Chapter 06

1346 Words
Keluarga Kihyeon berdiri di atas karang yang terhubung dengan lautan lepas. Ditemani oleh rekan-rekan Kihyeon, mereka menaburkan abu Kijeon ke laut lepas dengan doa terbaik yang mengiringi kepergian putra mereka, kakak mereka serta saudara mereka. Namun saat itu Kihyeon tak ada di sana untuk mengantarkan jiwa sang kakak. Kihyeon lebih memilih untuk menunggu di tempat yang tidak terlalu jauh. Bukannya masih tak terima atas kepergian kakaknya yang mendadak, namun Kihyeon merasa lebih baik jika ia tidak melibatkan diri. Setelah abu di dalam tembikar habis. Ayah dan ibu Kihyeon pergi lebih dulu. Sementara Chang Kyun dan rekan-rekannya tetap berada di sana untuk menemani Kihyeon. Duduk di atas karang di sudut lain. Satu persatu teman Kihyeon menghampiri pemuda itu. Dimulai dari Chang Kyun dan Min Hyeok yang duduk mengapit Kihyeon, di susul oleh keempat orang yang tersisa. Ketika semua orang memilih untuk diam, saat itulah Min Hyeok menjadi orang pertama yang menegur Kihyeon. "Bagaimana?" Dengan dahi yang mengernyit Kihyeon menyahut, "bagaimana apanya?" "Perasaanmu. Bagaimana perasaanmu saat ini?" Semua pasang mata tertuju pada Kihyeon, tampak menantikan jawaban dari pemuda itu. Kihyeon kemudian menyahut, "tidak tahu." "Eih ... jawaban macam apa itu?" Joo Hyeon berusaha mencairkan suasana canggung di sana. "Kak Hwang berpikir beberapa menit tapi hanya memberikan jawaban seperti. Lalu untuk apa Kak Hwang repot-repot berpikir?" Sudut bibir Kihyeon tersungging. "Hentikan, aku merasa menjadi orang yang menyedihkan jika kalian bersikap seperti ini." Joo Heon kembali menyahut dengan semangat, "maka dari itu ... kami ada di sini untuk memberikan dukungan. Kau tidak mungkin terpuruk selamanya. Kau mengerti, Kak Hwang?" Ho Seok yang berada di samping Joo Heon lantas menepuk punggung Joo Heon beberapa kali. Kihyeon kemudian berbicara. "Kalian tidak perlu khawatir, hari ini aku sudah bisa merasakan lapar lagi." "Syukurlah, itu terdengar lebih manusiawi," ucap Hyeon Woo sembari tersenyum lebar. "Bukankah itu berarti kau sudah memiliki rencana?" tegur Ho Seok. Kihyeon mengangguk. Joo Heon menyahut, "apa itu? Kak Hwang tidak boleh menyimpan rahasia dari kami." Memandang laut lepas, Kihyeon berucap, "pertama, aku akan mengurus kak Kijeon terlebih dulu." Semua orang memandang dengan tatapan yang sama. Mempertanyakan pernyataan Kihyeon. Min Hyeon menegur, "apa maksudmu?" Kihyeon tersenyum simpul dan berucap, "itu akan menjadi urusan pribadi keluargaku." "Eih ... selalu saja seperti ini," protes Joo Heon, namun tidak ditujukan sebagai sesuatu yang serius. Semua berusaha memahami keadaan Kihyeon. Dan mereka pun juga menyadari bahwa memang seharusnya kematian Hwang Kijeon menjadi urusan pribadi keluarga Kihyeon. Meski semua orang turut merasa tidak adil dengan kematian Kijeon, namun sekali lagi. Mereka hanya la orang asing dalam masalah ini. Sepenuhnya, mereka membiarkan Kihyeon melakukan apa yang perlu dilakukan atas kematian kakaknya. Dan setelah sedikit berbincang-bincang, mereka lantas pulang dan kembali ke rumah masing-masing. DISTRICT 9 Kihyeon kembali ke rumahnya seorang diri ketika Chang Kyun memutuskan untuk pergi bersama Ho Seok. Tentu saja Chang Kyun sengaja melakukan hak itu agar Kihyeon bisa berbicara dengan kedua orang tua pemuda itu dengan bebas. Memasuki rumahnya, Kihyeon bergegas menuju dapur dan mendapati kedua orang tuanya berada di sana. Seung Hwa yang menyadari kedatangan putranya pun lantas menegur. "Kau sudah pulang, Kihyeon?" Kihyeon tak menjawab. Dan saat itu sang ayah duduk membelakangi di meja makan memberikan teguran padanya. "Duduklah." Kihyeon menghampiri Sejin dan duduk di samping meja. Sementara Seung Hwa menempatkan diri berdiri di samping suaminya. Sejin kembali menegur putranya, "apa yang ingin kau tanyakan?" Tak ingin basa-basi, Kihyeon langsung bertanya, "apa yang terjadi pada kak Kijeon?" "Kau tahu apa yang dilakukan oleh kakakmu di Gwangju?" Kihyeon menggeleng. Sejin kembali berbicara dengan pembawaan yang tenang, "kakakmu menjadi ketua aktivis dari kelompok mahasiswa Gwangju." Kihyeon tampak terkejut. Selama ini ia pikir bahwa sang kakak menjalani kehidupan dengan normal dan tidak melibatkan diri dengan hal-hal semacam itu. Ketua aktivis bukanlah sesuatu yang bisa dibayangkan oleh Kihyeon. Meski pada kenyataannya dia pun juga seorang ketua aktivis. Namun jika dibandingkan dengan Kijeon, Kihyeon tidak memiliki pengaruh apapun untuk distrik. "Ketua aktivis?" Kihyeon bergumam, tampak tak percaya. Namun setelahnya ucapan pemuda itu lebih menuntut, "Ayah sudah tahu ini sejak lama?" Sejin tak menjawab, dan itu sama saja ia yang tengah membenarkan ucapan sang putra. Kihyeon menatap tak percaya. "Ayah sudah tahu sejak lama, tapi kenapa Ayah diam saja? Kenapa Ayah tidak memberitahu aku?" "Jika ayah memberitahumu, apa yang akan kau lakukan? Tidak ... apa yang bisa kau lakukan?" "Meski begitu, Ayah harus memberitahuku," suara Kihyeon terdengar semakin menuntut. "Kihyeon ... dengarkan ayahmu baik-baik," Seung Hwa menengahi, mencoba menenangkan putranya. Sejin kembali menyahut, "kau akan mengikuti jalan kakakmu? Dengarkan perkataan ayah baik-baik ... semua ini terjadi karena sikap keras kepala kakakmu. Bukan hanya sekali, dua kali ayah memperingatkan kakakmu. Tapi apa yang sudah dilakukan oleh kakakmu? Menjadi aktivis? Apa yang kalian dapatkan dengan menjadi aktivis? Tidak akan ada peduli dengan apa yang kalian lakukan." "Kenapa Ayah berbicara seperti itu?" "Jika kalian bersungguh-sungguh menjadi aktivis, maka lakukanlah hal itu di Seoul. Kau pikir apa yang bisa kita lakukan di kota kecil ini? Menjadi aktivis sama saja dengan menantang kematian." "Apa maksud Ayah? Apa hubungannya kematian kak Kijeon dengan menjadi aktivis?" Seung Hwa menyentuh bahu Sejin dengan harapan agar sang suami tidak mengatakan yang sebenarnya pada putra bungsu mereka. Namun Sejin berpikir bahwa menutupi fakta hanya akan mempersulit keadaan. Dengan penuh pertimbangan Sejin berucap, "kakakmu memimpin demonstrasi para mahasiswa. Terjadi kerusuhan dan kakakmu menjadi salah satu korban yang tewas." "Ayah berharap aku akan percaya?" "Kenapa kau tidak percaya?" Kihyeon tak menjawab, dan hal itu membuat suasana di tempat itu sedikit tak bersahabat. Sejin menegur, "kenapa kau diam saja? Jawab pertanyaan ayahmu. Kenapa kau tidak percaya, Hwang Kihyeon?" Kihyeon menjatuhkan pandangannya ke samping dan menyahut, "kak Kijeon menjanjikan pertemuan denganku." "Kapan waktu yang dia janjikan?" "Besok, di stasiun Incheon." Sejin dan Seung Hwa tentu saja terkejut. Dan dengan suara yang lebih tegas, sang ayah menegur, "Kenapa kau tidak mengatakan apapun pada ayah?" Dengan wajah yang sedikit mengernyit Kihyeon menjawab, "kak Kijeon memintaku untuk merahasiakannya dari Ayah." "Bagaimana bisa kau melakukan hal itu? Apapun yang terjadi, seharusnya kau mengatakan semua pada ayah," suara Sejin terdengar menuntut. Kihyeon balik menuntut dengan pembawaan yang tenang, "lalu bagaimana dengan Ayah?" "Apa?" dahi Sejin mengernyit. "Aku mendengarnya ... Ayah bertengkar dengan kak Kijeon. Kenapa Ayah tidak mengatakannya padaku? Kenapa Ayah bertengkar dengan kak Kijeon?" "Hwang Kihyeon, tunjukkan sopan santunmu." "Aku bukan kak Kijeon, aku Hwang Kihyeon." "Kihyeon ..." Seung Hwa menegur. Sejin menanggapi ucapan putranya, "apa maksudmu mengatakan hal semacam itu, Kihyeon?" "Kami berbeda. Aku bukan kak Kijeon yang selalu berbicara dengan sopan meski sedang marah ... aku benar-benar kesal sekarang dan aku tidak ingin bersikap baik." "Apa yang sebenarnya sedang kau bicarakan?" "Besok aku akan pergi ke Gwangju untuk mengambil barang-barang kak Kijeon di asrama." "Tidak, kau tidak boleh pergi ke sana," Sejin langsung menentang. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh?" "Hwang Kihyeon, kau yakin akan mempertahankan sikap keras kepalamu ini?" "Ya," jawab Kihyeon tanpa keraguan dalam sorot matanya. Pemuda itu berdiri dan kembali berucap, "aku akan pergi bersama Chang Kyun, Ayah jangan menghalangiku." Kihyeon lantas pergi, meninggalkan kekhawatiran di wajah kedua orang tuanya. "Hwang Kihyeon," tegur Sejin sedikit lantang. "Sudah, biarkan dia menenangkan diri," Seung Hwa mencoba menenangkan suaminya. Sementara Kihyeon memasuki kamarnya dan langsung berjalan menuju jendela. Dengan kasar Kihyeon membuka jendela, dan hal itu berhasil menarik perhatian Seo Hye yang saat itu berada di ladang yang dekat dengan jendela kamar Kihyeon. Kihyeon menumpukan kedua tangannya pada jendela dan tampak sangat marah. Hal itu membuat Seo Hye yang tengah memperhatikan tampak bertanya-tanya. "Apa dia bertengkar dengan paman Sejin?" gumam Seo Hye. "Kenapa rasanya aku ingin marah? Apa yang salah denganku?" gumam Kihyeon dengan wajah yang tampak gusar. Mengangkat pandangannya, Kihyeon tertegun ketika melihat sosok Seo Hye yang tengah memperhatikan. Dan Seo Hye yang menyadari itu pun lantas berpaling, mencari kesibukan agar dia tidak ketahuan bahwa telah memperhatikan Kihyeon. "Dia melihatku?" gumam Kihyeon. Sedikit kemarahan dalam sorot matanya lenyap. Merasa tidak enak hati ketika Seo Hye melihatnya dalam keadaan seperti itu. Dengan canggung, Kihyeon pun kembali menutup jendela. Dan saat itu Seo Hye kembali memandang jendela kamar Kihyeon yang sudah tertutup. "Apakah dia baik-baik saja?" gumam Seo Hye yang kemudian menghela napas panjang sebelum seulas senyum tipis terlihat di wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD