Chapter 15

1262 Words
Hyeon Woo menghampiri Joo Heon yang saat itu duduk di teras swalayan. Hyeon Woo menempatkan duduk di samping Joo Heon sembari memberikan teguran. "Apa yang sedang kau lakukan?" Joo Heon sekilas memandang dan menjawab, "menghirup udara segar." Keduanya sempat tersenyum ketika saling bertemu pandang. Keduanya lantas memandang ke depan, menemukan salju tipis yang berjatuhan dari langit. "Apakah sudah selesai?" tegur Joo Heon. Hyeon Woo mengangguk. "Paman Shin menyuruh kita makan sebelum pergi." Hyeon Woo menyerahkan upah yang sebelumnya diberikan oleh si pemilik swalayan. Joo Heon menerimanya dan memasukkannya ke dalam saku tanpa memeriksa berapa yang ia terima hari ini. Karena mereka pun membantu di sana dengan suka rela untuk mengisi kekosongan saat libur panjang. Joo Heon kemudian berucap, "kita di sini bukan untuk bekerja, kenapa paman itu selalu memberikan uang dan makan?" Hyeon Woo tersenyum lebar. "Setidaknya kau harus berpura-pura keberatan saat menerimanya." Joo Heon menatap sinis dan menyunggingkan senyumnya. "Kak Son sedang menghakimiku?" Dengan seulas senyum yang masih tertahan di kedua sudut bibirnya, Hyeon Woo menggeleng. Joo Heon kemudian berucap dengan acuh sembari kembali memandang ke depan, "tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini. Hanya kentut dan buang air yang bisa dilakukan dengan mudah." Mendengar suara Joo Heon yang menyerupai suara lebah itu, Hyeon Woo lantas tertawa ringan dan membuat Joo Heon menatapnya dengan sinis. "Apanya yang lucu?" tegur Joo Heon. "Aku berbicara fakta. Faktanya buang angin adalah hal yang paling mudah dilakukan." Joo Heon kemudian mengalihkan pandangannya sembari menggerutu, "tapi sangat sulit buang angin saat musim dingin. Eih ... kenapa udaranya dingin sekali?" Joo Heon merapatkan pakaian luarnya. Dan Hyeon Woo pun menyahut, "sekarang aku tahu kenapa dia memanggilmu dengan sebutan bayi lebah. Suaramu memang terdengar mirip lebah jika sedang kesal." Joo Hyeon memandang Hyeon Woo dengan dahi yang mengernyit. "Siapa yang Kak Son maksud?" Tawa ringan Hyeon Woo terhenti, menyisakan seulas senyum tipis. Ia pun menjawab pertanyaan Joo Hyeon, "Hwang Kihyeon." "Orang itu?" Raut wajah Joo Heon tiba-tiba terlihat murung. Kembali memandang butiran salju yang jatuh, Joo Heon kembali teringat akan perasaan dulu ketika Kihyeon dan Chang Kyun tiba-tiba menghilang. Joo Heon kemudian bergumam, "sudah tiga tahu, apa kiranya yang mereka lakukan sekarang?" "Mereka pasti menjalani kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan hidup di sini." Sudut bibir Joo Heon tersungging. "Bagaimana jika sebaliknya?" Hyeon Woo memandang Joo Heon, begitupun sebaliknya. "Kenapa kau berpikir seperti itu?" "Eih ... Kak Son ini bagaimana? Kak Son tidak pernah berpikir tempat seperti apa yang ditinggali oleh Kak Hwang dan Chang Kyun? Paman Sejin dan paman Geun Woo merahasia tempat itu dari semua orang. Bisa saja mereka mengirim kak Hwang dan Chang Kyun ke sebuah pulau terpencil ... bayangkan kehidupan seperti apa yang mereka jalani di pulau terpencil dengan penduduk yang bisa dihitung oleh jari tangan." Hyeon Woo menyahut penuh pertimbangan, "itu terdengar masuk akal. Tapi aku ragu paman Sejin akan benar-benar mengirim putranya sendiri ke tempat seperti itu." "Akan lebih masuk akal jika paman Sejin membuang mereka," ucap Joo Heon bernada acuh. "Kihyeon adalah satu-satunya putra yang dimiliki oleh paman Sejin, mustahil jika dia melakukan itu pada Kihyeon." Joo Heon kembali memandang Hyeon Woo dengan tatapan yang lebih menuntut. "Tiga tahun yang lalu, Kak Son mengatakan bahwa kak Hwang harus meninggalkan distrik untuk bertahan hidup." "Aku mendengarnya dari ayahku," ralat Hyeon Woo. "Katakan saja bahwa paman Sejin mengusir kak Hwang dari distrik untuk melindungi kak Hwang. Tapi bukankah itu juga menegaskan bahwa rumor tentang militer Distrik 1 yang terlibat dengan kematian kak Kijeon juga benar?" Hyeon Woo menghela napas panjang. Hal itu bukan lagi rahasia. Namun fakta itu tenggelam begitu Kihyeon menghilang dari distrik. Dan mereka yang masih tinggal di distrik berpura-pura tidak mengerti apapun tentang konspirasi yang terjadi di sekitar mereka. Karena dengan begitu, mereka akan terlepas dari kecurigaan para anggota militer. Hyeon Woo kemudian bergumam, "waktu cepat sekali berlalu. Aku pikir baru kemarin aku mengikuti ujian masuk Universitas. Tapi ternyata itu sudah tiga tahun yang lalu ... aku rasa aku merindukan Shin Chang Kyun." Joo Heon menjatuhkan pandangannya pada ujung kakinya yang tengah bermain dengan tumpukan salju di bawah kakinya. Joo Heon kemudian menyahut, "aku penasaran sebesar apa dia sekarang. Apakah dia sudah bisa berbicara dengan benar?" Hyeon Woo tersenyum lebar, terlihat tak percaya dengan ucapan Joo Heon. "Apa yang sedang kau bicarakan? Sejak awal anak itu memang sudah bisa bicara dengan baik." "Tapi dia hanya mau berbicara pada kak Hwang. Itu membuatku sedikit iri." Joo Heon mengangkat pandangannya di saat dahinya mengernyit. Namun ia segera tertegun ketika melihat sosok Min Hyeok lewat di jalan depan swalayan. "Oh! Bukankah itu saudaraku, Han Min Hyeok?" Hyeon Woo memandang ke arah yang dimaksud oleh Joo Heon. Dan bukan hanya Min Hyeok, melainkan juga ada Hyung Won yang berjalan beberapa meter di belakang Min Hyeok. Kedua pemuda itu melintas begitu saja tanpa menyadari keberadaan rekan-rekan mereka. Joo Heon kemudian bergumam, "dari mana mereka?" Hyeon Woo menyahut, "Bukit Terlarang. Sepertinya Hyung Won menyusul Min Hyeok di sana." "Eih ... sampai kapan dia akan melakukan hal konyol ini? Sudah tiga tahun dan dia tetap menunggu kak Hwang di tempat itu. Aku harap dia akan segera menyerah, kenapa dia bersikeras menunggu kak Hwang di sana?" Joo Heon terlihat sedikit kesal. Sedangkan Hyeon Woo tampaknya memahami posisi Min Hyeon saat ini, meski ia tidak tahu kenapa Min Hyeok begitu keras terhadap dirinya sendiri selama tiga tahun terakhir. "Pasti ada yang kita lewatkan selama tiga tahun ini." Joo Heon memandang Hyeon Woo dengan tatapan bertanya. "Apa maksud Kak Son?" "Han Min Hyeok, sepertinya dia memiliki penyesalan yang besar atas kepergian Kihyeon." Joo Heon langsung berseru, "ah ... aku ingat, aku ingat. Bukankah waktu itu kak Han mengatakan bahwa kak Hwang ingin mengatakan sesuatu? Tapi di hari yang sudah dijanjikan, kak Hwang justru menghilang. Tapi ... apa Kak Son tahu apa yang kak Hwang beritahukan pada kak Han?" Hyeon Woo menggeleng. "Tidak ada yang tahu, bahkan Min Hyeok sendiri. Dia berubah terlalu banyak sejak kepergian Kihyeon, masuk akal jika dia sedang menyembunyikan sesuatu dari kita." Joo Heon memandang ke ujung jalan di mana sosok Min Hyeok dan Hyung Won menghilang sebelumnya. Dengan mata sipitnya yang lebih menyipit, pemuda itu bergumam, "Aku tidak percaya dia mencampakan aku hanya karena kak Hwang. Dulu dia selalu menempel padaku, tapi sekarang kenapa justru menjauhiku. Aku benar-benar merasa sudah dikhianati sekarang." "Kau yang menempel pada Min Hyeok, bukan Min Hyeok yang menempel padamu," ralat Hyeon Woo dengan seulas senyum tipis. Joo Heon lantas menatap sinis dan berucap dengan nada mencibir, "bagaimana bisa Kak Son melakukan ini padaku? Aku benar-benar merasa sakit hati sekarang." Bukannya peduli, Hyeon Woo justru tertawa ringan. Bagaimanapun juga, Joo Heon tidak berubah meski tiga tahun terlewati. Ucapan pemuda itu yang sering tak masuk akal justru menjadi sebuah penghiburan bagi orang-orang di sekitarnya. Tawa Hyeon Woo terhenti ketika Joo Heon tiba-tiba memeluknya dan menaikkan kedua kaki ke atas pangkuannya. "Apa yang sedang kau lakukan?" "Ini dingin sekali, aku bisa mati membeku jika seperti ini. Kak Son, peluk aku." "Aku tidak akan melakukannya." "Kenapa?" "Hanya tidak mau saja." "Eih ..." Joo Heon memukul singkat bahu Hyeon Woo. "Jangan bertingkah seperti pria dingin, aku tahu bahwa kau memiliki hati yang lembut." Joo Heon kemudian mengeratkan pelukannya. Terlihat seperti seorang anak laki-laki yang tengah bersama sang ayah ketika Hyeon Woo hanya bisa tersenyum lebar ketika Joo Hyeon mulai bertingkah lagi. Namun itulah cara terbaik untuk menghibur diri sendiri di musim dingin yang membekukan harapan mereka. Dalam sandiwara mereka, mereka tetap menantikan kembalinya kedua saudara mereka yang menghilang. Satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun atau bahkan mungkin sepuluh tahun ke depan. Akankah mereka tetap menunggu jika yang ditunggu sejatinya tak akan pernah kembali?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD