9. Membuat Kesepakatan

1334 Words
"Unghh..." Lenguh Divya. Namun sedetik kemudian matanya langsung membulat ketika ia menyadari pemandangan yang tersaji di hadapannya. d**a bidang Haydan yang ada di sana. Dan... Ia juga mendapati tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya. "Ap-apa yang terjadi?" Gumamnya tergagap karena mulai khawatir. Divya membekap mulutnya kuat. Ia belum percaya dengan hal yang berada di depannya ini. Benarkah ia dan Haydan telah melakukannya? Mereka melakukan hal yang tak seharusnya? Oh... Tuhan.. Divya langsung berlari ke arah kamar mandi, ia bekap mulutnya kuat-kuat untuk menahan isakannya yang mulai mendorong kuat untuk keluar dari bibirnya. Ia benar-benar merasa bodoh dan merutuki dirinya sendiri. Kemarin ia benar-benar mabuk sehingga tak menyadari apa yang ia lakukan. Lalu, sekarang apa yang harus ia perbuat untuk memperbaiki semua ini? Haydan menggeliat pelan saat suara alarm dari ponselnya kembali berdering nyaring memekakkan telinganya. Dan akhirnya memaksanya bangun dari tidurnya dan juga dari rasa pening di kepalanya. "Ah.." rintihnya, satu tangannya memegangi kepalanya yang terasa begitu berat dan pusing. Haydan singkap selimut yang menutupi tubuhnya, bermaksud untuk segera membersihkan dirinya. Namun dengan cepat ia raih kembali selimut itu untuk menutupi dirinya lagi. Haydan terkejut melihat dirinya sendiri yang tak terbalut pakaian. Lalu ingatannya pun kembali, ia baru menyadari kebodohannya tadi malam. "Aku melakukannya dengan Divya?" Gumam Haydan tak percaya. Langsung ia kenakan celananya yang ia temukan berserakan di bawah kasur. Lalu segera berlari keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa. "Dimana dia?" Haydan mencoba mencari sosok Divya di dalam apartemen. Ia berlari ke sana kemari untuk menemukan Divya. Ia berharap masih bisa bertemu wanita itu di dalam apartemen ini. Dia ingin segera meminta maaf pada wanita itu. Haydan benar-benar tak sadar saat melakukannya. "Divya!" Teriaknya beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Apa mungkin Divya sudah pergi? Atau mungkin Divya kabur? Cepat ia berlari kembali menuju kamarnya. Ia langsung membuka lemari pakaian Divya. Dan menemukan pakaian Divya masih tertata rapi dan lengkap di sana. Setidaknya kini ia bisa bernafas lega menemui fakta Divya tidak kabur. Dan dengan itu ia bisa meminta maaf pada wanita itu. "Argh!!" Teriak Haydan frustasi. "Kenapa bisa begini?!" Nata akhirnya bisa bernafas lega. Ia akhirnya menemukan Divya yang ia pikir wanita itu hilang entah kemana saat pemotretan sedang berlangsung. Namun ia sipitkan matanya saat menyadari aura Divya yang tak terlihat baik hari ini. Wanita itu duduk termenung didalam ruang bioskop yang kosong dan memang tersedia di kantor mereka. Nata berjalan mendekati Divya yang duduk di pojok atas sana, ruang yang cukup gelap untuk terlihat. Namun matanya tetap saja bisa mengenali perempuan yang sudah dianggapnya adik itu. Divya menyadari kedatangan Nata. Namun ia hanya tersenyum kecil saat Nata melambaikan tangan padanya. Sebenarnya ia ingin sendirian saja saat ini. Namun ia juga tak bisa menolak tawaran bahu kakaknya itu. Setidaknya ia bisa meluapkan semua keluh kesahnya di sana tanpa ia harus bercerita panjang lebar. Karena Nata pasti akan mengerti. Tapi untuk masalah yang baru saja ia dapatkan tadi pagi, akankah ia harus ceritakan pada kakaknya ini? Atau sebaiknya membiarkan Nata tidak tahu kejadian yang bisa saja membuat Divya langsung terjun dari lantai 30 gedung ini. Mengakhiri hidupnya yang tiba-tiba saja menjadi runyam. "Ada masalah?" Tanya Nata saat ia telah duduk di sebelah Divya. Divya mengangguk singkat lalu menyenderkan kepalanya di bahu Nata. Merasa sedikit nyaman bersandar pada bahu yang sudah 6 tahun ini bersama dengannya, Nata lah yang selama ini sudah menggantikan sosok ayah, ibu, dan juga kakak baginya. Beruntung ia masih memiliki Nata di sampingnya, dan ia tak ingin membayangkan jika Nata pergi dari sisinya. "Lo mau cerita sama gue?" Tanya Nata. Biasanya ia akan langsung mencecar Divya dengan begitu banyak pertanyaan. Namun melihat keadaan Divya saat ini. Sepertinya tidak terlalu tepat. "Mungkin belum." Jawab Divya. "Berat banget, ya?" Divya mengangguk pelan dengan posisi yang masih sama menyender di bahu Nata. "Gue bisa ngerti. Tapi jangan jadikan itu sebagai penghalang impian elo, Div... Lo masih harus menyelesaikan 1 tema pemotretan lagi. Lo juga kudu bersikap profesional." Nasehat Nata, mungkin bukan waktu yang tepat membicarakan hal pekerjaan disaat ini. Tapi ia ingin Divya lebih dewasa. "Bang.." Ucap Divya, ia bangun dan menatap mata Nata. "Hmm?" "JIka tuhan mencabut nyawa gue saat ini. Gue rela, gue benar-benar rela, Bang." Ujar Divya dengan suara yang terdengar pasrah dan mulai terisak. Air matanya yang jarang sekali ia keluarkan, akhirnya harus ia keluarkan juga. Bukankah ia tepat menangis disaat seperti ini? Merasakan sakit di sekujur tubuhnya, hatinya apa lagi. Serasa hancur tak berbentuk lagi. Nata langsung menarik Divya ke dalam pelukannya. Kini untuk kedua kalinya ia melihat tangisan Divya yang mengiris-iris perih hatinya setelah sejak kematian ibu Divya. Ia benar-benar akan mengutuk siapapun yang telah membuat Divya seperti ini, namun dengan bungkamnya Divya. Ia pun tak bisa berbuat apapun pada Divya. Wanita ini, sepertinya berada dalam titik rendahnya lagi. Hingga ia bisa berkata seperti itu. "Nangis aja nggak papa.." Ucap Nata. Tak bisa ia pungkiri, ia pun mulai meneteskan air matanya mendengar isakan kuat Divya yang terdengar miris menyayat hatinya. "Bang..." Isak Divya. Semakin kuat saja tangisannya. Ia mendekap erat-erat tubuh Nata. Yang ia rasakan saat ini adalah kebingungan, ketakutan, dan penyesalan. Semua bercampur menjadi satu. Bisakah tuhan menghilangkan salah satu dari 3 hal itu? Divya mulai merasa lelah. . /// Haydan sudah berapa kali melempar kuat kertas-kertas di hadapannya ini. Dia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi juga fokus dengan semua laporan yang baru saja sekretarisnya serahkan. Ia mengerang frustasi dengan keadaannya sendiri. Kemarin Ia belum bisa melupakan masalah malam itu. Dengan keadaan tidak sadar, ia melakukan hal yang sangat keji dan tentu saja menjijikan pada Divya. Hal yang tak pernah ia duga sama sekali akan terjadi. Andai ia tak meminum alkohol sebanyak itu, pasti semuanya tak akan terjadi seperti ini. Ditambah lagi kemarin malam Divya tidak pulang ke apartemen mereka. Kemana perginya wanita itu? Dengan segala keyakinannya, Haydan berjalan ke arah sebuah cafe yang letaknya dekat dengan kantor Divya. Tadi ia datang ke kantor wanita ini, namun ia tak menemukan Divya di sana. Temannya bilang Divya sudah pulang dari tadi, tapi ada juga yang mengatakan jika Divya selalu mampir ke sebuah cafe sebelum pulang. Maka dari itu ia pun segera menyusul menuju cafe itu. Sepi. Itu yang Haydan temukan saat ia masuk ke dalam cafe ini. Namun akhirnya ia temukan apa yang ia cari di tempat ini. Divya ada di sini dan posisinya duduk di pojokan dekat jendela. Ia berjalan menghampiri Divya. Dan rasa bersalah kembali menyergapnya. "Divya." Panggil Haydan. Divya langsung menoleh pada asal suara yang memanggil namanya itu. Cukup terkejut melihat Haydan ternyata pemilik suara itu. Langsung ia usap air mata yang sedari tadi menemaninya di dalam cffe ini. Tanpa izin dari Divya, Haydan duduk berhadapan dengannya kini. Mereka hanya dibatasi 1 meja bundar yang di atasnya ada sebuah cangkir berisi kopi. "Ada apa kamu kemari?" Tanya Divya. Ia memandang Haydan tak mengerti. "Aku tau kamu tidak suka dengan basa-basi. Maka aku akan langsung mengatakan intinya." Jawab Haydan. "aku minta maaf atas kejadian malam itu. Aku sangat menyesal telah melakukannya padamu. Saat itu aku dalam keadaan mabuk berat." Sambung Haydan. "Hah.." Divya menghela nafasnya berat. Kenapa Haydan harus datang sekarang? Ia sungguh sedang ingin sendirian, dan tidak ingin bertemu dengan pria ini. "Kamu tidak usah meminta maaf, nggak ada yang salah disini, aku juga dalam keadaan mabuk saat itu." Tutur Divya. Dan itu cukup membuat Haydan terkejut mendengarnya. "Tapi aku harus tetap meminta maaf ka-" "Ku mohon.. lupakan saja tentang masalah malam itu. Dan anggap saja itu tidak pernah terjadi." Sela Divya cepat. "Tap-" "Pergilah, aku ingin sendirian di sini." Sela Divya lagi. Haydan hanya bisa terdiam. Sebenarnya seperti apa Divya itu, kenapa seolah menganggap enteng masalah sebesar itu, sekalipun Haydan tahu wanita ini pasti sedang terpuruk. Mengingat ada kantung hitam di sekitar mata Divya, dan juga matanya yang bengkak dan memerah. Lalu kenapa Divya malah menyuruh Haydan melupakan kejadian itu. Sebenarnya Divya masih waras atau tidak? "Baiklah, aku akan pergi. Pulanglah ke apartemen." Ucap Haydan sebelum pergi. Divya tak menyahut apapun dan kembali menatap kosong ke depan. Haydan benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Divya. . /// . Instagram: gorjesso .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD