Chapter 10

2198 Words
Distrik 9. Pagi itu Sejin sampai di kantor Kepala Distrik. Baru saja memasuki ruangannya, Son Geun Woo—ayah dari Son Hyeon Woo memasuki ruangan dengan wajah yang tampak khawatir. "Sejin," tegur Geun Woo yang langsung menghampiri Sejin yang saat itu berdiri di belakang meja. Melihat kekhawatiran di wajah Geun Woo, Sejin pun menegur, "ada masalah apa, Hyeong? Kenapa kau terlihat panik sepagi ini?" "Kau belum mendengarnya?" "Tentang apa?" Geun Woo berdiri di depan meja, berhadapan dengan Sejin. Ayah Hyeon Woo itu terlihat ragu, namun harus mengungkapkan apa yang ia dengar pada Sejin. Sejin kemudian menegur karena Geun Woo tak kunjung berbicara, "ada masalah apa? Apakah terjadi sesuatu?" "Ini bukan saatnya kau mengkhawatirkan orang lain. Khawatirkan lah keluargamu sendiri." Dahi Sejin mengernyit. "Apa yang sebenarnya kau bicarakan, Kak Geun Woo?" Geun Woo menumpukan kedua tangannya pada meja dan berucap dengan hati-hati, "Kijeon, putramu ... tidak tewas karena kerusuhan mahasiswa." Sejin tertegun, dan seketika tatapan ramahnya terlihat begitu dingin. "Apa yang sedang kau bicarakan?" "Dengarkan ini baik-baik. Ini adalah fakta yang sebenarnya ... di hari kematian Kijeon, sama sekali tidak ada kerusuhan di Gwangju. Bukan hanya itu ... para aktivis tidak melakukan unjuk rasa seperti yang sudah dirumorkan." Sejin memalingkan pandangannya dan tampak tak percaya. Pria itu kemudian terduduk di kursinya dan masih mencoba untuk mencerna ucapan Geun Woo. Ayah Hyeon Woo kembali berbicara, "Gwangju dalam keadaan yang tenang di hari kematian putramu. Kijeon ... kematian putramu memang disengaja." Sejin kembali mengarahkan pandangannya pada Geun Woo. Dengan pembawaan yang lebih tenang namun terkesan menyembunyikan sesuatu, Sejin menyahut. "Dari mana kau mengetahui semua ini, Kak Geun Woo?" "Aku memiliki informan di Gwangju. Kematian Kijeon sudah direncanakan sejak lama. Dan aku rasa hal itu ada kaitannya dengan kematian putra dari Ketua Distrik 4." "Siapa dalang di balik semua ini?" "Militer Distrik 1." Rahang Sejin mengeras. Dia terkejut, namun lebih terkejut lagi ketika menyadari keberadaan putra bungsunya saat ini. Karena untuk bisa kembali ke Distrik 9, mereka harus melewati Distrik 1 terlebih dulu. "Kau harus melindungi Kihyeon," ucap ayah Hyeon Woo. "Sekarang di mana putramu?" Sejin memandang Geun Woo dengan tatapan yang terlihat gemetar. Dia lantas memberikan jawaban yang berhasil mengejutkan ayah Hyeon Woo. "Gwangju. Kihyeon dan Chang Kyun, mereka ada di Gwangju sekarang." "Apa?" Geun Woo tampak terkejut. "Kenapa mereka ada di sana?" Sejin menjawab dengan resah, "Kihyeon mengatakan akan mengambil barang-barang kakaknya. Kenapa semua menjadi seperti ini?" "Jangan membuang waktu lagi. Segera bawa Kihyeon pulang. Dan setelah itu ... buat dia meninggalkan distrik." Sejin menatap penuh tanya. "Apa yang baru saja kau katakan?" "Kau tidak bisa melindungi putramu dengan membiarkan dia tetap tinggal di distrik. Kita tidak tahu kemalangan apa yang tengah menanti putramu. Kau ... harus memutuskan hubunganmu dengan Kihyeon. Tidak ada jalan lain. Jika kau ingin putramu tetap aman, jangan pernah biarkan dia menginjakkan kakinya di Distrik 9 setelah ini." Pandangan Sejin terjatuh ke samping. Sejenak mempertimbangkan sesuatu sebelum beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan ruangan itu dengan langkah yang tampak terburu-buru. Tak tinggal diam, ayah Hyeon Woo pun menyusul. DISTRICT 9 : 1979 Sejin dan Geun Woo sampai di Gwangju dengan mengendarai mobil milik Geun Woo. Sejin segera keluar dari mobil begitu sampai di depan asrama yang ditempati oleh Kijeon. Tampak kekhawatiran yang besar di wajah Sejin saat itu. Geun Woo menyusul dan segera menahan Sejin, "Sejin, tunggu sebentar." Sejin menghentikan langkahnya dan Geun Woo segera menghampirinya. "Kau harus tetap tenang di hadapan anak-anak. Kau tahu bagaimana sifat Kihyeon, jangan sampai anak itu mendengar yang sebenarnya terjadi pada Kijeon." "Aku sudah tahu." Keduanya pun bergegas menuju kamar yang dulu ditempati oleh Kijeon dengan Sejin yang berjalan di depan. Dan kedatangan kedua pria dewasa itu berhasil menarik perhatian Chang Kyun yang saat itu tengah melihat keluar melalui jendela. "Mereka ada di sini," gumam Chang Kyun. Kihyeon yang baru saja kembali beberapa menit yang lalu dan saat ini tengah duduk di tepi ranjang pun perlahan mengangkat kepalanya yang tertunduk dan memandang Chang Kyun. "Siapa?" tegur Kihyeon dengan suara yang tenang terkesan dingin. "Paman Sejin dan paman Geun Woo." Chang Kyun berbalik menghadap ke arah Kihyeon, namun tak ada respon yang diberikan oleh Kihyeon. Pemuda itu kembali menjatuhkan pandangannya pada lantai. Kihyeon kembali setelah menemukan fakta yang sebenarnya dari kematian Kijeon. Dan pemuda itu menjadi sosok yang pendiam dan misterius setelah kembali. Kihyeon tak berbicara dengan Chang Kyun sejak kembali ke kamar itu. Begitupun Chang Kyun yang tak ingin menegur lebih dulu. Pintu kamar terbuka, Sejin bergegas masuk diikuti oleh Geun Woo. Tak seperti ucapannya, Sejin tak bisa bersikap tenang di hadapan putranya. Namun Kihyeon tak bisa menyadari raut wajah sang ayah ketika pemuda itu enggan untuk mengangkat pandangannya. Sejin kemudian menegur dengan tegas namun terdengar khawatir, "apa saja yang kalian lakukan di sini? Kenapa tidak kunjung kembali ke distrik?" Tak mendapatkan jawaban dari putranya, Sejin mengarahkan pandangannya pada Chang Kyun. Geun Woo lantas menengahi dengan nada bicara yang lembut, "Kenapa kalian masih di sini? Kalian tidak berniat kembali ke distrik hari ini? Shin Chang Kyun ..." Chang Kyun menjawab, "kami sudah selesai membereskan barang-barang kak Kijeon, kami berencana untuk kembali ke distrik pagi ini." "Ke mana saja kalian selama berada di sini?" pertanyaan menyelidik itu dilontarkan oleh Sejin. Tak mendapatkan jawaban, Sejin menegur dengan suara yang lebih tegas, "Hwang Kihyeon, apa yang kau lakukan saat ayahmu bertanya padamu?" "Kenapa Ayah datang kemari?" sahut Kihyeon, terdengar dingin dan sempat menyentak batin Sejin. "Apa yang sedang kau bicarakan?" Kihyeon mengangkat wajahnya dan memandang sang ayah dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Kihyeon mengulang pertanyaan yang sama, "kenapa Ayah datang kemari?" Sejin terlihat sedikit gugup dan menjawab, "kalian pergi tanpa berpamitan, apakah kalian berpikir itu sopan?" "Aku rasa bukan itu ... alasan yang sebenarnya Ayah datang kemari." Netra Sejin menajam, menatap penuh selidik pada sosok putranya yang sepertinya tengah ingin mencari sesuatu dalam ucapannya. Tak lagi gugup, Sejin kembali berbicara, "ayah datang bukan untuk beradu argumen denganmu. Kau seharusnya tidak bersikap seperti ini, Hwang Kihyeon ... kau tidak tahu apa yang akan kau hadapi setelah ini. Jangan lakukan hal ini lagi." "Aku sedikit kecewa ... pada Ayah." Rahang Sejin mengeras. Dari tiga orang yang berada di sekitar Kihyeon, tidak ada yang tahu alasan dari ucapan pemuda itu. Dan sebelum seseorang menuntut penjelasan, Kihyeon beranjak dari duduknya. Pemuda itu meraih tas sekolahnya dan meninggalkan ruangan itu. Setelah Kihyeon melewati mereka, Geun Woo menyentuh bahu Sejin. "Aku akan bicara dengan Kihyeon." Geun Woo lantas pergi menyusul Kihyeon, dan saat itu pandangan Sejin bertemu dengan Chang Kyun. Sejin menegur dengan pembawaan yang lebih tenang, "Chang Kyun, kemari lah." Chang Kyun mendekat dan berhenti di hadapan Sejin. "Apa saja yang dilakukan oleh kakakmu di sini?" Chang Kyun menggeleng, memutuskan untuk tidak memberitahukan pada Sejin bahwa Kihyeon sempat pergi ke luar. "Kami hanya membereskan barang-barang kak Kijeon." "Kau yakin dengan jawabanmu? Kau tidak sedang melindungi kakakmu, bukan?" Chang Kyun menggeleng dan hal itu sedikit melegakan bagi Sejin. "Ya sudah, kita pulang sekarang." Siang itu juga mereka meninggalkan Gwangju. Namun selama perjalanan, Kihyeon sama sekali tak berbicara meski Geun Woo sempat beberapa kali melontarkan candaan padanya. Kihyeon lebih kerap memandang ke luar, dan Chang Kyun yang diam-diam memperhatikan Kihyeon menyadari bahwa pemuda itu tengah mendapatkan masalah. Chang Kyun ingin tahu ke mana Kihyeon pergi dan apa saja yang didengar oleh Kihyeon. Namun dia bukanlah Min Hyeok yang bisa mengajukan pertanyaan apapun dengan bebas. Chang Kyun berbeda, begitupun dengan Kihyeon. Ketika sampai di Distrik 9. Sejin dan Geun Woo menahan Kihyeon di kantor Kepala Distrik, sementara Chang Kyun dibiarkan untuk pulang lebih dulu. Kihyeon tahu bahwa keberadaannya di sana adalah karena ia telah berbuat kesalahan di mata sang ayah. Namun pemuda itu pun juga berpikir bahwa ia memiliki hak untuk menuntut atas kematian kakak laki-lakinya. Duduk berhadapan dengan dua orang dewasa di ruang kerja sang ayah, Kihyeon tak terlihat terintimidasi. Tak merasa telah melakukan kesalahan yang membuatnya pantas untuk menerima penghakiman. Tak kunjung ada pembicaraan, yang paling muda lantas memulai lebih dulu. "Kapan Ayah dan Paman akan berbicara?" "Kau tahu jika kami ingin bicara denganmu?" balas Sejin dengan tatapan penuh selidik. "Jika tidak ada ... aku permisi." "Tunggu sebentar, Kihyeon." Suara Geun Woo menghentikan pergerakan Kihyeon yang hendak berdiri. Kihyeon pun lantas kembali duduk dan bertemu pandang kembali dengan sang ayah. Bukannya tak ingin bicara, Sejin tengah mencari sesuatu yang tengah disembunyikan oleh putranya. Nalurinya sebagai seorang ayah meyakini bahwa putranya tidak senaif yang terlihat. Geun Woo kemudian menegur Sejin, "bicaralah. Tidak akan pernah ada penyelesaian jika tidak ada pembicaraan." "Kak Geun Woo, bisa tinggalkan kami?" ucap Sejin tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok putranya. Tak memiliki alasan untuk tetap tinggal, Geun Woo beranjak dari tempat duduknya. Sekilas menepuk bahu Sejin dengan pelan beberapa kali sebelum meninggalkan ruangan itu. Pintu ruangan tertutup dari luar. Aura permusuhan seketika menguasai ruangan itu. Dan kali ini Sejin benar-benar memulai pembicaraan yang serius dengan putranya. "Apa maksudmu dengan kau kecewa pada ayah?" "Bukankah itu perasaan yang wajar?" jawab Kihyeon dengan tenang namun juga dengan tatapan tajam yang mengintimidasi. "Kau mengatakan hal itu seolah-olah bahwa ayahmu ini sudah melakukan dosa besar." "Ayah tidak melakukannya?" Sejin tak langsung menjawab, pria itu mulai berhati-hati dengan setiap perkataannya karena menyadari bahwa setiap kata-kata yang keluar dari mulut Kihyeon terdengar seperti sebuah tuduhan yang ditujukan padanya. "Kau sedang menyembunyikan sesuatu?" "Kita harus memiliki rahasia untuk bisa bertahan hidup." "Hwang Kihyeon," suara Sejin mengeras, memberikan peringatan kepada putranya. "Kau sedang mencoba mempermainkan ayahmu?" "Tidak. Kenapa Ayah merasa sepertu itu?" seulas senyum tipis tiba-tiba terlihat di wajah Kihyeon, namun senyuman itu segera menghilang dalam hitungan detik. "Katakan," nada bicara Sejin kembali ke sedia kala. "Apa yang ingin Ayah dengar dariku?" "Jangan membuat ayah bingung. Katakan apa yang kau dengar saat berada di Gwangju." "Monster," celetuk Kihyeon yang tentunya membuat sang ayah tak mengerti. "Apa yang baru saja kau katakan?" "Kenapa Ayah berpura-pura tidak tahu padahal Ayah sudah tahu." Netra Sejin memicing tajam. "Apa maksudmu?" "Monster ..." Kihyeon kembali tersenyum dan kali ini lebih lebar. "Monster yang hidup dalam diri kak Kijeon." Sejin terlihat cukup terkejut atas perkataan Kihyeon. "Orang-orang di Gwangju membicarakannya, apa Ayah sungguh-sungguh tidak tahu? Ayah tidak tahu?" "Hwang Kihyeon, hentikan," suara Sejin kembali mengeras. "Kau senang sudah mempermainkan ayahmu seperti ini?" "Aku benar-benar kecewa. Aku marah pada Ayah." Sejin melihat keseriusan dalam sorot mata Kihyeon ketika pemuda itu berbicara. Dan hal itu menarik kecurigaannya tentang apa yang didengar oleh Kihyeon ketika putra bungsunya itu singgah di Gwangju. "Kalau begitu katakan pada ayah. Apa yang membuatku kecewa? Apa yang membuatku marah?" "Aku tidak tertarik untuk membahasnya." "Apa?" "Sebaliknya ... tidakkah Ayah ingin mengatakan sesuatu padaku?" Sejin kembali terdiam. Berbicara dengan Kihyeon jauh lebih sulit dibandingkan berbicara dengan Kijeon. Saat berbicara, Kijeon memiliki tutur kata yang lembut. Tapi Kihyeon sebaliknya. Saat berbicara, pemuda itu benar-benar ingin menekan lawan bicaranya. Mempermainkan sang lawan bicara menggunakan perkataannya yang sulit untuk ditebak. Tak kunjung mendapatkan respon dari sang ayah, Kihyeon menegur. "Tidak ada? Apakah aku terlalu berharap pada Ayah?" Sorot mata Kihyeon kali ini benar-benar menunjukkan perasaan kecewa. Pemuda itu meyakini bahwa sang ayah juga sudah mengetahui fakta di balik kematian kakaknya. Kihyeon hanya ingin ayahnya bersikap jujur dan terbuka. Dia ingin mendengar alasan kenapa Kijeon harus tewas langsung dari mulut ayahnya. Tapi sayangnya tak semua hal yang ia harapkan bisa terjadi. Kihyeon menyadari bagaimana rahasia itu memiliki peran penting dalam kehidupan seseorang. Termasuk dirinya. Sejin menghela napas sejenak berpaling dan kembali berbicara dengan lebih tenang. "Kihyeon, dengarkan ayah baik-baik. Apapun yang kau dengar tentang kakakmu, kau tidak bisa mempercayainya sepenuhnya. Lupakan, apapun yang kau dengar hari ini." "Ayah ingin aku bagaimana?" Sejin terdiam selama beberapa saat dengan harapan bahwa Kihyeon akan mengatakan hal lain padanya. Namun harapannya itu tak pernah datang. Sejin lantas berbicara dengan tegas, "tinggalkan distrik, seperti yang diinginkan oleh kakakmu." "Bagaimana jika aku menolak?" "Ayah tidak sedang memberikan pilihan. Kau harus pergi." "Aku tidak mau." Kihyeon menentang dengan cara yang halus. Sebenarnya akan lebih mudah bagi Sejin jika Kihyeon menolak kemauannya dengan keras. Dia akan memiliki alasan untuk membentak putranya. Namun sebaliknya, dia tidak bisa terlalu menuntut ketika putranya menyahuti ucapannya dengan pembawaan yang tenang. "Kenapa? Kenapa kau menolak?" "Aku butuh alasan. Hanya satu alasan ... kenapa aku harus meninggalkan distrik?" "Kau tidak akan memiliki masa depan jika tetap tinggal di distrik, itulah alasan yang kau butuhkan." "Bukankah aku akan meneruskan jabatan Ayah? Kenapa aku bisa tidak memiliki masa depan?" "Hwang Kihyeon, berhenti membantah ucapan ayahmu." Sejin memperingatkan. "Dini hari besok, kau harus meninggalkan distrik. Dan jangan beritahu siapapun tentang hal ini. Kau mengerti?" Kihyeon tersenyum meski tidak ada hal yang lucu. Pemuda itu lantas beranjak dari tempat duduknya dan menjatuhkan pandangannya pada sang ayah. "Aku tidak bisa menjanjikan apapun pada Ayah. Tapi ... jika Ayah berubah pikiran, aku mungkin juga bisa berubah pikiran." Kihyeon kemudian berjalan menuju pintu keluar, namun langkah pemuda itu terhenti tepat ketika ia membuka pintu karena suara sang ayah. "Apa yang sedang kau bicarakan?" Dengan pandangan yang mengarah pada tangan yang memegang gagang pintu, Kihyeon menyahuti pertanyaan sang ayah dengan tatapan tajam yang terkesan dingin. "Kebenaran tentang kematian kak Kijeon, aku harap Ayah tidak sedang menutupi sesuatu dariku." Kihyeon lantas meninggalkan ruangan itu, dan seketika kekhawatiran yang besar terlihat di garis wajah Sejin. "Dia sudah tahu?" gumam Sejin. "Tapi kenapa dia tidak membahasnya? Apa yang sedang kau pikirkan, Hwang Kihyeon?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD