7. Kota Tua

1942 Words
Haydan tersenyum senang melihat seseorang yang kini berdiri di pintu ruang kerjanya. Bergaya sok dan juga seolah orang itu sedang memamerkan dirinya di hadapan Haydan. "Astaga... Sejak kapan lo sampai di Jakarta, hah?" Tanya Haydan. Ia menghampiri orang itu. Lalu memeluknya erat, sangat erat. 2 tahun ini ia tak bertemu dengan sahabatnya yang kini sedang berbisnis di negeri tetangga, Singapura. "Ck! Lo yang sibuknya kebangetan lho, Dan... nggak nyadar banget.... Gimana bisa penganten baru malah ena-enanya sama kertas-kertas terkutuk ini?" Cibir sahabat Haydan. Menyimit 1 kertas yang berada di meja kerja Haydan, lalu memasang wajah pura-pura jijik pada kertas itu, yang dibalas kekehan kecil oleh Haydan. "Lo udah tahu tentang hal ini ternyata." Gumam Haydan, ia berjalan menuju sofa dan mendudukkan dirinya di sana yang diikuti juga oleh sahabatnya itu. "Gue selalu denger kabar elo dari beberapa orang. Termasuk tentang lo yang nikah sama seorang model terkenal, Divya Lavani." Tuturnya. "Hah? Lo kok tahu banyak?" Celetuk Haydan. "Aish... percaya diri banget lo!" Decak sahabatnya. "Terus gimana sama malam pertama elo, hem?" Tanyanya. "Haish.. ternyata penyakit m***m elo belum berkurang sedikitpun ya, Sak.." Desis Haydan. "Alah... Apa-apaan lo ini... Gue kan cuma nanya hal yang sewajarnya." Ujar orang itu, yang ternyata bernama Sakti. Jerome Sakti Wirawan nama lengkapnya. "Jadi, apa elo udah w*****k sama dia?" Tanya Sakti penasaran. Dan Haydan hanya memandang sahabatnya ini malas. "Hah...apa sih...lagi pula gue nggak bernafsu sedikitpun sama cewek itu." Ujar Haydan. "Eh, Gimana bisa?! Lo masih normal, kan?" "Pasti lah! Lo pikir gue apa, hah?" Sungut Haydan. "Kami bahkan nggak saling nyapa di rumah. Dan lagi pula gue punya dunia gue sendiri, lebih tepatnya gue udah sama orang lain." Tutur Haydan, membuat Sakti menyeritkan kedua alis tebalnya, bingung. "Lo? Elo selingkuh dari istri lo?" Tanya Sakti yang mendapat satu pukulan telak di kepalanya oleh Haydan. "Ini bahkan nggak bisa disebut selingkuh..." Desis Haydan kesal. "Lo ingat Rosa, kan?" Tanya Haydan. "Fabricia Rosalie? Rosa yang itu? Eum, iya... gue ingat... bukanya dia cinta pertama elo?" Jawab Sakti mencoba mengingat masa-masa mereka masih SMA dulu. "Tu—tunggu! Jangan bilang kalo selingkuhan elo itu Rosa?" Sambung Sakti yang kembali mendapat 1 pukulan gratis dari Haydan. "Heh! Udah gue bilang gue nggak selingkuh!" Belanya. "Kami udah lama menjalin hubungan, dan itu sudah berjalan 3 tahun ini sebelum akhirnya gue kudu dijodohin sama model itu." Jelas Haydan, Sakti hanya mengangguk anggukan kepalanya mengerti. "Bokap elo sampai saat ini belum bisa nerima Rosa?" Tanya Sakti, ia ikut menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. "Ya." Jawab Haydan singkat. "Terus, apa istri lo ini tahu tentang Rosa?" Tanya Sakti. Haydan menoleh pada Sakti. "Belum, dan gue akan segera ngenalin Rosa sama Divya." Jawab Haydan lalu menatap kosong ke atas. "Elo beneran gila, Dan." Gumam Sakti. Menatap sahabatnya itu tak percaya. . /// . Divya masih berada di lokasi pemotretannya. Menyelesaikan beberapa pose lagi. Tema kali ini adalah keindahan mata. Dan jangan tanyakan lagi, Divya punya itu. Mata foxi yang selalu menyiratkan pesan dingin dan angkuh namun sebenarnya hangat. Nata berkali-kali bereteriak memerintah Divya untuk berganti gaya. Dan Divya lakukan itu. Dan hasilnya, tanpa bantuan photoshop atau sejenis software editing foto lainnya, sebenarnya pose-pose Divya ini sudah layak tercetak di majalah mereka ini. "Gue suka pose ini, Div." Ucap Nata, memperlihatkan hasil jepretan kameranya pada Divya melalui layar monitor komputer. "Hm? Yang bener? Makasih deh..." Ucap Divya, membalas pujian Nata. "Dengan sedikit polesan eye liner lagi di lipatan mata elo, gue pikir lo bakalan mirip sama boneka barbie.." Ujar Nata. "Haha.. nggak usah ngaco deh, Mas ..." Divya dan Nata berjalan beriringan menuju tempat mobil Nata diparkirkan. Nata menawarkan jasa pengantar bagi Divya kali ini. Walau dulu tanpa Nata tawarkan, dengan lancangnya Divya sudah berada di dalam mobilnya. Tapi itu selalu ia maklumi, ia sudah menganggap Divya sebagai adiknya. Apa lagi jika ia mengingat betapa terpuruknya Divya ketika wanita ini berada dalam kesedihan saat ibunya meninggalkan Divya untuk selama-lamanya. Mobil Nata melaju kearah sebaliknya dari jalan pulang yang mereka rencanakan tadi. Divya memintanya menemaninya makan malam sebentar di sebuah tenda kecil pinggir jalan di tengah kota Jakarta bagian Barat. Setelah makan malam itu. Sebagai pelepas penat, Divya kembali memaksa Nata untuk menemaninya duduk menikmati suasana di Kota Tua yang sudah dirombak menjadi lebih apik. Sepi, hanya ada beberapa orang saja yang masih berada di sana dalam keadaan malam yang hampir larut ini. "Ini udah malem loh, Div." Gumam Nata. Mereka sedang menikmati kacang rebus yang dijual murah oleh penjual di sekitaran landmark kota Jakarta ini. "Tunggu sebentar lagi ya, Mas ..." Gumam Divya. Bulan dan bintang yang bersatu padu di langit luas sana, membuat Divya tersenyum kecil melihatnya. Ia berpikir bahwa kedua benda itu saja bisa bersatu walau berbeda. Tapi ia? Entahlah... Tapi ketika ia mengingat matahari dan bulan, entah mengapa itu menambah kepercayaan dirinya untuk tetap berada dalam kehidupan seperti ini saja dengan Haydan. Tak pernah bertemu dalam satu waktu. Dan itu akan bagus baginya supaya bisa melewati 5 bulan ini dengan mulus. Walau 1 minggu saja terasa 1 bulan lamanya. Jadi 5 bulan akan seberapa lama lagi? Divya menghentikan gerakan jari lentiknya pada tombol pengisi password pintu apartemen mereka. Ujung matanya menangkap sosok tubuh yang baru 1 minggu ia kenal. Haydan berjalan dari arah lift yang juga tadi ia gunakan. Namun seolah tak peduli, setelah terdengar bunyi khas dari pengisi password itu dan pintu apartemen mereka terbuka, Divya langsung melenggang masuk kedalam apartemennya. Sengaja tak ia tutup pintunya, tahu Haydan hanya berjarak beberapa langkah darinya. Dan itu cukup untuk membiarkan pintu apartemennya tak tertutup secara otomatis. Setelah melepas sepatu flatnya dan mengganti dengan sandal rumah biasa. Divya berjalan masuk ke kamarnya. Diikuti pula oleh Haydan yang acuh dengan keadaan ini. Keadaan dimana ini pertama kalinya mereka bertemu dalam keadaan terjaga setelah seminggu ini. Divya menguncir rambutnya ke atas. Mengambil handuk yang tadi sempat ia siapkan dan juga pakaian tidurnya. Lalu Haydan masih sibuk dengan ponselnya dan tersenyum-senyum seperti orang gila. Membuat Divya menautkan kedua alisnya tak mengerti melihat pria didepannya ini sepertinya sudah tidak waras. "AAAAA!!!!" Teriak Divya. Ia langsung keluar dan menubruk Haydan yang ternyata berada di depan pintu kamar mandi. Dan alhasil membuat mereka jatuh mulus di atas lantai dengan posisi Divya menindih Haydan. "Aww..." Rintih Haydan. Merasakan perih pada punggungnya yang sukses membentur dengan keras ke lantai dingin apartemen mereka. "Ma-maaf.." Ucap Divya gugup. Cepat ia berdiri dari posisi yang sangat tidak menguntungkan baginya, cukup membuat suasana menjadi canggung karena ini adalah momen pertama kalinya mereka melakukan kontak fisik. "Sebenarnya ada apa, hah? Kenapa berteriak keras banget begitu?!" Cecar Haydan, kesal dengan Divya yang tiba-tiba berteriak di dalam kamar mandi tadi. "oo...emmm, ta-tadi ada kecoa di atas wastafel." Ujar Divya. Di dalam hatinya ia merutuki bibirnya yang bergerak kaku tak bisa mengatakan setiap kata-kata dinginnya. Dan malah menjadi gugup. Ah...kenapa bisa begini? "Haishhh... ternyata hanya karena itu?" Tanya Haydan dengan tangannya yang sibuk mengusap-usap punggungnya yang masih terasa nyeri. "Iya..." Jawab Divya. Haydan segera berdiri dari posisi terjatuhnya tadi. Masuk kedalam kamar mandi untuk memastikan kecoa yang telah membuat sebuah momen yang tak menguntungkan baginya. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri mencari serangga terkutuk itu. "AAAA!!!" Teriak Divya lagi, yang sukses membuat Haydan terperanjat kaget. "Heh! Ada apa lagi?" Tanya Haydan pada Divya yang sudah memeluknya dari belakang dengan erat. "I-itu, kecoanya..." Jawab Divya. Tangannya melingkar erat ditubuh Haydan. "Aku akan menangkapnya, tapi lepaskan dulu tanganmu." Ujar Haydan. Divya yang tak menyadari keadaan ini hanya bisa tersenyum kaku setelah melepas pelukannya pada tubuh kekar Haydan yang kini hanya terbalut celana panjang dan kaos dalam transparan berwarna putih. Dan dari sini ia bisa merasakan lebih jelas bau khas parfum yang selalu digunakan Haydan. "Maaf, deh..." Ucap Divya gugup. Haydan hanya mendesah malas. Apa-apaan wanita ini memeluknya se-erat itu? Haydan mengangkat sebelah kakinya, lalu melepas sendal rumah yang ia gunakan. Dengan gerakan pelan Haydan menghampiri kecoa yang kini bertengger di atas closet kamar mandi mereka. Dan Divya hanya bisa diam menutup mulutnya yang ingin berteriak karena saking takutnya. PLAKKK!!! "Ish! Mati lo!" Pekik Haydan karena ia berhasil membuat kecoa itu tak bernyawa lagi. Haydan menyimit jijik kecoa itu lalu memasukkan nya ke dalam tempat sampah kamar mandi itu. Lalu ia lihat Divya yang masih terlihat shock dengan kejadian ini. "Udah tuh." Ucap Haydan singkat lalu berjalan keluar kamar mandi. "Makasih.." Ucap Divya. Lalu ia menutup pintu kamar mandi itu perlahan. Namun dengan sigap tangan Haydan menahan laju pintu itu. "Tunggu!" Perintah Haydan. "Ke-kenapa?" Tanya Divya bingung. "Sebaiknya lo nggak usah mandi malam ini." Ujar Haydan. "Hah? Tapi gue nggak bisa tidur kalo-" Divya langsung mengatupkan bibirnya ketika Haydan memandangnya tajam. "Ba-baiklah..." Ucap Divya akhirnya. Ia rasa harus menuruti perkataan Haydan untuk tidak mandi malam ini. Benar juga, karena mungkin saja masih ada kecoa lain di dalam sana. Dan pria ini mungkin sudah tak ingin berurusan dengan kecoa-kecoa itu lagi. . /// . Kini, matahari telah muncul dari peraduannya. Sinarnya mulai terang menerangi dan mengusir gelapnya malam. Langit biru pertanda hari ini akan begitu cerah dan cocok untuk bepergian. Divya duduk menekuk lututnya. Ia masih berada diatas kasurnya, dia terlihat bingung pagi ini. Ah... karena kemarin, ia tak berani masuk ke kamar mandi. "Nyebelin banget kecoanya..." Divya mendumal kesal. Kembali menelungkupkan wajahnya di antara kedua lututnya. "Lo masih di sini ?" Tanya seseorang. Siapa lagi kalau bukan Haydan. Pria ini cukup terkejut mendapati Divya masih di ranjang yang sama dengannya pagi ini. "Hah?" Jawab Divya yang juga terkejut melihat Haydan sudah terbangun dari tidurnya. Dan kini pria itu terlihat sibuk dengan ponselnya. "Lo nggak pergi kerja?" Tanya Haydan. "Hah? Itu.. gue... mmm..." Gumam Divya tak jelas. "Oke, baiklah, gue dulu aja yang mandi." Ujar Haydan. Pria itu langsung mengambil handuknya dan melesat masuk ke kamar mandi. Divya meraih selimut yang berada diujung kasurnya. Lalu ia tarik selimut itu hingga ujung kepalanya. Hah... Entah apa yang sedang ia lakukan. Ia sendiri tak mengerti. KREKKK Pintu kamar mandi kembali terbuka. Haydan menampakan dirinya dari sana dengan perubahan dirinya yang terlihat lebih segar, namun ia kembali dikejutkan dengan ulah Divya yang aneh pagi ini. Wanita itu melamun dengan bibir yang ia majukan. Terlihat lucu. Tapi sebenarnya apa yang membuat wanita ini begitu aneh? "Nggak ada kecoa lagi di dalam kamar mandi." Ujar Haydan yang menyadarkan Divya dari lamunannya dan langsung menoleh cepat ke arah Haydan. "Yang bener? Jangan bohong.." Tanya Divya memastikan. "Iya." Jawab Haydan singkat. Dengan segera Divya masuk ke kamar mandi tak peduli dengan Haydan yang terus memandanginya. Haydan memutar tubuhnya, ada yang salah pagi ini. Dan sangat salah. Mulai dari Divya yang sesiang ini masih berada di atas kasur saat ia terbangun. Lalu Divya yang ternyata belum membersihkan dirinya. Dan terakhir, tak ada lagi setelan jas yang sudah siap di kursi dekat ranjang. Apa wanita itu masih shock karena kecoa itu, sehingga ia lupa menyiapkan setelan jas yang biasa Haydan temukan di atas kursi? Batin Haydan. Namun itu tak menjadi hambatan untuknya, ia juga sudah terlalu dewasa untuk menyiapkan pakaiannya sendiri. Setelah Divya keluar dari kamar mandi, Haydan telah selesai dari pakaiannya yang terlihat pas bagi pria itu. Namun Divya kembali menautkan alisnya, ini kedua kalinya ia melihat Haydan tersenyum-senyum sendiri dengan ponselnya. Sempat berpikir bahwa ia harus membawa pria itu ke rumah sakit jiwa. Namun segera ia tepis pikiran konyolnya itu. "Perlu gue siapkan sarapan?" Tanya Divya, membuat Haydan beralih dari ponselnya. "Hm? Nggak usah, udah ada seseorang yang selalu bikinin gue sarapan." Jawab Haydan lalu menyambar tas kerjanya dan keluar dari kamar. Divya masih dengan alis yang tertaut di dahi indahnya. Ia masih mencoba mengurai setiap kata yang tadi Haydan ucapkan. "seseorang?" Eum... apa maksudnya? Ah sudahlah itu tak penting. Lagi pula ia menawari itu karena kemarin dengan baik Haydan telah menyelamatkannya dari kecoa terkutuk itu. . /// .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD