralatan kebersihan Melisa. ″Butuh bantuan?″ Untuk beberapa saat Melisa merasa melihat bunga-bunga bermekaran di sekitar wajah tampan Dimas. Dalam hati Melisa sangat bersyukur pada keberuntungan yang didapatnya. Jika bisa, Melisa ingin segera melempar seluruh peralatan ospeknya dan melayang menuju ke dalam pelukan hangat Dimas. Membayangkan berada dalam pelukan Dimas membuat wajah Melisa merona. Rasa senang tidak bisa disembunyikan. ″Terima ka—″ ″Dimas!″ sela suara yang bisa Melisa kenali milik Ella. Melisa mulai merutuki saat-saat indahnya bersama Dimas yang terganggu oleh kedatangan Ella. ″Sedang apa kau?″ tanya Ella sambil melingkarkan tangan ke lengan atletis Dimas. Ella sengaja memperlihatkan kedekatannya dengan Dimas di hadapan Melisa. Dia ingin Melisa segera sadar dengan posisinya dan menjauh dari Dimas. Sayangnya Dimas nampaknya tidak terlalu senang dengan kehadiran Ella. ″Tidak ada,″ jawab Dimas sambil melepaskan lengannya dari lilitan tangan Ella. Jelas terlihat guratan kekecewaan di wajah Ella. Dia mulai menggigit bibir bawahnya. Kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika tidak mendapatkan hal yang diinginkan. ″Dimas. Sepertinya bagian kesiswaan mencarimu,″ ucapnya sambil merapikan rambut ke belakang telinga. ″Benarkah?″ Dimas nampak ragu. Sesaat dia melihat Melisa dengan tatapan memelas. Seolah memohon padanya sambil berkata, bersediakah kau menunggu, sejenak? Seharusnya Melisa menjawab, iya. Namun, melirik Ella yang terlihat seperti ingin melempar Melisa ke dunia lain. Melisa memutuskan tidak berkata demikian. ″Ayo cepat!″ desak Ella. ″Mereka membutuhkanmu.″ ″Baiklah. Apa boleh buat.″ Akhirnya Dimas langsung berbalik arah meninggalkan Melisa dan Ella. Begitu keberadaan Dimas benar-benar lenyap, Ella langsung berubah sikap dari seorang putri jelita menjadi penyihir jahat. ″Jadi,″ ucapnya sambil memutari Melisa dengan gerakan ala ratu Inggris. ″Berencana mendekati Dimas?″ Melisa bisa merasakan hawa mendominasi menguar dari tubuh Ella. Hawa yang menjelaskan bahwa ″Dimas milikku″ dan Melisa sebagai hama pengganggu harap segera enyah dari hadapan Dimas. Tatapan Ella begitu intens dan menyiratkan rasa tidak suka. Mau bagaimana lagi, hubungan Melisa dan Ella memang terbilang sangat tidak baik. Sejak kecil, Ella selalu mengganggu Melisa, merebut mainannya, dan yang paling tidak disukai oleh Melisa, Ella suka sekali mengadukannya kepada sang nenek yang notabene lebih sering membela Ella. Ella setahun lebih tua dari Melisa. Ella memiliki kulit putih bersih dan rambut seperti selebritis Eropa. Sementara kulit Melisa seputih s**u dan rambutnya bagaikan langit malam tanpa bintang. Hal itulah yang menyebabkan Ella begitu membenci Melisa. Melisa memiliki kecantikan sejati yang sebenarnya sangat diimpikan oleh Ella. ″Tidak,″ jawab Melisa dengan nada acuh tak acuh. ″Asal tahu saja.″ Ella mulai menarik-narik ujung rambut Melisa. ″Dia milikku. Aku yakin, Mama dan Papa pasti tidak akan senang.″ Jari-jarinya yang lentik mulai bermain-main di atas kepala Melisa. ″Tenang saja. Aku tidak berencana mengadu. Kau paham posisimu, 'kan?″ Ucapannya membuat panas telinga Melisa. Kedua tangannya mengepal, meski begitu Melisa berusaha tetap terlihat tenang. Senyum tak ikhlas mengembang di bibir Melisa. ″Aku paham.″ ″Bagus,″ ucap Ella sambil mengusap-usap kepala sepupunya. ″Karena kau tak pantas untuk Dimas.″ Setelah Ella puas dengan reaksi lawannya, akhirnya dia menghilang dari pandangan melisa. Melenggangkan kaki jenjangnya dengan senyum kemenangan. *** Melisa bersyukur masih memiliki seorang sahabat baik yang selalu membuatnya tersenyum dalam keadaan sesulit apa pun. Bety memang sangat memahami polah dan tingkah sahabat karibnya. Jika Melisa bertindak ceroboh dan cenderung gegabah. Bety sebaliknya, setiap tindakannya selalu diperhitungkan dan teratur. Jika mereka berdua dibandingkan, maka akan terlihat seperti sisi gelap dan terang. Bety merupakan tipikal gadis yang selalu menampilkan senyum cemerlang meski tengah berada di medan perang. Sedangkan Melisa termasuk jenis manusia yang berpikiran cenderung murung. Melisa terkadang merasa iri dengan teman SMA-nya. Meskipun usia mereka sama-sama delapan belas tahun. Bety sangat bijak dalam menyikapi masalah yang ada di sekitarnya. Berbeda jauh dengan Melisa yang gampang tersulut emosi dan sering tidak berpikir jernih dalam bertindak. ″Mel!″ sapa Bety. ″Pasti repot, ya?″ Melisa tersenyum mendengar sahabatnya mengucapkan hal yang sama dengan Dimas. ″Hari ini sudah dua orang menanyakan hal serupa.″ ″Siapa?″ tanya Bety penasaran. ″Senior Dimas. Tadi aku sempat bertemu dengannya ketika aku ... yah kau tahu sendiri detail apa yang aku kerjakan.″ ″Bukan jenis pertemuan yang romantis, ya?″ ″Pastinya,″ jawab Melisa lemas. Bety memutar mata mendengar jawaban Melisa. ″Sumpah! Aku pikir, kau ingin mengantikan posisi salah satu OB di kampus.″ Tepat sekali. Melisa banyak melakukan pekerjaan. Tubuh Melisa lelah luar biasa dan yang lebih membuatnya sengsara adalah Ella. Dia benar-benar musang berbulu domba. Anggun di luar, namun hancur di dalam. Dan hanya Melisa seorang yang tahu. ″Mel, butuh hiburan?″ Melisa melirik Bety yang menatapnya dengan wajah penasaran. ″Jangan mengajakku menonton acara yang berbau dangdut. Hari ini aku sedang alergi dengan semua yang berhubungan dengan joget, goyang, dan sebangsanya, dan sesaudaranya, dan sekawannya.″ Bety hanya mengerutkan dahi sebagai reaksi dari celotehan Melisa. ″Aku hanya ingin ditemani berbelanja.″ Tanpa perlu bertanya dua kali Melisa memutuskan langsung mengiakan ajakan Bety.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD