3. Hari Valentine

2139 Words
Sesampainya di sekolah, Amal memarkirkan sepedanya di balik pos satpam. "Eh Amal. Lima Ribu sejam ya," sahut Pak Supri satpam sekolah dengan tawanya yang khas. Amal pura-pura kaget. "Aduh pak murah banget," balasnya dengan gelak. Di saat lagi asik bergurau dengan Pak Supri, sudut mata Amal menangkap Kristi yang baru saja masuk gerbang sekolah. Gadis itu tampak merengut sebal, agaknya mood Kristi sedang tidak baik. Amal yang berniat hendak menyapa jadi mengurungkan niat, takutnya malah Amal kena semprot omelan. Tapi, karna cara Amal melihat Kristi begitu kentara hingga yang dilihat pun sadar ada seseorang yang memerhatikannya, Kristi tiba-tiba menoleh. Tatapan mereka bertemu, beberapa detik. Sampai Kristi pura-pura menyapa salah satu teman kelasnya yang kebetulan lewat dengan heboh. Jelas sekali hendak menghindari Amal. Padahal tadinya Amal hendak tersenyum, jadi sekarang Amal menarik lengkung bibirnya kembali menjadi datar dengan tatapan mata tak lepas dari Kristi yang sudah memasuki gedung sekolah. ** Sebenarnya Kristi tak terlalu dekat dengan Dina. Ia hanya sesekali menyapa dan lebih sedikit mengobrol berdua dengan gadis itu. Namun, pagi ini berbeda. Saat Dina lewat di sebelah Kristi bersamaan dengan tatapan Amal yang terlihat hendak memakan Kristi saking kelewat tajamnya, Dina tersenyum kecil dan menyapa Kristi sebagai basa-basi. Namun, itu adalah kesempatan Kristi untuk lepas dari tatapan mata Amal. Sayangnya malah terlihat sedikit berlebihan. "Pagi Dina!" seru Kristi kencang. Membuat Dina terkejut dan mengerjapkan mata. Tak sampai di situ, Kristi lalu merangkul Dina dan mereka berjalan bersama sampai ke kelas. Rara, teman sebangku Kristi dibuat tak kalah terkejutnya dengan kedatangan Kristi bersama Dina pagi ini di kelas. Rara mengerutkan kening menatap Kristi hingga gadis itu duduk di sebelahnya. "Udah jadi lebih akrab ya lo sama Dina.” Rara menyahut. "Bisa jadi." Kristi cemberut. Ia menopang wajahnya dengan ke dua tangan di meja. "Kenapa muka lo jadi gitu sih? Masih pagi loh ini, gak enak banget di liat." "Apes gue pagi-pagi." "Apes kenapa?" "Ketemu om-om kegatelan di bus. Sial banget." "Ya ampun." Rara berujar prihatin. "Apanya lo yang kena?" Kristi mengernyitkan kening mendengar istilah yang meluncur begitu saja dari mulut Rara. "Pantat." Kristi menjawab dengan geram bukan main. Untung saja di bus tadi ia bukanlah korban satu-satunya. Ada juga ibu-ibu yang menjadi korban. Karena ibu-ibu itu berteriak dan melayangkan pukulan pada om-om mesuum itu, Kristi jadi mendapat bagian menempeleng kepala si om-om sebelum om-om itu turun begitu saja dari bus. "Turut berduka cita gue sama p****t lo yang kena pegang om-om, Kris." Kristi mendesis pelan. Rara terdengar seolah mengejeknya bukan prihatin. "Tapi, kenapa lo malah naik bus? Biasanya kan bareng Amal." "Gue pergi duluan." Kristi menjawab malas. Rara memiringkan kepala heran, ditilik dari ekspresi Kristi, sepertinya Kristi dan Amal sedang bertengkar. Ini adalah hal yang biasa. Sebab, sejak sudah mengenal Kristi selama dua tahun ini dan selalu menjadi teman sebangku Kristi, Rara sedikit banyak tahu hubungan Kristi dengan Amal. Keduanya sering kali bertengkar. Tapi, tak lama akan segera berbaikan. Kalau menurut Rara sih, pertengkaran-pertengkaran lucu, untuk sebutan bagi Kristi dan Amal yang sering kali bertengkar tapi akan cepat berbaikan. "Hmm...paling bentar lagi baikan." Rara bergumam pelan, ia lalu mengeluarkan botol kecil berisi kutek bening dari dalam tasnya. Lalu ia menarik tangan Kristi dan mulai mengaplikasikannya di kuku-kuku Kristi. Kristi sudah biasa dengan kebiasan Rara yang satu ini. Rara kerap kali membawa kutek beragam warna ke sekolah. Meskipun kerap disita guru BK, Rara tak pernah kapok. Kata Rara nanti setelah lulus dan mungkin saja ia tak bisa meneruskan jenjang pendidikan, Rara ingin membuat usaha sendiri yaitu membuka salon kuku. Dan uang yang didapat akan ditabung untuk melanjutkan pendidikan yang sempat terhenti. Kristi tentu saja mendukung niat baik Rara. Apapun itu yang penting bermanfaat untuk Rara sendiri. "Lo berantem sama Amal lagi kan?" Rara bertanya disela-sela fokusnya mengaplikasikan kutek pada kuku-kuku Kristi. Ini juga merupakan metode menarik hati pelanggann dengan obrolan-obrolan kecil untuk membuat rileks dan nyaman agar pelanggann betah dan akan kembali datang di salon kuku Rara nantinya. "Iya. Amal ngebentak gue kamaren." "Ha? Ngebentak? Amal tega ngebentak lo?" Rara merasa ia salah dengar. Tampang Amal yang selalu berwajah datar dan tak ramah memang seringkali mengundang orang-orang untuk tak berurusan lebih lanjut dengannya. Begitu juga dengan Rara. Namun, untuk seorang Kristi sebagai orang yang paling dekat dengan Amal, Rara rasa Amal tak akan pernah tega untuk sekedar memarahi Kristi. Kristi menghela napas dan mengangguk. "Tega gak tega tetep aja dia ngebentak gue. Emang gue yang salah sih." "Emang lo bikin masalah apa?" Rara jadi kepo. "Jadi kemaren tuh... " Kristi menjelaskan secara singkat kegiatannya kemarin bersama Amal, sampai ke restoran cepat saji dan bertemu Nadia. "Tapi kan lo gak berhak dibentak juga dong." Rara memberikan pembelaan. Ia sudah selesai mengaplikasikan kutek bening ke sepuluh kuku-kuku Kristi. Sekarang ia menghidupkan kipas kecil yang dibawanya dan mengarahkannya pada kuku-kuku Kristi untuk mempercepat keringnya kutek yang sudah Rara aplikasikan. "Tapi gue juga nyolot Ra." "Haduhhhh. Kalian berdua tuh ya bikin gue pusing. Yang satu suka nyolot yang satu emosian." "Tapi tetep aja gue yang salah." "Kenapa lo ngomong gitu?" Rara lagi-lagi dibuat tak mengerti. Biasanya dalam sesi curhat seperti ini, Kristi tak akan pernah mengalah dan bilang kalau dirinya salah. Tapi, kali ini berbeda. Kristi menghela napas panjang. Kelihatan lelah sekali seolah menopang beban berat. "Gue tau alasan sebenarnya Amal putus dari Nadia." Kristi memulai cerita. "semuanya salah gue, karna tiap akhir pekan Amal selalu nemenin gue belanja kebutuhan toko atau sekedar pergi jalan-jalan beli es krim. Gue sering nanya alasan dia malah lebih milih habisin waktunya bareng gue daripada bareng ceweknya, katanya Amal pas malem minggu dia udah jalan sama Nadia, makanya hari minggunya bareng gue. Waktu itu gue fine-fine aja, ngerasa kalau gak ada salahnya gue pergi bareng Amal. Tapi, kenyataannya gak gitu..." Kristi menaruh telapak tangannya di atas meja membiarkan kipas angin kecil Rara mengeringkan kuku-kukunya lalu ia menyandarkan punggung pada sandaran kursi, dan melanjutkan, "Nadia ngerasa kalau gue ngekang Amal, gak pernah biarin Amal jalanin kehidupannya sendiri yang tanpa gue, gue seakan memonopoli Amal buet gue sendiri. Katanya gue lebih banyak ngabisin waktu berdua bareng Amal daripada sama dia yang notabenenya pacar Amal sendiri. Kalau dipikir-pikir bener juga kata Nadia, iya kan Ra?" Rara diam mencerna baik-baik omongan Kristi. Jujur saja, dari sisi Nadia, Kristi memang terlihat memonopoli Amal hanya untuk Kristi seorang sampai Nadia merasa tak ada sedikitpun waktu Amal untuk dirinya. Namun kalau dilihat dari sisi Kristi, Kristi tak bersalah sama sekali. Toh, sebelum berpacaran dengan Nadia, Amal memang sering menemani Kristi akhir pekan untuk belanja kebutuhan toko. Lagipula, Amal juga tak melayangkan protes pada Kristi untuk menghabiskan waktunya di akhir pekan. "Ra kok lo diem aja?" Rara tersentak. Ia terlalu lama berpikir. "Menurut gue ya Kris, ini cuma kesalahpahaman aja. Udah lah gak usah dipikiran, lagian Amal sama Nadia udah lama putus kan? Tahun udah berganti, yang lalu biar aja berlalu. Gak usah dibikin pusing." Kristi cemberut. Bukan ini yang ia mau dengar dari Rara. Tapi, ucapan Rara tak ada salahnya juga. Memang sih, Amal dan Nadia sudah putus bertahun-tahun lalu. Jadi, kenapa Kristi harus pusing sendiri. "Tapi Ra, kalau Amal punya pacar nanti gue gak boleh kayak gini terus. Gue harus bisa mandiri pergi belanja kebutuhan toko gak minta ditemenin Amal lagi. Gue harus relain Amal habisin waktunya bareng pacar dia gak sama gue terus." "Oke. Gue setuju. Kalau gitu minggu depan gue yang nemenin lo belanja deh." "Beneran?" Kristi menegakkan badan dengan mata berbinar ia tampak senang sekali. "Beneran." Rara mengangguk cepat. "Aaa thank you Rara. Lo emang sahabat ter the best!" Kristi memeluk Rara singkat. Ia merasa terharu. Akhirnya niatnya menjadi mandiri dan tidak meminta ditemani Amal lagi akan segera terlaksana. ** Sesampainya di depan kelas, Amal bertabrakan dengan Hana salah satu teman sekelasnya yang berlari keluar begitu saja tanpa melihat-lihat dulu. Amal sampai berbalik dan hendak berteriak menghentikan gadis itu. Namun, Fakhri dengan segera menahannya. "Jangan marah sama dia. Marah sama gue aja. Dia kayak gitu gara-gara gue." Amal berdecak. Melihat sekilas pada Fakhri lalu ke seluruh penjuru kelas yang terlihat hening. Suasana emosional tercium, aroma-aroma kesedihan juga terlihat. Dan benar saja, beberapa menit kemudian Hana berbalik untuk melampiaskan amarahnya pada Fakhri dengan menampar cowok itu di pipi. "Kita putus!" ujarnya dengan mata basah dan hidung memerah. Lalu berbalik dan berlari pergi lagi. Seketika itu juga seisi kelas tertawa heboh. Dan Amal yang tertawa paling kencang. "Mampus lu!" Amal berseru puas di telinga Fakhri. "Putus bukanlah akhir." Fakhri berkata optimis. Ia dengan pedenya melambaikan tangan ke seluruh penjuru kelas yang semakin heboh karna ulahnya. Amal menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kelakuan temannya yang satu ini. Fakhri memang terkenal buaya. Banyak yang menjadi korban. Tapi, meskipun begitu masih saja ada cewek-cewek yang mau menjadi pacar Fakhri. Memang sih ke-buaya-an Fakhri didukung dengan wajah yang sempurna, tubuh yang tegap dan atletis dan otak yang lumayan encer, Fakhri tak pernah tak masuk dalam circle sepuluh besar di kelas. "Bukannya lo yang bilang Hana bakal jadi yang terakhir." "Iya sih. Tapi, setelah dijalanin gak cocok bro. Dia ngekang gue terus, gak boleh inilah, gal boleh itulah. Capek gue." Amal menghela napas. Kalau dikekang sih Amal juga tak suka. Biasanya dalam sebuah hubungan yang Amal lihat di sekitarnya, si cewek atau si cowok akan melarang beberapa hal yang menurut mereka gak sesuai dengan apa yang mereka mau. Contohnya nih ya, si cowok bakal ngelarang si cewek makan mie instan di kantin dengan alasan mie instan gak baik buat kesehatan. Sedangkan si cewek juga ngelarang si cowok ngerokok karna masalah kesehatan juga. Amal pikir ya, rata-rata anak SMA seumuran Amal gak ada yang gak pernah coba ngerokok. Palingan cuma satu dua aja yang gak pernah coba, itupun karna circle pertemanan mereka yang isinya anak-anak kutu buku. Jadi, kalau dipersentasiin secara kasar, rata-rata cowok di sekolah Amal 98% udah pernah coba rokok. Begitu juga cewek-cewek yang doyan makan mie instant. Mie instant ini makanan sejuta umat yang rasanya enak gak bisa didebat. Amal sendiri dalam satu minggu kalau tidak dihentikan Kristi bisa dua kali makan mie rebus di kantin. Kembali ke kekang mengekang. Amal sering memergoki salah satu teman cowoknya yang merokok diam-diam di belakang sekolah. Amal kira si cowok ini merokok di tempat sepi supaya tak ketahuan guru BK, namun jawabannya membuat Amal tak kehabisan akal... "Gue gak mau ketauan sama cewek gue kalau gue ngerokok di tempat biasa." Tempat biasa yang dimaksud adalah sudut kantin. Dengan alasan seperti itu Amal rasa. Si cewek lebih gahar daripada guru BK ternyata. Tapi, toh si cowok intinya tetap melanggar. Duh, Amal tak mengerti hubungan yang seperti ini. Setelah menaruh tas di sandaran kursi, Amal lalu duduk dan kembali menaruh atensi pad Fakhri. "Emang dia ngekang lo gimana?" "Gue gak boleh ngomong sama cewek lain. Gue gak boleh bales senyum sama cewek lain yang senyumin gue. Masa gue harus berubah jadi lo yang jutek setiap saat. Gue gak bisa. Gue ini diciptakan untuk ramah ke semua orang." Amal mendesis pelan saat Fakhri sengaja menjadikannya contoh. "Lo mana bisa gak senyum atau lirik-lirik cewek lain sekali aja. Mata buaya lo lebih cepat dari buaya asli." Tepat saat Amal selesai mengatakan itu, tiga orang cewek adik kelas mereka masuk dengan gesture malu-malu. Mereka mendekat ke meja Amal dan Fakhri yang terletak dua meja dari depan. "Halo Kak Fakhri. Ini ada coklat buat Kakak. Aku bikin sendiri loh." Salah satu adik kelas itu mendekati Fakhri dengan berani. Seketika Fakhri yang tampak nelangsa sehabis diputusi Hana berubah senang dan memasang ekspresi buaya. Menerima sekotak coklat itu dari si adik kelas dengan senyuman dan gombalan yang membuat si gadis merona. Cih. Amal berdecih. Menggeleng tak habis pikir. Dasar buaya. Amal berujar dalam benak. "Oh iya Kak. Temen aku juga mau ngasih coklat buat Kak Amal." Si gadis itu menarik temannya mendekat. "Loh kasih ke Amalnya langsung dong." Fakhri berujar geli. Si gadis yang sudah berdiri di sisi Amal dibuat gentar. Amal bisa melihat tangan gadis itu gemetar. "Kak Amal ini buat Kakak." Gadis itu menjulurkan sebungkus coklat batangan ke hadapan Amal dengan wajah menunduk. "Terima dong Mal." Fakhri menukas cepat tak sabar. Amal lalu mengambil coklat itu dari tangan si gadis dan mendelik pada Fakhri. Seakan siap menerkam Fakhri kapan saja. Setelah coklatnya diterima Amal, si gadis masih saja menunduk dan berujar dengan suara bergetar, "Makasih Kak." Lalu putar arah dan berlari keluar kelas diikuti dua temannya. "Lucu banget." Fakhri tertawa puas. "Lucu pala lu! Ambil nih!" Amal melempar coklat batangan itu ke Fakhri yang langsung menyambutnya dengan sisa gelak tawa. Ini resikonya berteman dengan Fakhri si pecinta wanita. Ia jadi ketiban coklat di hari valntine seperti sekarang. Amal saja baru tau kalau sekarang tanggal 14 Februari yang katanya adalah hari kasih sayang. "Mau gak lo? Ini enak loh." Fakhri menawarkan coklat yang cowok itu terima dari adik kelas tadi. Amal menggeleng, menolak. Ia tak suka makanan manis. Alhasil, karna isi kotak itu lumayan banyak, Fakhri membagikan coklat-coklat ke seisi kelas. Kelas jadi heboh lagi menerima dengan senang hati coklat-coklat dari Fakhri. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD