1. Foto dan Kertas

1167 Words
Jika sebuah kebahagiaan harus dijemput, maka di manakah ia sebenarnya? . . "Lo hebat banget, Div! Dan hari ini selese... Cepet istirahat karena besok masih akan lanjut." Ucap Nata, dia baru saja selesai dengan proyek pemotretan majalah dengan cover girlnya adalah model terkenal, Divya Lavani. "Oke, Bang Nata... Makasih. Kalau gitu gue pulang dulu, ya... Bye...," izin Divya, dia memeluk sebentar fotografer dan sekaligus teman dekatnya itu. Divya melambaikan tangan dan menundukkan kepalanya kepada setiap kru yang sudah ikut bekerja keras dalam pemotretan majalahnya hari ini. Manajernya membantunya berjalan karena dia masih menggunakan gaun untuk pemotretan tadi. Sangat anggun jika dipandang, walau dia tak terlalu tinggi, namun siapa yang bisa menyangkal. Kecantikannya bahkan mampu menarik mata siapa pun karena saking sempurnanya. Memiliki tubuh ramping idaman semua wanita, wajah sempurna bak boneka Barbie yang nyata, juga kemampuan mengucapkan 4 bahasanya serta kemampuan otaknya yang semakin mempesonanya sebagai seorang model papan atas negeri sejuta pulau itu. Sebuah paket lengkap yang langka ditemui di dunia modeling. Dia berjalan menuju ruang ganti. Divya mengganti gaunnya dengan pakaian casual yang tak sedikit pun akan mengikis kecantikannya, namun hanya akan memberinya kesan santai dan juga segar. Diaa memakai kaos V-neck dan celana jeans hot-pants, serta sepasang sepatu flat bermerek Converse andalannya. Baginya, sepatu flat adalah harga dirinya, yang tentu sangat bertolak belakang dengan profesinya sebagai seorang model terkenal. Divya mulai memainkan ponsel putih nya ketika dia sudah duduk santai di jok belakang mobil BMW hitamnya. Dia hanya berdua dengan manajernya yang terlihat fokus mengendalikan laju mobil yang mereka tumpangi. Mata Divya memutar jengah ketika sebuah pesan terpampang jelas di layar ponselnya. Lagi-lagi ayahnya harus memaksa Divya melakukan hal yang tak akan sedikit pun dia setujui, meskipun dengan sejuta alasan apapun. Dijodohkan? Membayangkannya bahkan Divya tak pernah. Laju mobil itu berhenti di sebuah halaman luas rumah mewah bercat putih gaya eropa. Ini rumah ayah Divya. Dan mungkin juga rumahnya, mengingat dia sudah tak pernah lagi tinggal di sana sejak ibunya meninggal 3 tahun yang lalu. Dan Divya kini tinggal di apartemen mewah yang dia belinya di pusat kota. Divya menyuruh managernya untuk langsung pulang saja dengan membawa mobilnya. Seolah dia akan tahu ia tak akan menginap di dalam sebuah rumah yang sudah seperti neraka baginya. Dia tersenyum kecil pada setiap orang berseragam hitam putih yang berstatus sebagai pelayan di rumahnya ini. Cukup jumlahnya. Namun Divya pikir sebenarnya apa yang mereka harus kerjakan di rumah ini. Karena hanya ayahnya saja yang tinggal di sini , itu pun harus dikurangi dengan jadwal padat ayahnya yang harus mengurus anak cabang perusahaan pengolahan makanan kaleng mereka di Singapura, Hongkong, dan di negara kelahirannya, Kanada. Divya membuka sebuah pintu yang berukir gambar-bambar dewa khas negara Yunani. Ia temukan sesosok pria paruh baya tengah berdiri angkuh melihat keluar jendela yang tetap tertutupi tirai putih tipis yang lembut. Dia mendekati pria itu. Ya, itu ayahnya. "Selamat sore, Pa." Ucap Divya, menyapa. Seburuk apa pun ayahnya dan seburuk apapun hubungan dia dengan ayahnya, tapi sebuah keharusan baginya tetap mengucapkan salam dan menghormati apa yang menjadi kewajiban dan kodratnya sebagai seorang anak. Ayah Divya memutar tubuhnya hingga membuat mereka berhadapan. Memperhatikan putrinya dari atas hingga bawah. Karena itu mampu membuat kerinduannya kepada istrinya menjadi terkurangi, karena wajah istri dan putrinya ini sangatlah mirip. Walau kepribadian mereka sangatlah berbeda. Divya menyukai tinju dan sepak bola, dan itu adalah profesinya dan sekaligus hobinya yang sampai saat ini masih dia tekuni. Sedangkan istrinya suka memasak, merawat kebun dan hal main layaknya perempuan pada umumnya. Dia memeluk tubuh kecil putrinya yang dia pikir sudah beranjak dewasa. Karena dia sering melihat bagaimana putrinya berpose di setiap majalah dengan gaun-gaun yang menurutnya sedikit... dewasa. Dan itu juga yang membuatnya mengingat apa yang sudah istrinya pesankan padanya. Dia harus memilihkan seorang pendamping yang tepat bagi putri satu-satunya ini. Agar pendamping putrinya itu bisa menjaga Divya bila nanti dia juga harus meninggalkan Divya. "Papa, rindu sama kamu...," ungkapnya, dia melepas pelukan ringannya dari tubuh Divya yang hanya merespon sedikit pelukan tulus darinya. Dirinya tahu, putrinya ini tak akan lupa dengan segala kesalahannya di masa lalu. Dan juga kesalahan yang mungkin akan dia lakukan lagi bagi masa depan putrinya. Tak tega, tapi ini jalan satu-satunya agar dia tetap bisa menjaga putrinya itu meski harus melewati jalan yang tak seharusnya. "Sudahlah, Papa.. aku cuma ingin tahu apa alasanmu." Divya duduk di sofa coklat yang ada di ruangan itu, ruangan kerja ayahnya. Ruangan yang baginya sangat ingin ia musnahkan. Mengingat bagaimana sebuah kesalahan ayahnya pada ibunya berawal dari ruangan yang cukup besar ini "Sebuah perusahaan menanamkan saham di perusahaan Papa di Singapura, Hongkong, dan tentu saja di Indonesia juga. Selain itu kami juga melakukan banyak kerja sama. Pemilik perusahaannya sudah berteman dengan Papa sejak lama, bahkan kami adalah teman satu sekolah dulu." "Lalu?" "Lalu, setelah teman Papa mengetahui bahwa seorang model terkenal Divya Lavani adalah putri Papa. Teman Papa itu berniat untuk menjodohkan kamu dengan putranya yang sekarang menjadi pewaris tahta perusahaannya yang sudah tersebar hingga Eropa. Dan Papa yakin putra teman Papa itu yang terbaik buat kamu." Tutur ayah Divya. Dia memainkan sebuah jam pasir yang dulu juga sering Divya mainkan saat kecil. Walau saat ini dia tak akan lagi melihat Divya melakukan hal manis di depannya. "Sudah ku bilang aku nggak akan setuju, Pa." Ucap Divya tegas. Dia kemudian memasang wajah datar seperti biasanya ketika berbicara dengan Papanya. "Tapi kamu harus. Papa nggak ingin mendengar penolakan." "Bisakah Papa nggak se egois ini? Apa Papa belum cukup dengan kehilangan Mama?" tanya Divya, emosinya mulai tersulut tiap ayahnya mulei menggunakan egoismenya. "Papa cuma bertindak sesuai pesan, Mama mu. Mencarikan pendamping terbaik buat kamu. Jadi jangan menolak Papa yang sudah menjadi tugas terakhir Papa sebagai Papa mu, Divya." Jelas ayah Divya. Menatap pada mata Divya yang juga tengah menatapnya tajam. Dia tahu dari mata Divya bagaimana penolakan itu pasti akan ia dapatkan. Putrinya ini memang sangat keras kepala, tapi ketika sudah berkaitan dengan ibunya. Disuruh menceburkan diri kelaut pun, Divya akan melakukannya. Berbanding terbalik jika ia yang meninta dan memerintahkannya. "Benarkah?" tanya Divya memastikan. Mencari sebuah kebohongan dari mata, gerak-gerik, dan juga aura yang ayahnya pancarkan. Sebuah aura kuat yang juga dia miliki, membuatnya selalu istimewa bagi siapapun yang sudah mengenalnya dengan baik. Ayah Divya hanya mengangguk mantap. Lalu berjalan menuju kursi kerjanya dan duduk di sana menyenderkan punggung tuanya dan memejamkan mata tanda dia lelah. Divya masih tetap duduk di sofa itu dengan pikirannya yang mulai kalut tiap seseorang menyebutkan kata "Mama" di depannya. Divya menghela nafas gusar karena dia begitu bingung dengan keputusah apa lagi untuk hal yang pastinya akan menyangkut semua masa depannya. Divya beranjak dari sofa itu. Ia melihat sebentar ayahnya yang tak sediitpun merubah posisi favoritnya jika sudah berada dalam ruang kerjanya. Melihat sendu tubuh yang sebenarnya sangat dia sayangi dan dia hormati. Karena bagaimanapun, pria paruh baya itu adalah hal berharga terakhir yang ia punya di dunia ini. "Aku akan memikirkannya." Ucap Divya sebelum ia keluar dari ruang kerja ayahnya. . /// Instagram: Gorjesso Purwokerto, 2 November 2019 Tertanda, . Orang yang disambut hujan di Minggu pagi . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD