Melintas Dimensi

1156 Words
″Kita sampai,″ ucap si sopir. Tampak rumah kayu bergaya Jawa kuno. Bangunan itu terkesan paling tradisional di antara bangunan modern yang mengapit di kanan dan kirinya. Patung ayam terlihat mencuat di atas talang kayu rumah Jawa kuno. Melisa dan Bety keluar dari mobil dan langsung menuju rumah kuno, sementara si sopir menunggu di dalam mobil. ″Bet,″ tanya Melisa, ″apakah kita akan masuk ke rumah yang itu?″ Bety hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Melisa. ″Tentu saja. Kakekku sangat menyukai benda kuno. Kakek pasti senang jika kita memberinya sesuatu yang antik. Lagi pula, toko ini sangat direkomendasikan oleh teman Ayah.″ Entah mengapa, Melisa merinding melihat bangunan Jawa kuno rekomendasi teman ayah Bety. Kebanyakan orang menghias emperan toko mereka dengan bunga berwarna cerah atau tanaman yang bisa menyegarkan mata. Sedangkan toko yang didatangi Melisa dipenuhi dengan pot berisi bunga melati beserta bunga kantil yang aromanya menusuk hidung. Melisa tidak bisa menghentikan imajinasinya mengenai gadis bergaun putih dengan tawa khasnya. Belum cukup juga suasana angker yang disebabkan dua tanaman berkelopak putih, si empunya toko menambahkan sebuah pohon beringin mini di samping patung gajah yang menginjak ular. Selera yang meresahkan jiwa, pikir Melisa. Bety tampak tak terganggu dengan tata cara penataan toko. ″Selera yang unik,″ kata Bety berjalan sambil lalu. Oh begitu, ya? ucap Melisa dalam hati. Lalu, bagaimana dengan ini? Deretan patung ala Majapahit manyambut mereka berdua dengan aura angker yang tak kalah seram. Melisa berharap tidak ada hal yang berbau supranatural dalam patung-patung tersebut. Dia sangat tidak menyukai segala hal yang berhubungan dengan mistis dan mitos. Kedua daun pintu bergaya Jawa sudah terbuka lebar. Tampak seorang lelaki berumur empat puluh tahun menyembul keluar. ″Ada yang bisa saya bantu, Nona Raharjo?″ sapa si pemilik toko dengan nada seorang kepala sekolah. Si pemiliki toko mengenakan baju putih ala kompeni yang dilengkapi dengan sepatu berwarna serupa. Kumisnya mengingatkan Melisa pada sosok Pak Raden. Si pemilik toko memiliki bentuk badan yang subur dengan bagian perut membuncit. Kedua matanya berbinar cerah menyapa Melisa dan Bety. ″Silakan masuk,″ ucap si pemilik. Mereka berdua langsung mengikuti pemilik toko. Toko barang antik yang dipenuhi dengan benda kuno beraroma keramat. Etalase dijejali dengan rangkaian topeng Panji Kelana berwarna merah dan putih. Ada juga beberapa topeng yang sering digunakan dalam pementasan tarian opera Cina dengan aneka rupanya. Menatap topeng-topeng tersebut sudah mampu membuat Melisa berhalusinasi. Lukisan putri Jawa dan beberapa gadis berbaju Belanda, menambah kesan antik sekaligus mistis. Setiap benda yang ada di toko seperti memiliki roh. Melisa sangat yakin bahwa tidak akan ada satu penjahat pun berani menjejakkan kakinya ke dalam toko. Melisa dan Bety diperlakukan layaknya pelanggan VIP. Duduk di sofa empuk dan diberikan minuman dingin serta semangkuk biskuit cokelat. ″Bagaimana dengan ini?″ tanya si pemilik toko sambil mengeluarkan jejeran batu beraneka warna di atas meja kayu jati. ″Ini,″ kata si pemilik toko sambil mengambil sebuah batu berwarna merah darah. ″Merupakan batu mirah delima yang sering diburu oleh kolektor batu di Indonesia. Batu ini dipercaya bisa menetralisir energi buruk. Atau Anda ingin memberikan Tuan Raharjo batu amber?″ Si pemilik toko kembali meletakkan batu mirah dan mengambil batu lainnya. ″Batu ini bisa menambah karisma sang pemilik. Banyak pejabat yang menginginkannya untuk menambah pamor. Atau Anda lebih suka cincin giok dari Cina? Ah, saya tahu. Onix hitam mungkin cocok.″ Bety hanya menggelengkan kepala, menolak barisan batu berkilau. Lama-lama Melisa jadi gemas. Dia tidak paham dengan apa yang di cari oleh sahabatnya. Melisa berpendapat bahwa batu-batu tersebut sudah terlihat sangat kuno, antik, dan mungkin juga keramat. Melisa menduga jika Bety mencium salah satu batu tersebut, mungkin akan muncul jin botak berwarna biru dari dalam batu. ″Hm, apa yang kira-kira Nona inginkan?″ tanya si empunya toko sambil mengusap-usap dagunya. ″Mungkin sesuatu yang bisa membangkitkan kenangan orang lain?″ jawabnya. Si pemilik toko mulai menarik-narik ujung kumisnya. ″Begitu ya? Coba Nona ikut saya sebentar ke ruangan sebelah.″ Bety langsung bangkit mengikuti si pemilik toko. Sementara Melisa lebih memilih diam di tempat. Firasat Melisa berkata, jika dia masuk lebih dalam akan berakibat buruk bagi kesehatan mata. ″Oh ya, Nona,″ kata si pemilik toko menatap Melisa dari balik pintu. ″Hati-hati dengan benda yang ada di sekitar Anda. Semuanya sangat langka. Memerlukan perlakuan khusus. Beberapa bisa mendatangkan peruntungan atau sebaliknya. Jadi jangan ceroboh.″ Melisa menelan ludah. Tanpa mengucapkan sepatah kata, dia langsung mengangguk. ″Bagus.″ Akhirnya mereka berdua menghilang dan meneruskan perbincangan. Beberapa menit berlalu dan nampaknya perbincangan Bety akan menghasilkan sejumlah episode yang panjang. Melisa bisa melihat mereka dari jendela yang menghubungkan ruangannya dengan ruangan tempat mereka berada. Baguslah, sepertinya akan sangat lama, gerutu Melisa. Karena bosan Melisa memutuskan berkeliling melihat benda yang dipajang di etalase. Ada radio tua, patung kayu berbentuk buaya, pemutar musik lengkap dengan piringan hitamnya, dan topeng Singo Barong. Melisa memutuskan melihat benda lain yang lebih menarik. Setelah berjalan menuju pojokan toko, dia menemukan sebuah kotak musik yang terbuat dari kayu. Ada tulisan-tulisan aneh di atas kotak persegi. Harusnya Melisa mendengarkan pesan si pemilik toko agar tidak sembarangan menyentuh barang. Sayangnya dia tidak mematuhi nasihat si pemilik toko. Dibutakan oleh rasa penasaran, akhirnya Melisa mengambil kotak tersebut untuk memastikan bentuk tulisan yang tercetak di atasnya. ″Apa bacanya?″ tanyanya sambil membuka penutup kotak. Ada sengatan yang Melisa rasakan di kedua tangannya ketika membuka penutup. Rasanya dunia yang ada di sekitarnya berputar keras. Terasa tiupan angin keluar dari dalam kotak. Resah, ingin melepaskan pegangan namun dia tidak bisa. Seperti ada orang di belakang yang memeluknya. Melisa ingin berontak namun tidak berdaya. Tiba-tiba ada lubang besar di bawah kedua kakinya. Melisa langsung terisap ke dalam tanpa sempat meminta pertolongan. *** Petir dan kilat saling menyahut di langit yang seharusnya terlihat cerah. Beberapa binatang kegelapan berlari menghambur dari penjuru hutan. Terdengar raungan dan cicitan menggema. Burung-burung berterbangan menciptakan pusaran hitam di angkasa. Semua merasa gelisah karena energi sihir yang menguar. Dari dalam istana kegelapan, seorang pemuda berambut hitam tampak duduk tenang. Di atas singgasana kebesarannya, dia terlihat kuat dan tak tertandingi. Siapa saja yang melihatnya akan langsung memahami kedikdayaan yang dimilikinya. Dia juga tahu pergolakan energi yang tengah terjadi. Sadar dan paham dengan kondisi yang caruk maruk. Dari dalam kegelapan muncul mahluk berkulit hijau. Kedua matanya berwarna kuning menyala. Bentuk wajahnya seperti buaya, namun dia memiliki tubuh sempurna seorang manusia. Seluruh badannya dibalut oleh baju zirah berwarna tembaga. ″Tuan,″ sapanya. Si pemuda masih memejamkan kedua matanya. ″Ya Zaroq, aku tahu.″ ″Sang orakel nampaknya melakukan sihir dimensi. Apa yang akan Tuan lakukan?″ ″Biarkan,″ jawabnya tenang. Makhluk berkulit hijau tampak tak paham dengan ketenangan yang diperlihatkan tuannya. Dia tidak berani mengusik dengan pertanyaan yang ingin dia ajukan. Si makhluk sadar, hal terbijak yang harus dilakukan saat ini adalah diam dan menunggu perintah tuannya. Senyum mulai memulas bibir pemuda berambut hitam. Rautnya memunjukkan kesenangan akan tantangan yang didapatnya. ″Ah, dia memanggil seseorang yang menarik.″
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD