Bukan Seorang Putri Salju

2160 Words
″Aku ada di mana?″ Itulah pertanyaan yang diajukan Melisa. Beberapa detik yang lalu, Melisa tengah bersama Bety memilih hadiah ulang tahun. Tetapi hal terakhir yang diingat Melisa hanyalah teriakan melengking yang keluar dari mulutnya serta lubang gelap. Sebuah lubang gelap yang tak berujung. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Seolah Melisa baru saja melakukan lari maraton. Otot-ototnya protes, menolak keinginan menggerakkan tubuh. ″Sakit,″ keluhnya. Melisa memaksakan diri melawan rasa nyeri yang berdengung di sekitar pinggul. Meskipun harus bersusah payah untuk bangkit, pada akhirnya Melisa sanggup berdiri tegap dan melihat dengan penuh ketakjuban bercampur rasa ngeri. ″Tidak, tidak mungkin!″ Secara otomatis tubuhnya langsung gemetar. Melisa berharap apa yang dilihatnya tidaklah nyata. Semua hanya terdiri dari pepohonan dan semak berduri. Pemandangan yang mirip dengan hutan belantara yang sering Melisa saksikan dalam Discovery Chanel. Suasana pekam dan cicitan mahluk yang tak bisa Melisa pastikan jenisnya semakin membuatnya merasa tidak berdaya. Melisa pikir, toko barang antik yang dikunjunginya bersama Bety itu mengerikan, namun suasana yang dia lihat saat ini jauh lebih seram. Ada dua pilihan. Antara diam di tempat sambil menunggu pertolongan yang mungkin datang, atau berjalan sendiri mencari jalan keluar di hutan yang terlihat sangat tidak aman. Melisa akhirnya memutuskan mengambil resiko dengan berjalan menyusuri hutan gelap, meski tidak paham dengan medan tempat yang didatangi. Setelah berjalan cukup jauh, Melisa memutuskan untuk mengistirahatkan kedua kakinya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada pohon tumbang yang bisa dijadikan sebagai sandaran lelah. Kelembapan yang dimiliki hutan, membuat otak Melisa menjadi lambat berpikir. Samar-samar tercium aroma jamur dan lumut. Keringat akibat aktifitas di kampus, membuat badan Melisa terasa lengket. Melisa berharap bisa mendapatkan mandi yang layak. Kondisinya jauh dari kata ″bersih″. Melisa meluruskan kaki dan mulai memijat pelan kedua betisnya. Sendirian, Melisa belum juga menjumpai manusia yang bisa dimintai tolong. Semakin lama berada di hutan antah berantah, semakin membuat Melisa merasakan keganjilan yang tak bisa dijelaskan. Bisa dibilang insting alamiah Melisa dalam mengantisipasi bahaya di sekitar tengah memberikan sinyal siaga satu. Melisa mengambil HP dari saku kemeja, berharap bisa menghubungi mamanya dan meminta pertolongan. Nihil. Tak ada satu sinyal pun yang muncul di layar. Pertanda buruk. Melisa menyimpulkan bahwa dia tengah berada di tempat antah berantah yang sangat jauh dari peradaban. Sendirian di hutan belantara bukan sesuatu yang bisa dianggap menyenangkan. Seharusnya di saat seperti ini Melisa mulai berteriak histeris dengan suara melengking untuk meminta pertolongan, tetapi Melisa memilih tidak melakukan adegan drama seorang gadis yang tidak berdaya di hutan belantara. Menilik keadaan sekitar yang tidak memperlihatkan tanda-tanda kehidupan, berteriak setinggi tujuh oktaf pun tidak akan mendatangkan pertolongan. Melisa kembali memasukkan HP-nya ke dalam saku dan melanjutkan perjalanan tanpa tujuannya. Akibat dari pepohonan yang menjulang tinggi, Melisa tidak bisa memastikan apakah saat ini siang atau sebaliknya karena cahaya matahari terhalang oleh dedaunan yang begitu rimbun. Jika gadis normal berada pada posisinya, mereka pasti akan ketakutan dan berteriak minta tolong. Namun tidak dengan Melisa. Bukan berarti Melisa seorang gadis berjiwa singa. Dia hanya berusaha memusatkan pikiran pada hal-hal yang menyenangkan. Melisa tahu berpikir buruk dan kehilangan kendali hanya akan memperburuk keadaan. Akan jauh lebih baik bagi Melisa memikirkan hal-hal yang menyenangkan seperti permen, kucing, dan sesuatu yang berwarna merah muda. Sudah hampir lima belas menit Melisa menyusuri jalan. Pohon dan semak terlihat seperti membentuk sosok khayalan dengan daun dan tangkainya yang tumbuh subur. Binatang dengan mata menyala serta serangga berwarna cerah dengan sayap aneh hilir mudik di hadapan Melisa. Beberapa kali Melisa harus melarikan diri dari kejaran binatang yang merasa terusik oleh kehadirannya. Tanpa arah dan tujuan, Melisa terus melangkahkan kaki dengan harapan bertemu dengan juru selamat. Dari suatu tempat Melisa mulai mendengar suara gemerisik, kresek, kresek, yang kemudian disusul dengan sapaan, ″Hi! Apa kau sendirian?″ Mendengar seseorang memanggil, secara otomatis Melisa menghentikan langkah. Melisa mengedarkan pandangan mencari asal suara. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan bunyi decitan mahluk pengerat. Merasa kecewa, Melisa kembali melanjutkan perjalanan. ″Apa kau kelaparan?″ Sekali lagi, Melisa mendengar suara asing. Kali ini dia berusaha keras mencari asal suara. ″Siapa?″ tanyanya balik. ″Hi hi hi. Padahal kami di sini,″ balas suara asing. Si pemilik suara tertawa. Melisa sangat tidak suka dengan jenis tawa renyah bernada mengejek. ″Tak masalah jika kalian tidak ingin memperlihatkan diri.″ ″Wah wah wah, tersesat,″ ucap suara asing. ″Dia kelihatan enak,″ ucap suara asing lainnya. ″Bolehkah aku memakannya, Zerk?″ Dari cara mereka berucap, Melisa mencium gelagat tidak menyenangkan. Perlahan-lahan dia mulai berjalan menjauh tanpa memperlihatkan rasa takut. Setelah merasa cukup aman, Melisa mulai berlari secepat yang bisa dilakukan. ″Hi hi hi, dia ketakutan.″ ″Aku ingin memakan tangannya. Sepertinya enak.″ Makan, makan, dan makan. Sepertinya mereka terlalu bersemangat dengan topik yang membuat kenyang. Tak masalah jika mereka ingin mengenyangkan perut, namun lain cerita jika mereka bermaksud menjadikan Melisa sebagai hidangan. Jantung Melisa mulai berdetak lebih kencang. Bulir-bulir keringat membasahi tubuh Melisa. Melisa tidak suka merasa terancam. ″Menjauhlah dariku!″ teriaknya histeris. Semakin keras Melisa berusaha menjauh dari suara-suara asing, semakin dekat dia merasakan keberadaan mereka. Jantung Melisa berdegub kencang memompa darah ke seluruh anggota tubuh. Tekanan yang dirasakan di d**a membuat Melisa tercekik. Dia tahu ada bahaya yang tengah mengincar. Sialnya, Melisa tidak bisa memastikan keberadaan yang mengancam itu. Terasa sebuah tarikan kuat, kedua kaki Melisa langsung lunglai. ″Lepaskan aku!″ Melisa jatuh terjembab di atas tanah lembab. Kemeja putihnya ternoda lumpur. Seutas tali sudah melingkar erat di kedua kaki Melisa. Meskipun dia berusaha keras bangkit, namun tarikan grafitasi yang dirasakan jauh lebih kuat daripada tenaga yang dimiliki Melisa. Seakan bumi mengeluarkan seluruh daya yang dimilikinya untuk menahan Melisa. ″Tertangkap!″ Melisa sedang tidak ingin bercanda. Dia tidak berencana menjadi menu makanan. Bagaimanapun juga, dia harus bergegas mencari pertolongan. Entah, harus ke mana pula mencari pertolongan? Menggerakkan kedua kaki saja sudah terasa berat baginya. Sekuat dan sekeras apa pun usaha Melisa, semuanya terasa payah dengan semakin menipisnya tenaga yang dimiliki. ″Hi hi hi. Aku sudah lama tidak makan manusia.″ ″Dia kurus, namun sepertinya cukup untuk kita berdua.″ Melisa tidak ingin percaya dengan apa yang dilihat oleh kedua matanya. Dua sosok makhluk kerdil keluar dari dalam tanah. Pakaiannya terbuat dari dedaunan dan kulit kayu. Tinggi kedua makhluk yang menangkap Melisa tidak sampai bocah berumur tujuh tahun. Hanya saja wajah mereka terlalu menyeramkan untuk ukuran balita. Hidung lancip seperti ranting kayu, kulit yang dipenuhi dengan kutil, kedua mata yang berwarna kuning seperti penderita hepatitis, terdapat guratan hitam mengitari bola mata mereka. Keduanya seperti Golum dari Lord of the Ring, bukan jenis kurcaci ramah yang akan menawarkan kue dan biskuit hangat. Saat ini juga Melisa ingin menampar dirinya sambil berkata, ini tidak nyata. ″Pert, dia mulai kehabisan tenaga.″ ″Hi hi benar. Sepertinya dagingnya enak.″ ″Tidak bisakah kau bicara selain daging Pert?″ ″Tapi Pert lapar. Pert ingin makan daging.″ Makhluk kerdil berambut gimbal melihat Melisa dengan tatapan lapar. Gigi-gigi runcing terlihat jelas dari mulutnya yang tersenyum puas. ″Pert, akhirnya kita bisa makan kenyang.″ Satu lagi yang berkepala botak mulai menari-nari aneh sambil berucap, ″Tidak-tidak. Dia terlalu kurus untuk kita Zerk.″ Bingung, kaget, takut. Semuanya bercampur aduk dalam diri Melisa. ″Ya Tuhan! Makhluk apa kalian ini?″ ″Tidak sopan. Pert bukan mahluk. Pert adalah mempis. Namaku Pert dan si gimbal ini Zerk.″ ″Ya, sudah lama sekali aku tidak makan daging.″ Kabar buruk, mereka bukan seorang vegetarian. Yang lebih membuat Melisa pedih, apa untungnya mengetahui jenis dan nama mereka jika pada akhirnya dia akan dijadikan menu makanan? ″Zerk, dia tidak cantik. Apakah rasanya akan enak?″ Seharusnya Melisa marah dan melempar pencercanya dengan batu, namun dia hanya berucap, ″Karena aku tidak cantik, bisakah kalian melepaskanku?″ Dengan tatapan penuh harap. Sayang, reaksi tidak sesuai dengan harapan Melisa. ″Dasar!″ ucap si kurcaci sambil menghela napas. ″Pert ketahuilah, tidak baik memilih-milih makanan. Lebih baik kita segera memasaknya. Aku sudah lapar.″ ″Pert tidak keberatan dengan daging mentah.″ Mereka berdua sibuk berdebat mengenai memasak atau langsung memakan Melisa mentah. Sementara bermacam pikiran mulai menyerang kepala Melisa. Tak ingin kuku-kuku hitam dan kotor mereka mencengkeram tubuh Melisa. Melisa tidak ingin dijadikan mangsa makhluk kerdil yang dipenuhi kutil. Dan yang terpenting dari semuanya: Melisa tidak ingin berakhir menjadi menu makanan. Apa tidak bisa mereka ditipu? Kembali Melisa berkata pada dirinya sendiri, apa tidak bisa mereka ditipu? ″Tunggu!″ sergah Melisa. ″Apa kalian benar-benar ingin memakanku?″ Makhluk kerdil berambut gimbal menatapan jengkel Melisa. ″Hmm?″ ″Zerk. Sudahlah kita makan mentah saja,″ rengek si makhluk botak. Makhluk berambut gimbal itu mengacungkan tombak tajam kepada Melisa dan berkata, ″Bukankah sudah jelas. Kami berdua sangat membutuhkan asupan daging, terutama daging manusia. Semenjak para demon rendahan dan bayang kegelapan melahap hampir seluruh manusia yang tinggal di sekitar hutan, kami harus puas hanya dengan lumut dan ganggang. Sementara makhluk lain yang kami coba mangsa terasa tidak enak.″ ″Ya. Pert tidak suka ganggang dan lumut,″ ucapnya sambil mengelap bibir hitamnya seolah baru saja melahap makanan terburuk. Melisa memang tidak mahir dalam bela diri, namun dia tahu: kedua makhluk kerdil di hadapannya tidak terlalu pandai. Melisa berencana untuk mengelabui mereka berdua. ″Bagaimana ya ... sungguh ... sayang sekali,″ katanya dengan nada semelankonis mungkin. ″Kenapa, apa kau cacingan? Pert tidak keberatan sama sekali.″ Enak saja! gerutu Melisa. Melisa menggelengkan kepala. ″Bukan!″ Keluarlah kemampuan akting dadakan perayu milik Melisa. ″Hanya saja tidak bisa begitu saja. Memakanku.″ Kedua makhluk kerdil saling beradu pandang sebelum akhirnya kembali menatapnya dengan penuh tanya. ″Katakan padaku, mengapa kami berdua tidak boleh memakanmu begitu saja?″ ″Ya. Beri tahu Pert.″ Sesuai dengan rencana Melisa, mereka penasaran. ″Aku bukan sembarang manusia,″ kata Melisa dengan nada bangga. ″Bagi mereka yang memakan dagingku akan mendapatkan kekuatan mahadahsyat. Kalian bahkan bisa melebihi para bayang kegelapan dan demon yang kalian takuti itu.″ Guru drama di sekolah mungkin akan menangis haru melihat kemampuan akting Melisa. Melisa bahkan merasa pantas mendapatkan Piala Oscar. ″Bagus. Pert tidak akan ragu lagi.″ Kurcaci itu langsung melangkah mantap mendatangi Melisa dengan mulut dipenuhi air liur. ″Tunggu!″ sergah Melisa. Tangan Pert yang sudah mencengkeram lengan Melisa terhenti seketika. ″Ada pengecualian.″ ″Apa lagi?″ tanya mahluk yang sudah bisa dikenali oleh Melisa sebagai Pert. ″Mereka harus memakanku secara utuh. Hanya satu di antara kalian yang bisa memakanku. Jika kalian masih nekat berbagi. Maka kalian tidak akan mendapatkan kesaktian. Terserah, jika memang rela melepaskan kesempatan yang jarang dan langka ini. Lagipula, bukankah kalian berdua sahabat karib? Apa salahnya jika salah satu dari kalian mengalah demi kebaikan bersama,″ jawab Melisa penuh tipu muslihat. Zerk mulai tersenyum licik. ″Pert, sepertinya kau harus mengalah.″ ″Apa!″ teriak Pert. ″Kau tahu, sudah berapa lama Pert tidak makan? Kali ini, Pert harus makan daging!″ Di luar dugaan. Mereka percaya dengan cerita karangan Melisa. Terlihat sorot jengkel di kedua mata hitam Zerk. Dia mulai menggengam erat tombaknya. Memandang lurus ke arah kawannya dengan amarah. Melisa bisa mencium aroma keserakahan. Zerk mengangkat tombaknya dan mengayunkan senjata kepada sahabatnya. Terdengar suara brukk! Siasat Melisa berhasil. Serangan yang dikeluarkan Zerk sanggup membuat Pert terjungkal beberapa meter. Cairan berwarna hijau muda mulai keluar dari ujung bibirnya. ″Kenapa?″ ucapnya terbata-bat, ″Pert ... teman Zerk.″ Senyuman licik yang memuakkan menghiasi wajah kurcaci kikir. ″Tapi aku ingin kuat. Kau dengar sendiri apa yang dikatakannya tadi? Hanya satu saja.″ Pert merasa dikhianati. Dia mulai bangkit dan menggeram. ″Pert, tidak bisa memaafkan Zerk!″ Setelah berkata demikian mereka akhirnya saling bertarung. Melisa merasa bersalah dengan apa yang dialami Pert, namun dia lebih peduli dengan hal buruk yang mungkin menimpanya. Tanpa buang waktu, Melisa langsung berusaha melepaskan ikatan di pergelangan kaki. Melisa berhasil melepas ikatan. Melisa melihat kedua kurcaci itu masih saling hajar satu sama lain. Itu merupakan pertanda bagus bagi Melisa untuk segera melarikan diri. Melisa merasa seperti tokoh kancil dalam cerita dongeng. Memang dalam keadaan genting, ilmu pengetahuan sangat berguna. Meskipun pada kasusnya ilmu mengadu domba. Satu lagi kebiasaan buruk Melisa. Dia sering mengomel dan meratapi kejadian buruk yang dialami. ″Tempat apa ini? Apakah dunia yang dikunjungi oleh Alice seperti ini? Aku tidak pernah ingat tentang cerita Alice yang hampir dimangsa kurcaci karnivora. Jika tempatku berada sekarang adalah dunia sihir, setidaknya berikan aku pedang cahaya untuk melawan penjahat!″ Takut dengan kejadian yang baru dialami, Melisa memutuskan untuk terus berlari. Belajar dari pengalaman: tidak baik berhenti dan berdiam diri di tempat asing. Entah sudah berapa lama dia berlari, hingga akhirnya Melisa merasakan hantaman keras di belakang kepalanya. Lelah dan kehabisan tenaga, akhirnya Melisa menyerah. ″Dasar bocah cilik! Beraninya memperdayaiku!″ Melisa tidak memiliki tenaga untuk melawan, kedua matanya terasa berat. Sebelum kedua matanya terpejam, Melisa bisa melihat wajah yang dipenuhi kutil dan cairan hijau. Kemudian kegelapan pun merangkul Melisa menuju ketidaksadaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD