Chapter 05

2193 Words
Sore itu Kihyeon masih terlihat di stasiun, masih pula mengenakan seragam sekolah yang menegaskan bahwa pemuda itu belum pulang sejak meninggalkan sekolah. Berjalan di antara aktivitas orang-orang di sana, Kihyeon kerap terlihat bimbang. Meski mengatakan pada Min Hyeok bahwa ia akan pergi ke Gwangju besok, namun pada kenyataannya Kihyeon tak bisa menunggu sampai besok. Keberadaannya di sana saat ini adalah untuk menunggu keberangkatan kereta api menuju Gwangju. Dan tentunya tidak ada siapapun yang tahu tentang tujuan Kihyeon masih berada di sana. Semua rekannya telah pulang, dan Kihyeon berhasil menepis kecurigaan Mon Hyeok yang memang telah memberikan peringatan padanya agar dia tidak meninggalkan distrik. Terdengar sebuah pengumuman bahwa kereta api menuju Gwangju akan segera berangkat. Kihyeon bergegas menuju gerbong, namun seseorang tiba-tiba menahan lengannya. Kihyeon segera menoleh dan sedikit terkejut ketika melihat Min Hyeok yang menahan tangannya. "Kau?" Min Hyeok menegur dengan nada bicara yang dingin, "kau ingin pergi ke mana?" "Aku akan menjelaskannya saat aku kembali." Kihyeon melepaskan tangan Min Hyeok dan bergegas pergi. "Hwang Kihyeon!" Min Hyeok menegur dengan lebih tegas dan seketika menghentikan pergerakan Kihyeon. Kihyeon berbalik dan Min Hyeok menghampiri pemuda itu. Di antara lalu lalang orang-orang, keduanya saling berhadapan. Dan saat seperti itulah tatapan Min Hyeok yang selalu terlihat teduh tiba-tiba menajam, seakan mengingatkan bahwa ucapannya bukanlah sesuatu yang bisa dibantah begitu saja. Min Hyeok kembali menegur, "katakan ke mana tujuanmu?" Kihyeon menjawab tanpa memiliki keraguan dalam sorot matanya, "Gwangju, bukankah itu sudah jelas?" "Kau pergi tanpa rencana, menurutmu apa yang bisa kau lakukan di sana?" "Aku tidak akan melakukan apapun. Aku tidak memerlukan rencana hanya untuk mengunjungi kakakku." "Itu menurutmu, tapi bagaimana dengan kak Kijeon?" Dahi Kihyeon sedikit mengernyit, menyatakan rasa heran atas ucapan Min Hyeok. Min Hyeok kembali berucap, "bagaimana jika dia tengah merencanakan sesuatu, tapi kau tiba-tiba datang dan mengacaukan semuanya? Apakah kau bisa menanggung semua kemungkinan kan terburuknya?" "Ya! Bukankah kau sangat berlebihan?" Kihyeon tampak tak terima. "Rencana apa? Kenapa aku harus pergi ke Incheon? Aku perlu mengetahui semuanya." Min Hyeok memperhatikan sekitar seraya menghampiri Kihyeon. Berhenti di hadapan Kihyeon, Min Hyeok berbicara dengan suara yang sengaja dipelankan. "Berhati-hatilah dengan ucapanmu. Kita tidak tahu siapa saja yang berada di sekitar kita." "Apa maksudmu?" suara Kihyeon refleks terdengar lebih pelan. Min Hyeok berucap penuh pertimbangan, "kak Kijeon merahasiakan semua ini bahkan dari paman Sejin. Kau pikir apa yang sedang terjadi? Kak Kijeon ... dia mengetahui sesuatu yang berbahaya. Ikutlah denganku." Min Hyeok lantas meninggalkan Kihyeon, sementara Kihyeon terlihat bimbang. Antara menyusul Min Hyeok atau pergi ke Gwangju. Namun saat Min Hyeok kembali memastikan keputusannya, pada akhirnya ia memilih untuk mengikuti Min Hyeok. Meninggalkan stasiun, keduanya menyusuri jalanan di gang perumahan yang cukup gelap karena malam telah tiba. Keduanya berjalan dengan jarak dua meter yang terbentang antara keduanya. Min Hyeok membuat Kihyeon semakin heran ketika Min Hyeok membawa pemuda itu kembali ke sekolah. Dan hingga pada akhirnya keduanya berakhir di dalam sebuah ruang kelas. Min Hyeok menyalakan lampu sebelum menghampiri Kihyeon. Kihyeon menegur, "apa tidak masalah jika kita menyalakan lampu?" "Kita hidup di Distrik 9. Tidak akan ada yang berani mengusik kita." Kihyeon duduk di meja, menghadap ke arah Kihyeon yang masih tampak keras kepala. Min Hyeok kemudian menegur, "kau tidak tahu?" "Tentang apa?" "Kak Kijeon menyuruhmu pergi ke Incheon?" "Jika aku tahu, aku tidak akan pergi ke Gwangju. Kau mengetahui sesuatu yang tidak aku ketahui?" Min Hyeok berucap penuh pertimbangan, "situasi yang berbahaya. Menurutmu apa yang lebih berbahaya dari militer?" Netra Kihyeon memicing. "Lebih berbahaya dari militer?" Min Hyeok mengangguk sembari bergumam membenarkan ucapan Kihyeon. "Pikirkan baik-baik, apa yang membuat kak Kijeon ingin melarikan diri dari semua orag termasuk keluarganya sendiri dan hanya membawa adiknya saja? Pikirkan hal itu baik-baik. Apa yang kau pikirkan jika kau menjadi Hwang Kijeon?" Seperti itulah cara Min Hyeok mengambil kepercayaan Kihyeon. Bukan hanya mengutarakan pendapatnya, pemuda itu membimbing Kihyeon untuk memahami situasi yang ada dengan cara pandangnya sendiri. Kihyeon terlihat tengah mempertimbangkan sesuatu. Menempatkan diri dalam posisi sang kakak. Teringat kembali akan ucapan Chang Kyun yang mengatakan bahwa kakak serta ayahnya sempat bertengkar. Dan surat yang dikirimkan oleh kakaknya secara diam-diam. Kihyeon meyakini bahwa terdapat rahasia besar dari semua itu. Penuh selidik, Kihyeon kembali memandang Min Hyeok. Min Hyeok menegur, "kau sudah memikirkannya?" "Kau tahu sesuatu?" Kihyeon membalikkan pertanyaan. Kihyeon menyerah. "Cepat katakan," ujarnya yang kemudian turut duduk di meja yang berbeda dengan Min Hyeok. "Kau terlalu buru-buru, itulah sebabnya kau tidak bisa menggunakan otakmu dengan baik." Kihyeon menatap tajam. "Aku tidak memintamu untuk mengadiliku." Sudut bibir Min Hyeok tersungging, mengantarkan seulas senyum lebar melukis wajahnya. "Lalu, kau sudah menemukan jawabannya?" "Kak Kijeon memiliki hati yang lebih lembut daripada aku, kau juga tahu hal itu. Bagaimana aku bisa tahu hatinya?" "Tidak, kalian tidak jauh berbeda," Min Hyeok menyangkal. "Kau hanya terlihat lebih gila karena kau kasih remaja. Ketika kau seusia kak Kijeon, kau akan benar-benar mirip dengannya." Kihyeon menatap jengah. "Jika kau memang mengetahui sesuatu, cepat katakan padaku." Min Hyeok tak bersikap mudah dan berusaha untuk membuka pikiran Kihyeon. Karena Min Hyeok merasa aneh dengan sikap Kihyeon saat ini yang terkesan tidak peka. "Kalau begitu mari cari cara lain. Bukan sebagai Hwang Kijeon ... pikirkanlah sebagai Hwang Kihyeon, dirimu sendiri ... apakah kiranya yang ditakuti oleh Hwang Kihyeon selain militer?" "Tidak ada," jawab Kihyeon tanpa pikir panjang. "Sudah aku duga bahwa kau akan menjawab seperti itu. Ada apa denganmu? Biasanya instingmu sangat tajam, kenapa tiba-tiba seperti ini?" Kihyeon menjatuhkan pandangannya. Pemuda itu menyadari ada yang salah dengan dirinya. Sejak menerima surat rahasia dari Kijeon, pemuda itu tidak bisa bersikap dengan tenang dan hal itu mengacaukan pikirannya. Min Hyeok kemudian menegur, "Hwang Kihyeon. Kau benar-benar temanku, kan?" "Berhenti bicara omong kosong," sahut Kihyeon tak bersemangat. "Aku ragu jika kau tidak memiliki sesuatu untuk ditakuti." "Konspirasi," Kihyeon kembali menyahut dengan nada bicara yang sama. Pandangan keduanya kembali bertemu, dan seulas senyum lebar kembali terlihat di wajah Min Hyeok. "Kenapa kau berpikir seperti itu?" "Pertengkaran ayahku dengan kak Kijeon, surat yang dikirim kak Kijeon serta kematian putra Ketua Distrik 2 dan 4 ... semua hal itu memiliki keterlibatan satu sama lain." Min Hyeok tersenyum puas. Seperti yang diharapkan, pemikiran Hwang Kihyeon selalu sejalan dengannya. "Kau benar. Sepertinya semua ini saling berhubungan." "Sekarang katakan apa yang kau ketahui." Min Hyeok sejenak tampak mempertimbangkan sesuatu sebelum berbicara, "siang tadi aku pergi ke Distrik 4." Kihyeon memandang dengan tatapan terkejut. Siang tadi memang Min Hyeok tiba-tiba menghilang dari sekolah dan tidak ada yang tahu ke mana pemuda itu pergi. Kihyeon lantas bertanya dengan suara yang lebih menuntut, "kenapa kau pergi ke sana sendirian dan apa yang kau lakukan?" "Aku mendengar sesuatu yang menarik di sana." "Apa itu?" "Ketua Distrik 4 mendatangi Camp Militer Distrik 1 untuk menuntut kematian putranya." Dahi Kihyeon mengernyit. "Maksudmu yang sudah membunuh mereka adalah militer Distrik 1?" Min Hyeok mengendikkan bahunya. "Siapa yang tahu? Semua kemungkinan bisa saja terjadi ... kita tidak tahu siapa yang berdiri di belakang kita. Dan bahkan kita belum tentu mengenal siapa orang yang saat ini berdiri di harapan kita." Kihyeon menjatuhkan pandangannya dan tengah mempertimbangkan ucapan Min Hyeok. Dan setelah beberapa detik berlalu, ia bergumam, "Siapa dan untuk apa? Jika ini saling berhubungan, siapa saja yang terlibat dalam konspirasi ini?" "Sepertinya kak Kijeon mengetahui sesuatu." Kihyeon kembali memandang Min Hyeok. Tanpa keraguan ia berucap, "aku harus pergi menemui kak Kijeon." "Tidak hari ini. Aku akan pergi denganmu besok ... oleh sebab itu, malam ini kita pulang dan tenangkan dirimu. Kau tidak akan mendapatkan apapun meski menemui kak Kijeon jika kau pergi dengan perasaan yang kacau." Kihyeon benar-benar ingin menemui Kijeon malam itu juga. Namun sayangnya akan sangat sulit untuk bisa lolos dari Min Hyeok. Hingga pada akhirnya Kihyeon menerima saran Min Hyeok. Keduanya pulang. Namun Kihyeon merasa tidak nyaman ketika Min Hyeok tetap mengikutinya meski seharusnya mereka sudah berpisah karena arah rumah mereka yang berbeda. Sekali lagi Kihyeon menegur tanpa menghentikan langkahnya, "bukankah kau sangat berlebihan?" "Aku tidak berpikir seperti itu. Aku hanya ingin mencari udara segar." Sudut bibir Kihyeon tersungging. "Pergilah sana, Hyung Won pasti sudah menunggumu." "Dia bukan lagi bocah yang akan menunggu kedatangan kakaknya untuk bermain bersama. Aku berusaha yang terbaik agar tidak tertipu oleh orang licik sepertimu." Kihyeon menatap jengah. "Katakan itu pada dirimu sendiri, Tuan Han Min Hyeok." Min Hyeok tertawa pelan. Pada dasarnya di antara pemuda seusia mereka, merekalah yang paling licik. Bukan untuk sebuah kejahatan, melainkan sebaliknya. Keduanya lantas berdiam diri. Kihyeon memandang ujung sepatunya ketika berjalan, terlihat jelas bahwa ia tengah memikirkan sesuatu dengan cukup serius. Dan saat sesuatu berhasil menarik perhatian Min Hyeok. Min Hyeok menatap heran ke arah kerumunan yang berada di depan rumah Kihyeon. Pemuda itu kemudian bergumam, "Ada apa ini? Kenapa semua berkumpul di sana?" Kihyeon mengangkat pandangannya dan langkah pemuda itu terhenti. Sama seperti Min Hyeok, Kihyeon pun merasa heran dengan kerumunan yang terjadi di depan rumahnya. Min Hyeok kemudian menegur, "kenapa ayahmu mengumpulkan semua orang di rumahnya?" "Aku tidak tahu, ayahku tidak pernah mengatakan apapun tentang hal ini." Kihyeon kemudian kembali melangkahkan kakinya dengan lebih cepat, begitupun dengan Min Hyeok yang menyusul di belakang. Keduanya membelah kerumunan, dan ketika berhasil keluar dari kerumunan, langkah Kihyeon terhenti. "Apa ini?" gumam Kihyeon. Batin Kihyeon tersentak ketika melihat bendera putih yang dipasang di ha lama rumahnya. Sebuah simbol kematian yang menunjukkan bahwa ada yang meninggal di rumah itu. Jantung Kihyeon tiba-tiba berdetak tak karuan. Terkesan buru-buru, Kihyeon segera berjalan menuju rumahnya. Mengabaikan suara bising yang mengiri langkahnya, Kihyeon disambut oleh pemandangan yang tak pernah ia harapkan ketika sampai di dalam rumah. Pandangan Kihyeon segera mengarah pada sosok yang terbaring di lantai dan ditutupi oleh kain putih sepenuhnya. "Kau sudah datang?" teguran itu datang dari Hwang Sejin. Sejin menghampiri Kihyeon dan menyentuh bahu putranya. Sementara itu pandangan Kihyeon mengabsen setiap orang yang berada di ruangan itu. Pemuda itu melihat ibunya dan juga Chang Kyun berada di ruangan itu, dan itu berarti sosok yang kini terbaring di lantai itu bukanlah anggota keluarganya. Namun jika bukan, kenapa jasad orang itu dibawa ke sana. Kihyeon yang masih ragu lantas memandang sang ayah dan bertanya dengan dengan suara yang terdengar gugup. "Siapa ... orang itu?" "Kakakmu," suara tegas yang menunjukkan penyesalan itu seketika menyentak batin Kihyeon. "Apa?" gumam Kihyeon, menatap tak percaya. Pemuda itu kemudian menggeleng beberapa kali sembari menyangkal. "Tidak ... tidak, tidak. Ayah pasti salah. Tidak ... itu bukan kak Kijeon. Kami berjanji akan bertemu, kalian pasti salah." Sejin memegang kedua bahu putranya dan menegur, "tenangkan dirimu, Hwang Kihyeon." "Tidak," Kihyeon menepis kasar tangan ayahnya. "Aku tidak percaya dengan Ayah. Bagaimana mungkin Ayah melakukan ini pada kak Kijeon?" "Hwang Kihyeon—" "Tidak!" Kihyeon tiba-tiba membentak, namun bersamaan dengan hal itu, air mata pemuda itu terjatuh. Kihyeon berucap dengan marah namun juga terdengar putus asa, "kak Kijeon berada di Gwangju, dia mengatakan bahwa akan menemuiku dua hari lagi. Bagaimana kalian bisa membuat lelucon seperti ini? Kak Kijeon meninggal? Apa yang sedang kalian lakukan sekarang?" "Hwang Kihyeon!" suara Sejin mengeras, namun tak bermaksud untuk marah. "Tenangkan dirimu." Sejin meraih lengan Kihyeon, namun pemuda itu menepis tangan sang ayah dengan kasar. Ransel yang menyampir di bahu Kihyeon terjatuh ke lantai. Pemuda itu kemudian menghampiri sosok yang dikatakan ayahnya sebagai kakaknya. Entah kenapa, Kihyeon merasa langkahnya semakin berat ketika jaraknya semakin dekat dengan jasad yang telah terbujur kaku itu. Hingga pada akhirnya kedua lutut pemuda itu terjatuh ke lantai tepat di samping jasad sang kakak. "Tidak ... ini bukan dirimu, kan ... Kak Kijeon?" gumam Kihyeon, masih belum bisa menerima kenyataan. Kihyeon merasa lelah tanpa sebab, tubuhnya tiba-tiba terasa lemas dan ia menjadi tak fokus. Menggeleng kuat, tangan gemetar Kihyeon terangkat. Bergerak dengan ragu ke ujung kain yang menutupi jasad di hadapannya. Di hadapan semua orang yang berada di ruangan itu, untuk kali pertama Kihyeon menunjukkan ketakutannya pada semua orang. Perlahan tangan yang gemetar itu mendapatkan ujung kain yang dengan hati-hati ia tarik ke bawah. Air mata Kihyeon kerap terjatuh. Dengan tangan yang terkepal kuat, Kihyeon langsung menarik kain yang menutupi wajah Kijeon. Dan hal itu sangat mengejutkan bagi Kihyeon. "Kakak ..." gumam Kihyeon. Chang Kyun tiba-tiba datang dan kembali menutupi wajah Kijeon. Bukan apa-apa, pemuda itu hanya tidak ingin Kihyeon semakin terluka setelah melihat keadaan Kijeon. Tubuh Kijeon baik-baik saja tanpa cacat. Namun masalah terbesar berada di wajah pemuda itu. Wajah Kijeon rusak parah sehingga sulit untuk dikenali, dan tentunya Kihyeon tak ingin mempercayai hal itu. "Kenapa kalian melakukan hal ini?" ucap Kihyeon dengan suara pelan yang terdengar putus asa. "Kak Hwang, kita pergi dari sini." Chang Kyun menahan kedua bahu Kihyeon. Kihyeon menggeleng. Namun tak seperti sebelumnya, sikap Kihyeon tiba-tiba menjadi lembut. Hingga akhir Kihyeon menolak mengakui bahwa jasad itu adalah kakaknya, namun pada akhirnya tangis itu tak mampu ia tahan lagi. Pemuda itu menangis dengan kepala yang tertunduk dalam dan suara yang terdengar pelan. Sesekali menyangkal kenyataan yang ia hadapi. Dan hanya Chang Kyun dan Hwang Sejin lah yang tahan dengan pemandangan menyedihkan itu. Hati semua orang ikut sakit ketika melihat Kihyeon menangis sembari memeluk jasad Kijeon. Mereka semua merasakan perasaan kehilangan yang sama. Namun di saat seperti itu, Chang Kyun tak tahu harus bagaimana agar Kihyeon tidak terlalu merasakan sakit. Untuk kali pertama Chang Kyun melihat Kihyeon menangis. Dan tak memungkiri, hati Chang Kyun terasa sakit karena Kihyeon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD